Islam menaruh perhatian besar terhadap harga diri
seorang muslim. Bagi Islam, kesatuan dan persatuan,
keselarasan dan ketangguhan masyarakat islami adalah
yang terpenting dan terutama. Islam memuji apapun yang
mengukuhkan persatuan dan membenci apapun yang
melemahkannya. Islam mencela segala perbuatan yang
menginjak-injak harga diri manusia. Ghibah
(menggunjing) merupakan salah satu perbuatan yang
dapat melemahkan persatuan dan hubungan sosial,
menghancurkan moral sosial, menghilangkan rasa saling
percaya, dan dapat menjadi bibit yang meruntuhkan
kerja sama dan sikap saling tolong menolong.
Zainuddin ‘Ali yang lebih dikenal sebagai Al-Syahid
Al-Tsani menyebutkan ghibah ke dalam dua defenisi.
Pertama, Ghibah adalah menyebut-nyebut keburukan
seseorang yang tidak disukainya pada saat dia tidak
hadir, keburukan yang pada umumnya merupakan suatu aib
dengan maksud merusak dan menjelek-jelekkan
(reputasinya)-nya. Kedua, ghibah berarti mengucapkan
segala sesuatu yang penisbahannya kepada orang yang
bersangkutan dianggap menjijikkan olehnya.
Rasulullah SAW saat ditanya oleh Abu Dzarr, “’Ya
Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Rasul menjawab,
‘(Apabila) kamu menyebutkan sesuatu yang diperbuat
saudaramu, berarti kamu telah meng-ghibah-nya, dan
apabila kamu menyebutkan sesuatu yang tidak
dilakukannya, berarti kamu telah mem-buhtan-nya.’”
Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda, (Nabi SAW
bertanya kepada sahabat-sahabatnya), “’Tahukah kalian
apa ghibah itu?’ Mereka berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui.’ Rasul SAW berkata, ‘Itu adalah
menyebutkan sesuatu tentang saudara kalian yang tidak
disukainya.’”
Dengan menelaah hadis-hadis mengenai ghibah, banyak
ulama yang berpendapat bahwa ghibah tidak sebatas
ungkapan kebahasaan saja—meski pada umumnya dalam
bentuk ucapan—tapi mencakup segala bentuk komunikasi.
Allah SWT dalam firman-Nya menggambarkan kondisi
malakut orang yang meng-ghibah sebagai orang yang
memakan bangkai saudaranya. Allah berfirman, “Dan
janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat:
12)
Terkait besarnya dosa yang disebabkan oleh ghibah,
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya dirham yang
diperoleh secara riba oleh seseorang dosanya lebih
besar dari tiga puluh tiga perzinaan di sisi Allah.
Namun yang lebih besar dari semua riba ialah harga
diri seorang muslim.”
Seorang manusia, jika melanggar hak Allah, maka akan
berurusan dengan Allah SWT yang Maha Penyayang, yang
suci dari dendam, benci, dan permusuhan. Adapun jika
seseorang mengabaikan hak orang lain, bisa jadi dia
berurusan dengan seseorang yang memiliki sifat tidak
mudah memaafkan. Ghibah tidak hanya melanggar hak
Allah SWT, tapi juga melanggar hak dan kehormatan
orang yang di-ghibah. Allah SWT tidak akan mengampuni
pelaku ghibah sebelum orang yang di-ghibah
memaafkannya. Allah akan menghinakan dan menyingkap
tabir aib orang yang meng-ghibah, di dunia maupun di
akhirat.
Tidak hanya itu, ghibah merupakan perbuatan yang dapat
menghapus amalan. Amalan baik pelaku ghibah akan
berpindah kepada orang yang dia ghibah, sedangkan
dosa-dosa korban ghibah-nya akan berpindah kepadanya
(peng-ghibah).
Diriwayatkan pula, bahwa Allah SWT mewahyukan kepada
Nabi Musa as, “Orang yang mati dalam keadaan sudah
bertobat dari perbuatan mengumpat, dialah yang paling
akhir masuk surga. Orang yang mati dalam keadaan tetap
berbuat itu, dialah yang pertama masuk neraka.”
