Indonesian
Saturday 21st of December 2024
0
نفر 0

Mengenal Peristiwa Mubahalah

Mubahalah (Bahasa Arab: مباهله ) bermakna saling melaknat dan mengutuk satu dengan yang lain. Dua orang atau dua kelompok yang masing-masing merasa paling benar, mereka mengadu di hadapan Ilahi dan memohon kepada-Nya barang siapa yang berdusta agar dilaknat sehingga menjadi jelas bagi semuanya siapa ya
Mengenal Peristiwa Mubahalah

Mubahalah (Bahasa Arab: مباهله ) bermakna saling melaknat dan mengutuk satu dengan yang lain. Dua orang atau dua kelompok yang masing-masing merasa paling benar, mereka mengadu di hadapan Ilahi dan memohon kepada-Nya barang siapa yang berdusta agar dilaknat sehingga menjadi jelas bagi semuanya siapa yang benar.

Oleh karena itu, Nabi Saw menawarkan mubahalah kepada Nashrani Najran dan mereka pun menerimanya; akan tetapi pada hari yang ditetapkan mereka membatalkannya karena mereka melihat Nabi Saw datang bersama keluarga terdekatnya (yaitu putrinya Fatimah al-Zahra Sa, menantunya Imam Ali As, dan kedua cucunya Imam Hasan dan Imam Husain As) untuk bermubahalah. Dengan kehadiran orang-orang suci itu, mereka sadar akan kebenarannya. Sehingga Rasulullah Saw menang dalam peristiwa ini.

Peristiwa mubahalah Nabi Saw dengan Nasrani Najran, bukan hanya menunjukkan kebenaran dakwah Nabi Saw (yaitu berdakwah untuk Islam), tetapi juga menjelaskan keutamaan khusus orang-orang yang bersamanya di hadapan semua sahabat-sahabat dan keluarga besarnya. Di samping itu pula, peristiwa ini menjelaskan sebagian dari keutamaan-keutamaan Ahlulbait Nabi Saw.

Mubahalah Nabi Saw dengan Nasrani Najran terjadi pada tanggal 24 Dzulhijjah 10 H, walaupun ada juga yang berpendapat tanggal 25 Dzulhijjah.
Makna Leksikal Mubahalah

Mubahalah artinya saling meletakan laknat dan kutukan. [1] بهله الله artinya Allah melaknat dan menjauhkannya dari kasih sayangNya. [2]
Peristiwa Mubahalah

Nabi Saw menulis surat kepada Uskup Najran berbarengan dengan peristiwa surat menyurat dengan para pemimpin pemerintahan dunia dan pusat-pusat keagamaan> Dalam surat tersebut Nabi Saw mengharapkan penduduk Najran agar memeluk agama Islam. Orang-orang Nashrani memutuskan untuk mengirimkan kelompok mewakili mereka ke Madinah untuk berbicara langsung dengan Nabi Saw dan meneliti perkataannya.

Rombongan Najran yaitu lebih dari 10 pembesar-pembesar kaum mereka yang dipimpin oleh 3 orang yaitu Aqib, Sayyid, dan Abu Haritsah datang ke Madinah. Rombongan perwakilan tersebut berbicara dengan Nabi Saw di Masjid Madinah. Setelah keduanya saling meyakinkan kebenaran kepercayaan masing-masing, mereka memutuskan untuk mengakhiri permasalahan dengan cara bermubahalah. Disamping itu, diputuskan pula esok hari semuanya keluar dari kota dan di padang sahara mereka siap untuk bermubahalah.

Pagi-pagi di hari mubahalah, Rasulullah Saw datang ke rumah Imam Ali As. Beliau mengambil tangan Imam Hasan As sambil memangku Imam Husain As bersama Amirul Mu’minin As dan Fatimah Sa pergi meninggalkan kota untuk bermubahalah. Pada saat kaum Nashrani menyaksikan mereka, Abu Haritsah bertanya siapa mereka yang bersama Nabi Saw?. Mereka menjawab, “Yang di depan itu anak paman dan suami putrinya serta orang yang paling dicintai olehnya; dua anak itu adalah putra-putranya dari putrinya; dan wanita itu adalah Fatimah, putrinya yang paling beliau cintai.”

