Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi terakhir Muhammad saw. Apa yang menjadi aspek-aspek kemukjizatan al-Qur'an?
Untuk menjelaskan kemukjizatan al-Qur'an terdapat tiga aspek penting: Kemukjizatan lafaz, kandungan dan pembawanya.
1. Kemukjizatan lafaz al-Qur'an terdiri dari dua jenis:
a. Kemukjizatan elokuensi (kefasihan):
Model penjelasan al-Qur'an sedemikian menakjubkan sehingga ia tidak dapat dibandingkan dengan ucapan manusia, bahkan Nabi Muhammad Saw sekalipun. Oleh karena itu, para cendekiawan berkata: "Perbuatan orang-orang yang dengan dalih kemungkinan terjatuhnya orang dalam kesalahan mencampur aduk hadis Nabi Saw dengan al-Qur'an, sehingga melarang orang untuk menuliskan hadis, merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima dan dibenarkan."
b. Kemukjizatan bilangan
Dewasa ini berkat kemajuan ilmu pengetahuan dengan penggunaan komputer telah dilakukan upaya untuk menunjukkan hubungan bilangan khusus di antara lafaz-lafaz dan huruf-huruf al-Qur'an, dimana hubungan sedemikian mustahil terdapat pada ucapan manusia.
2. Kemukjizatan kandungan al-Qur'an dapat diutarakan dalam beberapa bagian:
a. Tiadanya ikhtilâf (perbedaan) dalam al-Qur'an;
b. Kabar-kabar ghaib yang dengan tepat terlaksana pada sebagian orang atau sebagian peristiwa;
c. Ilmu dan maarif (plural dari makrifat) al-Qur'an
d. Tiadanya kemampuan manusia menggugurkan ilmu dan pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur'an. Kebenaran maarif al-Qur'an setelah bertahun-tahun berlalunya tetap terjaga dan terpelihara.
3. Kemukjizatan pembawa al-Qur'an
Nabi Muhammad Saw adalah sosok ummi (tidak pernah mengenyam pendidikan), lalu bagaimana seorang ummi dapat membawa kitab sedemikian di semenanjung Arabia yang, nota-bene, masyarakatnya tidak familiar dengan ilmu dan kebudayaan.
Aspek-aspek beragam telah disebutkan[1] terkait dengan kemukjizatan al-Qur'an yang dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Kemukjizatan lafaz al-Qur'an;
2. Kemukjizatan kandungan al-Qur'an;
3. Kemukjizatan pembawa al-Qur'an
1. Kemukjizatan lafaz al-Qur'an
Kemukjizatan lafaz al-Qur'an dikemukakan dalam dua jenis: Kemukjizatan elokuensi dan kemukjizatan bilangan.
Pembahasan kemukjizatan elokuensi al-Qur'an atau kefasihan al-Qur'an, semenjak dahulu telah dikenal. Dan kurang-lebihnya telah menjadi kesepakatan di antara seluruh mazhab dalam Islam. Namun sebagian orang membedakan kemukjizatan al-Qur'an dengan perkara-perkara seperti komposisi (nazhm), gaya dan metode penjelasan al-Qur'an. Mereka berkata bahwa salah satu aspek kemukjizatan al-Qur'an adalah sisi elokuensinya dan aspek lainnya adalah komposisi(nazhm), gaya penjelasan al-Qur'an. Sebagian lainnya berpandangan bahwa aspek kemukjizatan al-Qur'an merupakan kumpulan yang terdiri dari kefasihan, komposisi (nazhm) dan gayanya.[2]
Namun sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah memperbanyak misal saja. Dan segala hal yang terkait dengan gaya penjelasan al-Qur'an, kembali pada masalah kemukjizatan elokuensi al-Qur'an. Metode penjelasan al-Qur'an merupakan metode yang tidak satu pun manusia mampu menggunakan metode ini dalam bertutur-kata, bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri.
Maksudnya adalah bahwa dalam pembahasan "sejarah hadis" Ahlussunnah mengklaim bahwa Rasulullah Saw melarang sahabat menulis hadis-hadis dan sabda-sabda beliau dan terkait dengan masalah ini terdapat riwayat yang dinukil dari Nabi saw.[3] Lalu dari klaim ini mereka berhadapan dengan pertanyaan serius ihwal mengapa Nabi Saw melarang sahabat untuk menulis hadis?
