Indonesian
Wednesday 9th of October 2024
0
نفر 0

Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 3-6

Ayat ke 3 ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا (3) Artinya: (yaitu) Anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17: 3)
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 3-6


Ayat ke 3
 
 
 
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا (3)
 
 
 
Artinya:
 
(yaitu) Anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17: 3)


 
 
 
 
Dalam ayat sebelumnya al-Quran mengatakan bahwa Kami telah mengirimkan Taurat demi menunjuki Bani Israil. Sementara ayat yang baru saja kita simak ini menyeru kepada mereka agar bersyukur kepada Allah atas nikmat besar ini dan menaati Taurat. Untuk menjelaskan masalah, al-Quran menyebut nama Nabi Nuh as sebagai seorang hamba yang banyak bersyukur. Ayat menyebutkan, “Kakek dan nenek moyang kalian adalah orang-orang yang diselamatkan bersama Nabi Nuh as dari angin topan. Mereka adalah orang-orang yang banyak bersyukur dan akhirnya diselamatkan. Oleh karenanya kalian juga harus banyak bersyukur agar mendapat keselamatan.”
 
 
 
Nabi Nuh as memiliki umur yang lebih panjang dibandingkan para nabi yang lain. Dengan umur yang demikian, Nabi Nuh as juga lebih banyak mendakwahkan agama Allah kepada masyarakat. Sekalipun banyak mendapat gangguan dan cemoohan dari masyarakat yang diajaknya untuk beriman kepada Allah, namun Nabi Nuh as tetap menunjukkan dirinya sebagai hamba yang banyak bersyukur kepada Allah. Beliau tidak pernah mengadukan kondisinya kepada Allah.
 
 
 
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
 
1. Mengajak anak-anak dan generasi baru kepada kemuliaan dan keimanan nenek moyangnya. Ini satu cara menyeru dan mendidikan mereka lewat pendekatan emosi.
 
2. Bersyukur dalam segala kondisi, baik dalam situasi sulit atau senang merupakan rahasia keselamatan dan kebahagiaan.
 
 
 
Ayat ke 4
 
 
 
وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إسْرائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا (4)
 
 
 
Artinya:
 
Dan telah Kami telah tetapkan terhadap Bani Israel dalam Kitab itu, “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (17: 4)
 
 
 
Sebagai kelanjutan ayat-ayat sebelumnya, ayat ini juga masih berbicara kepada Bani Israil dan mengatakan, “Namun kalian ternyata bukannya mensyukuri nikmat-nikmat Allah, tapi melakukan kemungkaran dan kehancuran. Kalian hanya ingin hidup dengan menunjukkan kelebihan kalian di muka bumi.” Al-Quran dalam banyak ayat menyinggung pekerjaan-pekerjaan buruk Bani Israel seperti membunuh para nabi, menyebarkan perilaku menyogok, riba dan menyembunyikan kebenaran. Masih dari ayat ini disebutkan, “Kalian telah terjatuh dalam perbuatan fasad yang besar dan dampaknya akan menyeluruh di muka bumi.”
 
 
 
Dalam ayat ini dipakai dua kata “fasad” dan “’uluw” dan diletakkan berdampingan agar menunjukkan kepada manusia betapa akar segala kerusakan di muka bumi ini berasal dari perasaan ‘uluw (merasa lebih dari orang lain). Sebagaimana al-Quran mengenai al-Quran mengatakan, “Sesungguhnya Firaun merasa lebih dan tinggi dari yang lain di atas bumi.”. Itulah mengapa dalam ayat-ayat al-Quran yang lain disebutkan Allah hanya akan memberikan surga kepada orang-orang yang tidak merasa dirinya tinggi dan lebih dari yang lainnya.
 
 
 
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
 
1. Kerusakan dan kebusukan punya pengalaman panjang dalam sejarah kaum Yahudi dan Bani Israil. Bahkan Kitab Taurat juga menyebutkan tentang masalah ini.
 
2. Sangat mungkin orang lemah yang kemudian meraih kekuasaan menjadi sombong. Bani Israil yang sebelumnya di bawah kekuasaan Firaun diselamatkan oleh Nabi Musa as. Namun setelah bebas, mereka malah menyebarkan kerusakan di atas bumi.
 
 
 
Ayat ke 5-6
 
 
 
فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولَاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولًا (5) ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا (6)
 
 
 
Artinya:
 
Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu. Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. (17: 5)
 
 
 
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. (17: 6)
 
 
 
Ayat sebelumnya mengisahkan dua kali perbuatan Bani Israil yang merusak. Dua ayat yang baru saja kita simak berkata, “Allah juga telah berjanji akan menghukumi Bani Israil di setiap kali perbuatan merusak yang mereka lakukan. Janji Allah pasti berlaku.” Dalam buku-buku sejarah disebutkan, “Sekitar 600 tahun sebelum Masehi ada seorang raja bernama “Nabudchadnezzar” yang berkuasa di Babylonia. Ia seorang raja yang memiliki kekuasaan luas dan sangat perkasa. Ketika menyaksikan ketidaktaatan dan pemberontakan kaum Yahudi, ia langung memerintahkan untuk menyerang kota tempat tinggal kaum Yahudi. Dalam perang tersebut banyak kaum Yahudi yang tewas dan sebagian besar ditawan. Akhirnya Nabuchadnezzar memasuki Baitul Maqdis dan merusak kota ini. Selama Nabuchadnezzar hidup Bani Israil hidup dalam kondisi terhina dan tertawan di Babilonia.
 
 
 
Kondisi ini terus berlangsung hingga Kourosh, Raja Iran menguasai Babilonia dan membebaskan orang-orang Yahudi. Kourosh memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi untuk kembali ke Baitul Maqdis dan membangunnya kembali. Setelah Bani Israel bertempat di Baitul Maqdis dan perlahan-lahan kekuatan mereka semakin bertambah dan populasi masyarakat terus bertambah, kembali Kaisar Romawi mengirimkan pasukannya ke Baitul Maqdis dan untuk kedua kalinya kota ini dikuasai kekuatan asing. Kaisar Romawi memerintahkan perusakan Baitul Maqdis dan membiarkan pasukannya merampas rumah dan tanah pertanian penduduk.
 
 
 
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
 
1. Para perusak dan pendurhaka harus mengetahui betapa di atas kekuataan masih ada kekuatan lain lagi. Bani Israel mendurhakai Allah dan merusak bumi. Di sini Allah membuat kekuatan lain menguasai Bani Israel agar mengetahui betapa mereka tidak seperti yang dibayangkan.
 
2. Taubat terbagi dua; individu dan sosial. Oleh karenanya, bila sebuah umat menyesali perbuatan buruk mereka di masa lalu dan kembali ke jalan yang benar, kasih sayang Allah akan meliputi mereka. (IRIB Indonesia)


source : irib.ir
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Visi Antropokosmik dalam Pemikiran Islam
Adab Membaca Al-Qur’an menurut Al-Qur’an dan Sunnah Maksumin As
Mengapa Dzat Tuhan Tidak Dapat Diketahui?
Definisi dan Penggunaan Peringatan Allah dalam Al-Quran
Siapa Pembantai Imam Husayn dan pengikutnya di Karbala?
Apa arti “Fatimah” itu? Dan mengapa Rasulullah Saw memilih nama ini untuk putri ...
Imam Hasan Askari, Hujjah Tuhan ke-11 (bagian 3)
Toleransi Islami dan Doktrin-doktrin Barat
Apa makna dari kesadaran diri menurut al-Qur’an?
Mengenal Peristiwa Mubahalah

 
user comment