Nabi Saw pada saat bermubahalah duduk di atas dua tumitnya. Kemudian Sayid dan Aqib mengangkat anak-anaknya. Abu Haritsah berkata, “Demi Allah, dia duduk sebagaimana para Nabi duduk untuk bermubahalah” kemudian ia kembali”. Sayid berkata, ”Mau kemana?”, dia berkata, “Jika Muhammad tidak dalam kebenaran, dia tak akan berani bermubahalah; dan jika dia bermubahalah dengan kita, kurang dari satu tahun, tidak akan ada lagi seorang Nashrani pun yang tersisa di dunia ini.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa dia berkata, “Aku melihat wajah-wajah yang jika mereka memohon kepada Tuhan untuk mengangkat sebuah gunung dari tempatnya, maka gunung tersebut akan terangkat. Oleh karena itu, janganlah bermubahalah. Jika bermubahalah maka kau akan hancur dan tidak ada seorang Nashrani pun yang akan tersisa di dunia ini.”

Kemudian Abu Haritsah mendekati Nabi Saw dan berkata, ”Wahai Abul Qasim! Batalkanlah bermubahalah dengan kami dan berdamailah, karena itulah yang sanggup kami lakukan.” Kemudian Nabi Saw berdamai dengan mereka dengan syarat setiap tahun mereka harus memberikan dua ribu helai pakaian yang setiap helainya 40 dirham dan juga jika terjadi perang dengan Yaman, mereka harus meminjamkan 30 pakaian perang, 30 tombak, dan 30 kuda kepada umat muslim dan Nabi Saw menjamin untuk mengembalikannya. Dengan begitu, Nabi Saw menulis surat perdamaian dan mereka pun akhirnya pulang.

Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di atas kuasanya, kehancuran orang-orang Najran saat itu telah dekat dan andai saja mereka bermubahalah dengan kita maka setiap orang dari mereka akan berubah menjadi monyet dan babi, setiap lembah berubah menjadi api sehingga mereka terbakar dan Allah swt akan menghancurkan orang-orang Najran bahkan tidak akan tersisa satu burung pun di atas pohon dan seluruh kaum Nashrani akan meninggal kurang dari satu tahun.” [3]Setelah kamu Nashrani pulang, tidak lama kemudian Sayyid dan Aqib datang kembali menghadap Rasulullah dengan membawa hadiah dan mereka pun masuk Islam. [4]
Orang-Orang yang Hadir dalam Mubahalah

Sudah sangat jelas siapa saja orang-orang yang Rasul Saw ajak saat bermubahalah yaitu Amirul Mu’minin, Fatimah, Hasan dan Husain As. Walaupun rinciannya bagaimana, siapa saja orang-orang Nashrani yang datang ke hadapan Rasulullah Saw dan apa saja yang telah mereka bicarakan adalah hal-hal yang penukilannya terjadi perbedaan dalam sejarah. Yang telah disebutkan di atas sesuai dengan beberapa penukilan sejarah.
Waktu Mubahalah

Mubahalah Nabi Saw dengan Nashrani Najran terjadi pada tanggal 24 dzulhijjah 10 H (631 M). [5] Dikatakan pula tanggal 21 bulan ini. [6] Syeikh Anshari berpendapat bahwa tanggal 24 dzulhijjah adalah yang mashyur dan mandi pada hari adalah mustahab. [7]

Syeikh Abbas Qumi dalam kitab Mafatihul Jinan menyebutkan amalan-amalan pada hari ini, 24 dzulhijjah yaitu mandi dan puasa. Yang paling jelas di antara para sejarahwan dan perawi hadits, baik Syiah maupun Sunni adalah terjadinya peristiwa ini.
Ayat Mubahalah

Ayat yang menunjukan peristiwa mubahalah adalah surah Ali Imran ayat 61: ﴾فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّـهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ﴿

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah pengetahuan tentangnya datang kepadamu, maka katakanlah: ‘Ayolah, kami panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilab kita berdoa kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’"(QS Ali ‘Imran [3]: 61)

Para Mufasir Syiah dan Sunni meyakini bahwa ayat ini berhubungan dengan perdebatan antara Nashrani Najran dengan Rasulullah Saw. Kelompok Nashrani meyakini Nabi Isa As adalah salah satu oknum dari Aqanim Tsalasah (trinitas) dan mereka tidak menerima penjelasan Al-Qur’an bahwa Nabi Isa As hanyalah seorang hamba Allah dan Nabi-Nya hingga akhirnya Nabi Saw menawarkan kepada mereka untuk bermubahalah atau memohon laknat. [8]

