Imam Shadiq as berkata, "Mensyukuri segala nikmat yang ada berarti telah menjauhi perbuatan dosa. Seorang hamba yang mensyukuri nikmat Allah dengan sempurna melakukannya dengan mengucapkan "Alhamdulillahi Rabbil Alamin"."(1)
Bila seseorang melakukan sesuatu dengan tangan, lisan, pena, harta, jabatan dan kekayaan dengan niat mencari keridhaan ilahi, berarti dengan perbuatan yang suci itu ia telah bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang diterimanya. Tapi bila seorang melakukan dosa dengan salah satu dari sarana yang dimilikinya berarti telah mengingkari nikmat.
Seseorang yang hatinya sampai pada satu keyakinan bahwa seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, maka dengan keyakinan ini ia mengucapkan syukur dalam bentuknya yang paling tinggi, menjalankan kewajiban hatinya, senantiasa mengontrol dirinya, dalam perbuatan ia juga mensyukuri nikmat-nikmat yang berasal dari luar dirinya. Syukur yang paling sempurna adalah memanfaatkan segala nikmat yang dimilikinya sesuai dengan keridhaan ilahi dan meninggalkan perbuatan dosa.
Sebagian dari nikmat yang ada pada manusia berasal dari hasil usahanya sendiri. Dalam kondisi yang semacam ini, Allah Swt memerintahkan hambanya selain bersyukur kepada-Nya sebagai pencipta dan pemberi nikmat itu, ia juga harus mensyukuri cara yang digunakan sehingga berhasil meraih nikmat tersebut. Biasanya nikmat ini dihasilkan lewat perantara orang lain dan dengan bersyukur kepada orang lain. Imam Ridha as berkata, "Seseorang yang tidak mensyukuri nikmat makhluk berarti ia tidak mensyukuri Allah Swt."(2)
Imam Ali as berkata, "Orang yang memberimu nikmat dan sebagai balasannya engkau berterima kasih kepadanya, bila ia benar-benar ridha denganmu, maka ucapan syukurmu itu akan menambah kegembiraannya. Tapi bila orang itu marah, maka ucapan syukurmu itu akan memperbaiki hati dan emosinya."
Tak syak bahwa bersyukur kepada manusia yang lain, selain menaati perintah Allah Swt, juga memiliki dampak psikologi.
Ada sebuah riwayat dari Rasulullah Saw yang bersabda, "Seseorang yang makan dan kemudian bersyukur kepada Allah Swt, maka pahalanya seperti pahala orang yang berpuasa demi mendapat pahala ilahi. Seseorang yang sehat dan bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat kesehatan yang dimilikinya, maka pahalanya seperti pahala orang mukmin yang sakit dan senantiasa bersabar. Seseorang yang memiliki nikmat dari Allah Swt dan berbagi dengan orang lain, maka pahalahnya seperti pahala orang miskin yang qana'ah, merasa cukup karena Allah Swt dan menanggung kesulitan hidup ini dengan sabar."(3)
Manusia yang telah sampai pada derajat yang tinggi tetap menjadi hamba yang bersyukur saat menghadapi segala kesulitan, penyakit dan musibah. Tapi manusia biasa hanya akan membuka lisannya untuk bersyukur ketika sehat. Sementara manusia yang memiliki kepekaan hati akan senantiasa bersyukur kepada Allah Swt dengan hati dan lisannya, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Manusia yang bersyukur dengan melakukan perbuatan syukur atas segala nikmat yang diterimanya, berarti ia senantiasa sedang berusaha untuk menambah modal materi dan spiritualnya. Sebaliknya, orang yang mengingkari nikmat Allah Swt sedang berusaha untuk membakar diri dan apa yang dimilikinya lalu secara perlahan-lahan ia akan binasa. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Catatan:
1. Misykat al-Anwar, hal 31.
2. Mizan al-Hikmah, jilid 5, hal 153.
3. Ushul al-Kafi, jilid 2, hal 92.
Sumber: Mehr News
source : indonesian.irib.ir