Salah satu jawaban yang diberikan dan populer di kalangan Ahlusunnah adalah bahwa sebab pelarangan itu adalah jangan sampai antara al-Qur'an dan selain Qur'an bercampur aduk. Artinya jangan sampai al-Qur'an bercampur dengan hadis-hadis nabawi. Salah seorang periset Ahlusunnah menolak argumen terkenal di kalangan Ahlusunnah ini dan berkata, "Kemukjizatan elokuensi al-Qur'an menjadi penghalang bercampur-aduknya antara al-Qur'an dan selain al-Qur'an."[4] Kemudian dalam menjawab isykalan (kritik) bahwa boleh jadi Nabi Saw dalam kefasihan telah mencapai tingkatan yang dapat bertutur-kata fasih sebagaimana al-Qur'an, tuturnya, "Kemestian ucapan ini adalah pengingkaran kemukjizatan elokuensi al-Qur'an.[5]
Bagaimanapun masalah pelarangan Nabi Saw terhadap penulisan hadis – meski hadis-hadis beliau bukan merupakan tutur kata biasa dan tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan tutur kata penuh cahaya, sesuai dengan bimbingan Ilahi, bersumber dari alam ghaib dan dapat memberikan solusi pelbagai kesulitan umat Islam – merupakan salah satu kritikan asasi yang tertuju kepada kaum Ahlussunah. Oleh karena itu, di kalangan ulama Syiah semenjak dahulu hingga sekarang, klaim bahwa Nabi Saw melarang umat menulis hadis adalah klaim yang tidak benar.
Aspek lain kemukjizatan lafaz al-Qur'an adalah kemukjizatan bilangan. Aspek ini akhir-akhir ini mengemuka dan penggunaan komputer dalam masalah ini menjadi perhatian banyak orang. Dengan penjelasan hubungan angka-angka khusus antara lafaz-lafaz dan huruf-huruf al-Qur'an ditunjukkan bahwa hubungan angka-angka ini tidak dapat terekspresikan melalui ucapan manusia.[6]
2. Kemukjizatan kandungan al-Qur'an:
Banyak aspek yang disebutkan terkait kemukjizatan kandungan al-Qur'an sebagaimana berikut ini:
a. Tiadanya ikhtilaf dalam al-Qur'an
Ayat yang menyebutkan, "Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya," (Qs. Al-Nisa [4]:84) adalah ayat yang menegaskan aspek kemukjizatan ini.
b. Kabar-kabar ghaib
Dalam al-Qur'an disebutkan beberapa matlab berkaitan dengan sebagian orang atau sebagian peristiwa yang terjadi di masa mendatang. Artinya diprediksikan terjadinya peristiwa setelah pewahyuan ayat-ayat yang tepat sesuai dengan gambaran yang dibeberkan dalam al-Qur'an. Misalnya yang dapat dijadikan contoh di sini adalah, "Alif Lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. (Qs. al-Rum [30]:1-3)
c. Ilmu dan maarif al-Qur'an
Dalam al-Qur'an terdapat beberapa matlab yang setidaknya pada masa pewahyuannya tidak seorang pun manusia yang mampu mengakses matlab tersebut. Dan sekarang pun terdapat ilmu dan maarif menjulang dalam al-Qur'an yang masih belum dikenal oleh manusia dewasa ini. Kebanyakan yang dikenal manusia hari ini dari ilmu dan maarif menjulang itu adalah melalui jalan Nabi Saw sendiri dan para Maksum As serta petunjuk yang berkelanjutan dari mereka, di antaranya hadis-hadis terkait masalah teologi, pembahasan akal, poin-poin filosofis, teologis dan tema-tema irfani.
Bagaimanapun, bahkan sekiranya ada seseorang yang berpandangan bahwa seluruh ilmu dan maarif al-Qur'an telah dikenal dan dapat diakses oleh manusia, kendati tiada pandangan seperti ini pada masa lampau, perkara ini tidak akan mereduksi nilai kemukjizatan al-Qur'an dalam masalah ini. Perlu diingat bahwa pembuktian kemukjizatan al-Qur'an ini bukan dari aspek pembawanya, namun dari aspek segala ilmu dan makrifat yang dalam dan tinggi yang sedemikian agung, sehingga lebih melampaui dan memuncak daripada cakrawala berpikir setiap ilmuwan pada masa itu. Secara umum ilmu dan maarif al-Qur'an ini bukan merupakan pemikiran manusia dan tanda wahyu Ilahi terlihat dari puncaknya.
d. Tiadanya kemampuan manusia untuk menggugurkan ilmu dan maarif yang termaktub dalam al-Qur'an
Setelah bertahun lamanya berlalu dan dengan seluruh kemajuan pengetahuan manusia dan pertukaran ilmu dan kebudayaan, tiada satu pun dari matlab yang disebutkan dalam al-Qur'an yang gugur kebenarannya. Dengan demikian telah terbukti kebenaran al-Qur'an dan sumbernya dari langit.