Para Mufasir Ahlusunnah (diantaranya: Zamakhsyari, [9] Fakhrurrazi, [10] Baidhawi[11]dan lainnya) berkata bahwa maksud dari kata ابناءنا (anak-anak kami) adalah Hasan dan Husain As, maksud dari نساءنا (istri-istri kami) adalah Fatimah az-Zahra Sa dan maksud dari انفسنا (diri-diri kami) adalah Imam Ali As. Yaitu 4 orang yang bersama Nabi Saw, membentuk 5 orang Ahli ‘Aba atau Ahli Kisa’. Dan selain ayat tersebut yang menunjukkan keluhuran martabat mereka, menurut Zamakhsyari dan Fakhrurrazi, ayat Tathir (al-Ahzab:33) pun turun mengikutinya dalam kemuliaan dan kesucian mereka.

﴾إِنَّمَا يُرِ‌يدُ اللَّـهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّ‌جْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَ‌كُمْ تَطْهِيرً‌ا﴿

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya” (QS Al-Ahzab [33]:33) Nashrani Najran karena menyaksikan kejujuran, keikhlasan dan keberanian Nabi Saw beserta orang-orang yang bersamanya, membuat mereka takut akan hukuman Allah, mereka tidak jadi bermubahalah dan akhirnya berdamai dengan Nabi Saw. Mereka kemudian memohon agar tetap berpegang pada agamanya dan akan membayar jizyah. Nabi Saw pun menerima permohonan mereka. [12]
Dalil-dalil Sejarah Terjadinya Peristiwa Mubahalah

Dalil-dalil terjadinya peristiwa ini bisa ditemukan dalam perkataan Amirul Mu’minin, Imam Hasan, Imam Husain dan Imam-imam As lainnya. Kami hanya menyebutkan 3 saja.
Dalil Sa’ad bin Abi Waqash

Amir bin Sa’ad bin Abi Waqash menukilkan dari ayahnya bahwa Muawiyah berkata kepada Sa’ad, “Mengapa kamu tidak mengutuk Ali?”. Sa’ad menjawab, “Selama tiga perkara yang aku ingat, maka aku tidak akan pernah mengutuknya yang jika salah satu perkara tersebut berhubungan denganku, maka saya akan lebih menyukainya dibandingkan memiliki unta-unta berbulu merah. Kemudian dia melanjutkan tiga perkara tersebut. Yaitu pujian terhadap Amirul Mu’minin dan yang ketiganya adalah pada saat ayat ini turun«قل تعالوا ندع ابنائنا...» , Rasulullah Saw mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husain As dan berkata:’ اللهم هؤلاء اهل بیتی artinya Ya Allah merekalah Ahlulbaitku’.” . [13]
Dalil Imam Kazhim As

Harun berkata kepada Imam Kazhim As, “Bagaimana kamu bisa mengatakan, ’kami adalah keturunan Nabi Saw’, padahal Nabi Saw tidak mempunyai keturunan karena keturunan hanya bisa melalui anak laki-laki bukan anak perempuan sedangkan kalian adalah keturunan dari anak perempuan Rasulullah Saw?” Imam Kazhim As berkata, “Bebaskanlah aku dari jawaban atas pertanyaan ini”.

Harun berkata, ”Wahai putra Ali, katakanlah dalilmu tentang hal ini. Dan engkau wahai Musa As, pemimpin dan imam zaman mereka,-begitulah yang dikatakan kepadaku- aku tidak akan membebaskan apa-apa yang aku tanyakan padamu sampai engkau memberikan dalil dari Qur’an dan kalian putra-putra Ali menyatakan bahwa tidak ada satu perkataan pun dari Qur’an kecuali takwilnya di sisi kalian dan kalian berlandaskan kepada ayat ini: ما فَرَّطنا فی الکتابِ من شَیء 'Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab ini', dan dengan ini, kalian tidak membutuhkan lagi pendapat ulama’ dan qiyas”.

Imam Kazhim As berkata, ”Izinkanlah saya untuk menjawabnya!”

Harun berkata, ”Katakanlah.”

Imam As bersabda:

اعوذ بالله من الشیطان الرجیم، بسم الله الرحمن الرحیم، وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَیعْقُوبَ کلًّا هَدَینَا وَنُوحًا هَدَینَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّیتِهِ دَاوُودَ وَسُلَیمَانَ وَأَیوبَ وَیوسُفَ وَمُوسَی وَهَارُونَ وَکذَالِک نَجْزِی الْمُحْسِنِینَ ﴿۸۴﴾ وَزَکرِیا وَیحْیی وَعِیسَی وَإِلْیاسَ کلٌّ مِّنَ الصَّالِحِینَ

“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya‘qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (84) dan (begitu juga) Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh (85)”. (QS Al-An’am:84-85)

Siapa ayah Nabi Isa As?

