Belakangan ini, kita merasakan betapa hidup kita
didominasi oleh uang dan harta-benda. Betapa nafsu
materialistik mendorong kita untuk terus mengejar
benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk
hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya
pemahaman tentang tujuan hidup dan penciptaan kita,
serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara
meraih kebahagiaan hidup kita.
Akibatnya, banyak di antara kita -manusia-manusia
modern, khususnya yang tinggal di kota-kota besar-
tidak lagi hidup sebagai manusia, tetapi lebih tepat
disebut sebagai “zombie”. Zombie adalah manusia yang
sebetulnya sudah mati, tapi dapat bergerak ke segala
penjuru, namun tanpa kesadaran. Kita jungkir-balik
mengejar uang, untuk membeli benda-benda, bergegas
pergi ke sana ke mari, lupa waktu, lupa keluarga, dan
manusia lainnya, akibat kehilangan perspektif tentang
tujuan kita mengejarnya. Padahal, kita tahu, esensi
kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada gerakan
fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita.
Kesadaran bahwa kita diciptakan Allah Swt. di muka Bumi
ini bukan sia-sia, melainkan untuk tujuan yang serius;
beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin
silaturrahim—hubungan penuh kasih-sayang—, beramal
saleh kepada orang lain sebanyak-banyaknya, dan
menjadikan kehidupan di lingkungan sekitar lebih baik.
Sayangnya yang terjadi adalah sebaiknya. Lewat berbagai
media yang menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita
diiming-imingi dengan kebutuhan-kebutuhan artifisial.
Yakni ”kebutuhan” yang sebenarnya tak memiliki fungsi
untuk menjadikan hidup kita lebih berbahagia. Dahulu,
sebelum datang dan berkuasanya modernisme dan era
industri, orang bekerja untuk tujuan yang jelas; meraih
kesejahteraan. Dalam konteks ini, benda dan uang
dipahami sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri.
Dengan cara itu, sesungguhnya, pada masa-masa terdahulu
manusia lebih hidup “sebagai manusia”. Meski ilmu
pengetahuan dan teknologi telah berkembang luar biasa
pesat di masa-masa sekarang ini, manusia masa lampau
tampak lebih terampil dalam mengatur hidupnya, menjaga
perspektifnya dalam bekerja dan berusaha. Dengan kata
lain, mereka lebih terampil dalam berupaya mencapai
kebahagiaan ketimbang manusia-manusia sekarang.
Sekarang, banyak di antara kita yang justru
mengorbankan kebahagiaan demi mengejar uang. Tidak
jelas lagi perbedaan antara “tujuan” dan “sarana”
hidup. Sebagai bukti, tak jarang kita melihat
seseorang justru mengalami kehampaan makna hidup
setelah mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang
yang berlimpah tidak memberikan kebahagiaan dan makna
hidup.
Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana memaknai uang
dengan tepat?
Pertama, Agama tidak anti kepada orang yang mencari
uang, tidak anti pula pada upaya-upaya mencari karunia
Allah Swt. Bahkan dalam Al-Quran disebutkan, Yang
penting, kita senantiasa dapat memelihara agar tetap
memiliki perspektif yang benar sehubungan dengan
kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali lagi,
adalah sarana, bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan
perspektif yang lurus seperti ini, tak ada orang yang
mau mengorbankan kebahagiaannya, tujuan hidupnya, demi
mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi upaya
mendapatkan kebahagiaan hidup.
Kedua, Kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa
tugas hidup adalah beribadah kepada-Nya, dengan jalan
menebarkan rahmat bagi alam semesta. Bahkan,
sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia
telah diciptakan Allah dengan fitrah mencinta.
Kebahagiaan dan kepuasan hidup tak akan pernah bisa
diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan
fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang
lain. Uang atau harta benda yang kita miliki hanyalah
sarana pendukung untuk kita menyelenggarakan upaya-
upaya seperti ini.
Ketiga, Kita perlu membangun dan memelihara kesadaran
bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada
banyaknya uang dan harta benda, melainkan pada
bagaimana kita memandang fungsi dan cara
menggunakannya. Yaitu dengan mensyukuri, memanfaatkan
untuk hal-hal yang halal dan baik, menghindarkan diri
dari gaya hidup berlebihan, serta menggunakan kelebihan
rizki yang kita miliki untuk berbuat baik kepada orang
lain. Hanya dengan itu kita akan mendapat kebahagiaan,
termasuk kebahagiaan di dunia ini, dan pada saat kita
dibangkitkan kelak.
Jangan sampai, seperti kisah Pedang Damocles dalam
mitologi Yunani, bukannya bermanfaat untuk membunuh
musuh dalam peperangan, ia bergerak sendiri dan menusuk
pemiliknya. Jangan sampai uang, yang seharusnya
membantu kita dalam mendapatkan kebahgiaan, malah
menjadikan kita egois, berbangga hati sambil melecehkan
orang lain, merusak kedamaian keluarga, memutuskan
silaturrahim, dan berbagai ekses merusak lainnya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.