Hukuman ghibah tidak hanya berlaku bagi peng-ghibah,
tetapi juga bagi orang yang mendengarkan ghibah. Nabi
SAW bersabda, “Yang mendengarkan adalah salah satu
dari dua orang yang melakukan ghibah.” Hadis ini
menunjukkan bahwa mendengar ghibah itu sama saja
dengan melakukan ghibah itu sendiri, dalam kondisi
apapun, bahkan memaklumi perbuatan ghibah—yang terjadi
di hadapan seseorang, misalnya—pun sudah termasuk dosa
besar.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq,
dengan isnad-nya dari Imam Shadiq, dalam sebuah hadis
yang merupakan kumpulan larangan Nabi SAW, Imam Shadiq
berkata, “Sesungguhnya Nabi mulia SAW melarang ghibah
dan melarang juga mendengar ghibah. Lalu beliau SAW
bersabda, ‘Barangsiapa melakukan kebaikan bagi
saudaranya dengan menolak ghibah ketika
mendengarkannya dalam suatu majelis, Allah akan
menyelamatkannya dari seribu keburukan di dunia ini
dan di akhirat. Dan jika dia tidak berbuat demikian,
padahal dia dapat menolaknya, beban orang yang
melakukan ghibah akan dibebankan kepadanya sebanyak
tujuh puluh kali.’”
Ulama dan para ahli fikih memiliki pengecualian
terhadap golongan orang yang boleh di-ghibah. Meski
demikian, manusia diingatkan agar selalu mawas diri
sehingga tidak terperdaya tipu muslihat hawa nafsunya.
Dalam hal ini, seseorang harus selalu membersihkan
hatinya dari niat buruk, seperti niat mencelah dan
merendahkaan. Ghibah yang dimaksud haruslah dengan
niat demi Allah dan syariat.
Orang yang bangga dengan terang-terangan melanggar
perintah Allah. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan
diwajibkan ghibah (khusus untuk dosa yang dilakukan
terang-terangan) terhadapnya apabila dipandang dapat
membantu menahannya dari perbuatannya tersebut. Hal
ini dianggap sebagai salah satu tahap amar makruf-nahi
mungkar. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
menyibak tirai malu dan harga dirinya, maka tidaklah
haram mengghibahnya.”Dari konteks riwayat ini dapat
disimpulkan bahwa jika seseorang bangga dengan
keburukan-keburukan yang ada pada dirinya dan tidak
merasa malu sedikit pun, maka ia telah menghancurkan
kehormatan dan kepribadiannya sendiri, dan perbuatan
ini menyebabkannya boleh di-ghibah.
Bermusyawarah untuk memperoleh kesepakatan umum
untuk membimbing seseorang ke arah yang benar. Seperti
membicarakan calon pasangan hidup, rekan bisnis dan
semacamnya, pribadi seseorang harus dibuka. Hal ini
dimaksudkan agar seorang muslim tidak jatuh dalam
bahaya.
Seseorang yang dizalimi dan mengadukan hal
tersebut kepada orang-orang yang bertanggung jawab
atau kepada orang-orang dekatnya.
Ilmuwan palsu (mereka yang ingin memanfaatkan
orang lain dengan klaim-klaim yang tidak pada
tempatnya).
Ghibah terhadap orang-orang yang musyrik.
Hal yang penting untuk diperhatikan adalah, meskipun
ghibah termasuk dosa moral dan sosial yang besar,
demikian juga merusak dan akan diikuti dengan
konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya, namum terdapat
pengecualian pada kasus-kasus tertentu, dimana di
dalamnya terdapat kebaikan bagi manusia, dan terdapat
tujuan yang sah dan masuk akal yang lebih bermanfaat
daripada kerusakannya, atau tidak ada keburukan di
dalamnya, maka secara syar’i hal ini diperbolehkan.