Harun berkata, ”Beliau tidak memiliki ayah.”

Imam As berkata, “Allah Swt memasukan Nabi Isa As ke dalam keturunan para Nabi walaupun hanya melalui Maryam, dan kami pun demikian, kami termasuk keturunan Nabi Saw melalui bunda kami, Fatimah Sa. Aku lanjutkan?”

Harun berkata, ”Katakanlah.”

Pada saat demikian, Imam As membacakan ayat mubahalah, kemudian berkata, ”Tidak seorangpun mengatakan bahwa Nabi Saw saat bermubahalah dengan kaum Nasrani membawa orang lain kecuali Ali bin Abi Thalib As, Fatimah Sa, Hasan, dan Husain As di bawah jubahnya. Maka maksud dari ‘anak-anak kami’ adalah Hasan dan Husain As, maksud dari ‘wanita-wanita kami’ adalah Fatimah Sa dan maksud dari ‘diri-diri kami’ adalah Ali bin Abi Thalib As. [14] Maka dari itu, Allah Swt dalam ayat mubahalah menyebutkan Imam Hasan dan Imam Husain As sebagai anak Nabi Saw. Ini adalah dalil yang paling jelas bahwa ahlulbait adalah keturunan Nabi Saw.”
Dalil Imam Ridha As

Suatu hari, Ma’mun berkata kepada Imam Ridha As, ”Katakanlah kepadaku keutamaan terbesar Amirul Mukminin yang dilandaskan pada al Qur’an?”. Imam menjawab,. “Keutamaan Imam Ali ada dalam ayat mubahalah. Kemudian Imam membacakan ayat tersebut dan berkata:

“Rasulullah Saw mengajak Hasan dan Husain As sebagai putra-putranya, mengajak Fatimah Sa dengan maksud membuktikan kata Wanita-wanita dan mengajak Amirul mu’minin As yang Allah swt menyebutnya sebagai Nafs atau diri Nabi Saw. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada satu ciptaan pun yang lebih mulia dan utama dari Nabi Saw. Oleh Karena itu, menurut Allah swt, seharusnya tidak ada orang yang lebih mulia dari nafs atau diri Nabi Saw.” Pada saat perkataan Imam As sampai di sini, Ma’mun menyela, ”Allah swt mengatakan ‘anak-anak’ dalam bentuk jamak sedangkan hanya dua orang yang Nabi Saw bawa, dan ‘wanita-wanita’ juga dalam bentuk jamak sedangkan hanya putrinya saja yang beliau bawa, kemudian mengapa kita tidak mengatakan bahwa mengajak nafs (diri) pun pada hakikatnya bermakna diri Nabi Saw. Dan jika demikian, maka akan runtuhlah keutamaan Amirul Mu’minin sebagai mana yang engkau jelaskan tadi?.”

Imam Ridha As menjawab:

“Tidaklah benar apa yang kau katakan, pengajak hanya akan mengajak orang-orang selain dirinya, sebagaimana pula pemerintah akan memerintah orang selainnya. Tidaklah benar seseorang mengajak dirinya sendiri, sebagaimana pemerintah memerintah dirinya sendiri. Rasulullah Saw tidak mengajak siapapun kecuali Imam Ali As. Maka jelaslah bahwa dia ada jiwa/diri yang Allah Swt maksudkan dalam kitab-Nya dan menyebutkannya dalam Al-Qur’an.” Kemudian Ma’mun berkata, “Dengan adanya jawaban ini, pertanyaan pun tumbang”. [15]
Baca Lebih Lanjut

    Syariatmadari, Muhammad Taqi, Ayat Mubahala, Tehran: Vahid Tahqiqat Islami, 1365.
    Alawi, Sayyid Muhammad, Mubahalah Shadiqin, Qom: Naghmat, 1383.
    Masiniyun, Loui, Mubahalah dar Madinah, Terjemah dan pengantar: Mahmud Iftikharzade, Tehran: Resalat Qalam, 1378.

