Secara fisik, manusia diberi otak kiri dan kanan. Selain untuk menghafal dan memorisial, kita juga oleh Allah diberi kemampuan untuk berpikir, menganalisa, dan mencari makna setiap tindakan dan segala kejadian di muka bumi.Kemampuan mencari makna inilah yang amatlah penting. Hanya dengan kemampuan menemukan makna-lah seseorang sabar, mampu dan tetap optimis menghadapi apa pun. Tanpa kemampuan menemukan makna, segala tindakan dan ibadah kita hanyalah menjadi sesuatu yang teknis, sekadar ritual, dan bersifat administratif belaka.Semua dilakukan secara otomatis, memorisial,tanpa pemikiran. Sebagai efek, yang banyak terlahir adalah identitas dan simbol-simbol agama. Simbol agama di satu sisi penting, akan tetapi untuk menuju ke manusia paripurna, agama harus dipahami sebagai kebutuhan, cara hidup, dan cara berpikir.
Paradigma Puasa
Ambil contoh, puasa Ramadan. Selama ini, Lebaran selalu dianalogikan sebagai hari merayakan kemenangan dari ujian berat puasa selama sebulan penuh. Kalau kita merenungi lebih dalam, analogi tersebut jelas bermasalah, bahkan berpotensi mereduksi makna dan hakikat puasa yang sebenarnya.Paradigma puasa seperti ini sangatlah simbolik. Jika ingin mencari makna, kita harus mencoba memahami puasa sebagai pelatihan dan bukan ujian, seperti yang ditulis Jalaluddin Rahmat yang dalam buku Madrasah Ruhaniah ( Mizan, 2005). Dengan puasa kita melakukan latihan mind management, melatih kontrol egoisme, melatih integritas dan kejujuran. Kata kunci puasa adalah pelatihan, bukannya ujian. Reaksi mental kita terhadap nilai pelatihan dan ujian sangatlah berbeda. Bayangkan kalau kita menghadapi ujian. Apa yang akan kita lakukan setelah selesai ujian?Apakah kita masih perlu mempelajari bahan yang diujikan tadi? Tentu saja tidak. Tentunya kita hanya mau bersenang-senang dan berpesta pora melepas kesumpekan. Maka tak aneh, selama puasa masih dialanalogkan sebagai ujian, selama itu pula mental dan perilaku kita dari tahun ke tahun tidak akan berubah.Kita hanya baik di bulan puasa. Tayangan teve, radio, tampilan majalah dan koran juga mendadak serba Islami hanya di bulan puasa. Kita terjebak oleh nuansa Islami yang hanya sesaat.Ironisnya, setelah takbir malam satu Syawal dikumandangkan, kehidupan kembali seperti semula. Nuansa ke-Islaman hilang. Ramadan pun pergi tanpa memberikan dampak yang berarti. Bulan yang seharusnya bisa dimaknai dengan melatih menahan hawa nafsu dan sifat konsumerisme, ternyata justru sebaliknya. Statistik perdagangan menunjukkan betapa bulan Ramadan, terutama menjelang Idul Fitri, adalah lonjakan besar dalam nilai perdagangan nasional.Kita seperti sedang membalas dendam. Sewaktu berpuasa kita serba Islami dan berhati-hati menjaga tindak tanduk kita. Namun, bukankah sekarang semuanya sudah selesai? Karena merasa ujian sudah selesai, kita merasa wajar untuk bersenang-senang, rutinitas kita kembali seperti sebelum memasuki bulan puasa. Sikap dan mental kita akan berubah jika puasa kita analogikan sebagai pelatihan. Sebuah pelatihan adalah investasi. Puasa adalah investasi karena merupakan modal kita untuk hidup 11 bulan ke depan.Ujiannya akan kita hadapi dalam 11 bulan ke depan. Lulus tidaknya hanya bisa terlihat setelah pelatihan itu selesai. Ibarat sebuah pagelaran seni, darimana kita menilai kesuksesan pagelaran seni tersebut? Tentu saja dari pementasannya, bukan dari latihannya. Puasa baru bisa dikatakan bermakna jika kita berhasil saat pementasan 11 bulan setelah berlatih sungguh-sungguh selama bulan Ramadan.
