Sejenak kita saksikan beberapa fatwa Ulama Wahabi terkait bertawasul.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz seorang mufti terkemuka Hijaz mengatakan bahwa: “tawasul pada kedudukan, maqom dan berkah atau hak seseorang adalah sebuah bid’ah tapi bukan syirik. Jadi tidak dibenarkan siapapun yang berkata ‘Allahumma inni bijahi Nabiyika/ bijahi awliyaika fulan…’ atau ‘bihaqi fulan’ atau ‘bibarkati fulan…’, hal ini merupakan bid’ah dan condong kepada kesyirikan meskipun tidak sampai pada derajat syirik.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat mutanawi’ah, syaik Ibn Baz, jil. 4 hal. 311)
Syaikh Soleh bin Fauzan berkata: “barang siapa yang beriman pada sifat Khaliq dan Raziq Allah swt. namun diwaktu yang sama ia menempatkan seorang perantara antara dia dengan Tuhannya, maka ia telah melakukan bid’ah… dan jika ia bertawasul (kepada jah/maqam atau kedudukan mereka disisi Allah swt.) tanpa menyembah mereka, maka ini adalah bid’ah yang diharamkan dan ang mengantarkan pada kesyirikan…” (al-Muntaqi min Fatawa as-Syaikh Ibn Fauzan, jil 2 hal. 54) 1338
Nashiruddin Al-Bani: “Saya berkeyakinan bahwa barang siapa yang bertawasul kepada Awliya, Shalihin dan lainnya, maka ia telah melenceng dari jalan kebenaran (agama)…” (Fatawa al-Baani, hal. 432)
Wahabi yang mengaku mengikuti ulama salaf dan ingin memurnikan Islam dari ‘inovasi-inovasi’ ibadah yang tidak ada pada zaman Nabi maupun Sahabat, sudah terlalu banyak mempermasalahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh Muslimin pada umumnya. Inovasi-inovasi tersebut mereka sebut Bid’ah, Salah satunya yaitu tawasul seperti fatwa yang telah dikemukakan sebelumnya. Secara umum alas an bid’ah adalah yang paling sering digunakan oleh kaum tersebut. Padahal dalam memahami makna bid’ah itu sendiri perlu pendalaman yang intensif karena disana masih terdapat perbedaan pandangan dari sisi makna maupun misdaq-nya.
Lalu apakah benar tawassul itu diharamkan (karena menjurus pada kesyirikan)? Apakah tawassul ini sesuai dengan ajaran dan sunnah Rasulullah saw.?
Sebenarnya sudah banyak sanggahan atas syubhat yang dilemparkan oleh para pengikut Abdullah bin Wahab ini, namun tidak ada salahnya kita lebih menggali lagi untuk memantapkan keyakinan atas kebenaran hakiki dari salah satu ibadah Muslimin ini.
Tawassul sendiri memiliki makna bahwa seorang hamba menempatkan sesuatu atau seseorang sebagai perantara antara dia dengan Allah swt. yang mengantarkannya untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Wasilah/perantara pada dasarnya memiliki 2 jenis yaitu materi seperti air dan makanan yang menjadi perantara menghilangkan kehausandan rasa lapar dan non-materi seperti Allah mengampuni dosa seorang hamba ketika ia menjadikan Nabi sebagai perantara dalam memintakan ampunan untuk dirinya.
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوّاباً رَحِيماً
“…sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya dating kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah dan Rosul pun memohon ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 64)
Penting untuk difahami bahwa tatanan penciptaan tidak lepas dari sebab akibat atau illat dan ma’lul dan ini tidak terbatas pada hal yang bersifat materi saja, hidayah dan ampunan yang merupakan anugerah dari Allah swt. pun tidak lepas dari tatanan ini. Aturan ini bersumber dari ke-Maha Bijaksanaan Tuhan dalam menciptakan sebaik-baiknya penciptaan; (Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah,) (QS. Sajdah: 7)
Al-Quran banyak menyinggung masalah ini salah satunya ayat yang berbunyi:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 35)
Melalui kisah-kisah teladan yang terekam dalam Quran, Allah swt menyinggung berbagai hal yang berkaitan dengan menjadikan seseorang sebagai perantara untuk mengantarkan hamba-Nya pada kedekatan kepada Allah swt. seperti pada kisah Nabi Musa dan Nabi Muhammad saw ketika menjadikan arah kiblat sebagai wasilah untuk memfokuskan diri diharibaan-Nya.
Allah swt. berfirman:
قَدْ نَري تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضاها فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمّا يَعْمَلُونَ
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS.Al-BAqarah: 144) n
وَأَوْحَيْنا إِلي مُوسي وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّءا لِقَوْمِكُما بِمِصْرَ بُيُوتاً وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, “Ambillah beberapa rumah di Mesir untuk (tempat tinggal) kaummu dan jadikanlah rumah-rumahmu itu tempat ibadah dan laksanakanlah shalat serta gembirakanlah orang-orang mukmin.” (QS. Yunus: 87)
Seorang hamba yang mengingkari sebab-akibat yang merupakan bagian dari penciptaan, berarti ia mengingkari wujud penciptaan itu sendiri dan telah berpaling dari hikmah Tuhan yang dengannya menciptakan alam semesta. Syahid Muthahari berkata bahwa setiap Fi’il Allah memiliki aturan dan hikmah, dan jika seorang hamba tidak memperhatikan aturan ini maka dia telah bermaksiat.
Terakhir, ada riwayat yang dinukil dari Usman bin Hanif mengatakan bahwa ada seorang yang buta mendatangi Rasulullah saw. dan meminta padanya untuk berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya. Beliau bersabda: “Jika kamu mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu. Namun jika kamu mau aku akan mendoakanmu.” Orang yang buta tersebut berkata: “aku ingin Anda berdoa untuk kesembuhanku.” Rasulullah saw menyuruhnya untuk berwudhu dan berdoa seperti ini,
«اللّهمّ إنّي أسألك وأتوجّه إليك بنبيّك محمّد نبيّ الرحمة، يا محمّد! إنّي توجّهت بك إلي ربّي في حاجتي ليقضيها، اللّهمّ شفّعه فيّ»
Semua ini adalah bentuk dari bertawasul kepada Allah swt. yang terekam dalam Al-Quran maupun Riwayat, jadi tidaklah benar mengatakan bahwa tawassul/menjadikan hamba Sholeh sebagai perantara mendekatka diri pada Allah adalah ‘inovasi’ dalam ibadah yang tidak ada pada zaman Nabi dan Sahabat. Sekiranya dalam hal ini perlu pemahaman lebih dalam dengan merujuk kitab-kitab muktabar supaya memantapkan keyakinan kita dalam menjalankan ibadah tanpa terpengaruh oleh syubhat-syubhat musuh Islam baik di luar ataupun tubuh Islam itu sendiri.