Di dalam al-Qur’an terdapat sebuah topik umum yang membahas tentang siapa yang diikuti dan siapa yang mengikuti (dalam bentuk saran-saran kepada setiap orang yang hidup dalam lingkungan arogan dan tertindas. Barangkali kita dapat mengambil dari sebuah makna yang komprehensif untuk para pengikut, bahkan dari sudut pandang perasaan) seperti sebagai seorang suami yang mengikuti istrinya karena kasih-cintanya kepada istrinya, atau seorang istri terhadap suaminya, atau seorang teman yang mengikuti konco-nya. Mereka yang diikuti akan menjelaskan kepada mereka yang mengikuti; Mereka akan melihat azab dan segala sesuatu yang berhubungan di antara mereka. Dan mereka yang mengikuti akan berkata, “Seandainya kami dapat kembali ke dunia pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” (Qs. al-Baqarah:167)
Kita dapat melihat, al-Qur’an menekankan bahwa pengikut juga memikul tanggung jawab, bahkan bila terdapat tekanan-tekanan material atau emosional yang menyebabkan ia mengikuti mereka. Karena Tuhan menarik perhatian manusia kepada kenyataan bahwa mereka harus memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan hidup di dunia dan melepaskan diri mereka dari keadaan-keadaan yang menekan. Kita menafsirkan hal ini dari ayat lain, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs.an-Nisa’:97)
Tatkala Allah Swt melemparkan tanggung jawab kepada orang-orang tertindas terhadap penyimpangan yang mereka lakukan, beserta orang-orang sombong dan kesalahan-kesalahan mereka, Dia menghendaki mereka menjauhkan diri mereka dari lingkungan yang merusak, sehingga mereka bisa terhindar dari tekanan-tekanan yang ada. Hal ini adalah bukti tersirat bahwa seseorang tidak dibenarkan menempatkan dirinya pada situasi yang menyebabkan dia tertekan perasaan dan material (badan) yang dapat membuat dia terpengaruh secara negatif. Dan ketika ia menjumpai dirinya dalam atmosfir demikian, ia harus lari, membebaskan dirinya dari keadaan tersebut.
Pedoman pendidikan ini, yang merupakan titik-tolak pandangan al-Qur’an, berhubungan dengan pengaruh manusia terhadap manusia lainnya. Seseorang harus menahan perasaanya sehingga ia dapat menghindar dari pengaruh orang lain yang menguasai dirinya. Ia harus melepaskan dirinya dari situasi yang menekan dan menggunanakan dasar bahwa ia belum matang keimanannya.