Menghemat Energi
Dalam ibadah shaum, salah satu makna yang terkandung berupa latihan mengontrol hawa nafsu dan egoisme pribadi. Memang dalam kehidupan keseharian, kita terkadang hanya pandai dalam berbicara mengkritik, tetapi nihil dalam prilaku.Terkadang kita berteriak lantang memprotes, mengkritik dan menghujat sesuatu dengan argumentasi demi bangsa, demi nasionalisme, demi patriotisme, demi toleransi rakyat kecil dan demi-demi lainnya. Kita merasa diri orang yang paling baik, paling pintar dan paling bersih layaknya malaikat. Padahal, tak ada manusia yang senang menerima kritik. Bagaimana pun hebatnya seseorang, ia pasti tak akan kebal dari kritik dan hujatan. Menurut ilmu psikology, ada dua macam nafsu egoisme yang kita miliki, ego pasif dan ego aktif. Ego pasif membuat kita tak ingin disalahkan orang lain, tak ingin dianggap bodoh, tak ingin dikritik. Sebaliknya, kita ingin dianggap pandai, dianggap penting, dianggap berharga. Sementara ego aktif yang membuat kita tak suka dikritik, tapi kita suka mengkritik.Kita senang menyalahkan orang lain dan membuat mereka kelihatan bodoh. Kita suka menunjukkan bahwa kita lebih pandai, lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih bijak dan lebih hebat. Namun uniknya, ini pula yang membuat kita mudah terluka dan mudah sakit hati.Hanya karena mengurus ego inilah, tenaga, pikiran, energi, dan waktu terbuang untuk hal-hal yang tidak jelas dan tidak penting. Beropini, mengkritik, berdebat, berdemo, sampai-sampai menghujat dengan argumen tak nalar dan tak jelas pula substansinya justru lebih memeras tandas energi kita.Secara tak sadar kita kehilangan waktu dan produktifitas berpikir. Menurut hukum kekekalan energi dalam ilmu Fisika, tak ada energi yang hilang, tapi energi bisa terbuang dalam bentuk yang tidak berguna. Pola makan kita juga tidak jauh beda dengan porsi makan orang Amerika atau Jepang.Logikanya, energi yang terhimpun seharusnya adalah sama. Tapi mengapa mereka lebih kelihatan berpikir strategis, berdaya guna, produktif dan berhasil guna? Jawabnya, kita terlalu banyak berpikir untuk hal-hal yang tidak perlu. Kegemaran berpolemik, mengkritik, mengurusi orang lain, mendahulukan interest pribadi ternyata lebih banyak menguras waktu dan energi kita.Akhirnya saat dituntut untuk berpikir produktif kita sudah kehabisan energi. Perut kita sudah lapar lagi sebelum kita sempat berbuat yang lebih bermanfaat. Kita hanya menjadi kenyang tanpa berbuat yang berarti buat orang lain. Akhirnya, tangan kita selalu mengepal mencaci maki, jantung jadi berdebar-debar, dan mata jadi merah melotot setiap hari.Kalau sudah begini, kapan otak diberi kesempatan berpikir jernih? Tak ada lagi yang tersisa pada kita tenaga buat bersolusi, menggagas, dan berkarya untuk urusan yang lebih makro. Melalui puasalah kita mulai bisa introspeksi diri. Kita harus memahami Ramadan sebagai pelatihan untuk mengurangi aktifitas sia-sia, menggunakan energi lebih hemat, efisien dan berarti buat orang lain. Sejarah Islam juga membuktikan bulan Ramadan adalah bulan momentum untuk lebih produktif. Hampir semua peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam terjadi pada bulan Ramadan semisal Nuzulul Quran, perang Badar. Futuh Makkah, termasuk ketika Umar Bin Khatab menaklukan Palestina. Masih banyak makna ibadah puasa yang harus kita cari dan renungkan. Dengan perenungan, kita akan mampu mengupas rahasia puasa dan ibadah-ibadah kita. Semoga kita bisa mendapatkan hakikat dan makna lebih dalam puasa kita tahun ini.***