Catatan Kaki

    Al-Jauhari, Ismail bin Humad, al-Shihah, 1407. Tentang kata “بهل” .
    Al-Zamakhsyari, Mahmud, 1415 H, Juz 1, Hal. 368.
    Qumi, Syeikh Abbas, 1374, Juz 1, Hal. 182-184
    At-Thabrasi, Majmā al-Bayān Fi al-Tafsir al-Qur’an, 1415, Juz 2, Hal. 310.
    Ibnu Syahrashub, 1376 H, Juz 3, Hal. 144.
    Dalam Kasyful Asrār menyebutkannya hari tersebut. Lihat kitab: Kasyf al-Asrār wa ‘Iddat al-Abrar, Juz 2, Hal. 147.
    Anshari, Murtadha,Kitab al-Thaharah, Juz 3, Qom, Kongres Internasional peringatan Syeikh Azham Anshari, Hal. 48-49.
    Al-Qur’an al-Karim, terjemah, Taudhihat va wazhename dari Baha’uddin khuramsyahi, 1376, tentang ayat mubahalah, hal 57.
    Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, tentang ayat 61 surat Ali Imran.
    Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, tentang ayat 61 surat Ali Imran.
    Al-Baidhawi, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, tentang ayat 61 surah Ali ‘Imran.
    Al-Qur’an al-Karim, terjemah, Taudhihat va wazhename dari Baha’uddin khuramsyahi, 1376, tentang ayat mubahalah, hal 57.
    Thabathab’i, Sayyid Muhammad Muhsin, Al-Mizān Fi Tafsir al-Qur’an, tentang ayat 61 surah Ali Imran. Berdasarkan perkataan penyusun buku, hadits ini terdapat pada Shahih Muslim, Shahih Tarmidzi, Abul Muwaffaq bin Ahmad dalam kitab Fadhail Ali, Abu Na’im dalam kitab Al-Hilyah, Hamwini dalam kitab Faraidus Samathin.
     Thabathabai, Sayid Muhsin, Ibid, Hal. 229-230.
    Al-Mufid, al-Fushul al-Mukhtarah, at Tahqiq: As Sayyid Mirali Syarifi, Beirut: Darul Mufid, cetakan kedua, 1414, Hal. 38.

Daftar Pustaka

    Al-Qur’an al-Karim, Terjemah, Taudhihat wa Wazhename dari Baha’uddin khuramsyahi, Tehran: Jami', nilofar, cetakan ketiga, musim panas 1376 H.
    Ibn Syahrashub, Manaqib Ali Abi Thalib, Juz 3, Najaf: Penerbit Al-Haidariyah, 1376 H.
    Al-Anshari, Murtadha, Kitab at-Thaharah, Juz 3, Qom, Kongres Internasional Peringatan Syeikh Azham Anshari.
    Al-Jauhari, Ismail bin Humad, as-Shihah (Tajul Lughah wa Shihahul Arabiyah), peneliti Ahmad Abdul Ghafur Attar, Beirut, Darul Ilm lilmalapin. Cetakan keempat, 1407.
    Al-Zamakhsyari, Mahmud, Al-Kasysyaf ‘an Haqāiq Ghawamiqhit Tanzil, Juz 1, Qom, Penerbit Al-Balaghah, cetakan kedua, 1415.
    Thabathab’I, Sayyid Muhammad Muhsin, al-Mizān Fi Tafsiril Qur’an, Juz 3, cetakan ketiga, Isma’iliyan, Qom 1391.
    At-Thabrasi, Majmal Bayan Fi at Tafsiril Qur’an, Juz 2, Beirut: Muasasatul a’lami lilmathbuat, cetakan pertama, 1415.
    Qumi, Syeikh Abbas, Muntahal Aamal, Qum :Hijrah, 1374.
    Al-Mufid, Al-Fushulul Mukhtarah, Peneliti: As Sayyid Mirali Syarifi, Beirut: Darul Mufid, cetakan kedua, 1414.
    Mibadi, Kasyful Asrar wa ‘Iddatul Abrar. Juz 2.

Sumber: http://id.wikishia.net/


source : abna24
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Siapakah Seorang Politikus?
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 3-6
Mahdiisme : Pandangan Masa Depan
Keutamaan Hari dan Bulan (Bagian-19)
Prof. DR. KH. Umar Shihab: Kita Tidak Boleh Mengecap Kafir Kepada Sesama Muslim
Semerbak Harum Mahdi as (Bagian keduapuluh)
Pahala Mendamaikan Orang yang Berselisih
Bersama Kafilah Ramadhan (12)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw
Fatimah, Kautsar Alam

 
user comment