Ada baiknya poin ini disebutkan bahwa meski boleh jadi sebagian pengetahuan manusia -seperti logika dan matematika- yang terhimpun dalam sebuah satu himpunan yang tersusun rapi yang kita warisi dari para pendahulu kita, belum tergugurkan. Namun dengan memperhatikan bahwa pertama, pengetahuan-pengetahuan ini berada dalam format swa-bukti-swa-bukti pertama (badihiyyat al-awwali) atau fitri dalam pemikiran setiap ilmuan. Dan orang-orang yang menyusun masalah ini, sejatinya pengumpul bukan pembawa. Kedua, secara umum seluruh kitab yang disusun oleh manusia berhubungan dengan satu ilmu khusus dan berkenaan dengan tema tertentu, sementara salah satu tipologi terpenting atas gemilangnya ilmu dan makrifat al-Qur'an adalah menjuntainya ruang lingkup pembahasannya dan menyiratkan puluhan matlab dalam satu ucapan.
Sejatinya permasalahan ini merupakan satu lagi aspek kemukjizatan al-Qur'an yang menyimpan sedemikian pengetahuan yang pada dirinya. Manusia mana, di samping dapat mengakses terhadap ilmu yang bervariasi dan domain yang sama sekali asing – dengan segala penjelasan akurat dan kokoh serta keluasan tema – mampu mempelajari pengetahuan semacam ini dan menempatkan masalah-masalah secara berurutan, dimana dalam menyampaikan ucapannya, ilmu yang beragam dapat dipetik sedemikian sehingga bukan maksud yang terabaikan dan juga bukan keterjalinan yang menjadi kusut, bukan juga kesalahan. Dan hal ini sepanjang abad bersinar terang serta senantiasa terjaga dari pengguguran?[7]
3. Kemukjizatan pembawa al-Qur'an
Aspek kemukjizatan al-Qur'an ini semenjak dahulu telah menjadi obyek pembahasan. Sebuah pembahasan yang menekankan bahwa Rasulullah Saw adalah sosok yang ummi, lalu bagaimana beliau dapat menyuguhkan kitab sedemikian di kalangan masyarakat semenanjung Arabia yang secara asasi tidak familiar dengan pengetahuan dan kebudayaan.[8]
Perlu diketahui bahwa pembahasan kemukjizatan, kendati ghalibnya mengedepan pada pembahasan Ulumul Qur'an, sejatinya merupakan pembahasan teologis. Oleh karena itu pembahasan ini juga dikaji dalam kitab-kitab teologis.[9]
Untuk telaah lebih jauh silahkan baca:
- Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, Muassasah-e Farhang Khane-ye Kherad, Qum, Cetakan Pertama, 1377.
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Sayid Mustafa Tsamini, Wujuh I'Jâz al-Qur'ân, kumpulan maqalah pada konferensi kedua ihwal riset dan pemahaman al-Qur'an al-Karim, Dar al-Qur'an, Qum, hal.168-178
[2] Idem, hal. 169
[3] Lihat, Mahmud Abu Rayya, Adhwâ' 'ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 42
[4] Idem, hal. 46
[5] Idem, hal. 47
[6] Terkait dengan masalah ini untuk telaah lebih jauh Anda dapat menyediakan software "Qadr" karya Dr. Sayid 'Ali Qadiri.
[7] Dinukil dari Allamah Thaba-thabai bahwa seluruh pengetahuan al-Qur'an dapat disimpulkan dari setiap surah al-Qur'an. Apabila sedemikian, maka hal ini bermakna bahwa setiap himpunan yang berada di bawah setiap surah menyimpan seluruh makrifat al-Qur'an. Artinya seluruh makrifat ini, seratus empat belas kali dijelaskan dalam bentuk yang beragam. Hal ini akan menjadi keajaiban lain dari selaksa keajaiban al-Qur'an.
[8] Sebagian orientalis pada aspek ini berkata: Nabi Muhammad adalah orang yang berpendidikan dan menuntut ilmu pada ulama agama-agama terdahulu. Ia –nauzhubiLlah- menulis al-Qur'an berdasarkan ilmu yang didapatkan dari ulama tersebut. Dan apabila al-Qur'an, masyarakat semenanjung Arabia disebut sebagai masyarakat ummi adalah bermakna bahwa mereka tidak mengenal maarif Ilahiah, tidak bermakna bahwa mereka tidak berpendidikan. Di semenanjung Arabia, terdapat banyak orang-orang yang berpendidikan, dan bahkan dengan pengetahuan yang melimpah. Dan apabila Muhammad disebut sebagai "ummi" tidak berarti bahwa ia tidak berpendidikan dan tidak menuntut ilmu dari seseorang, melainkan maksudnya adalah bahwa ia adalah seorang nabi sebuah ummat yang ummi; artinya asing dan tidak familiar dengan maarif Ilahiah. Akan tetapi riset-riset yang fair para periset yang netral menunjukkan bahwa ucapan ini tidak berdasar dan semua klaim ini adalah untuk mengingkari kemukjizatan al-Qur'an. Lihat, Dr. Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahihi, hal. 2-3.
[9] Lihat, Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 47-51.
source : alhassanain