Indonesian
Sunday 22nd of December 2024
0
نفر 0

Cinta dan Isyq dalam Tasawuf

Cinta dan Isyq dalam Tasawuf


Cinta dan isyq menjadi asas seorang salik dalam melakukan perjalanan menuju Hak Swt. Dimana jika tidak terdapat kondisi batin ini secara sempurna pada diri seorang penapak jalan spiritual maka kondisi dan maqam lain tidak akan dapat diraihnya. Karena itu cinta dan isyq dari sisi ini serupa dengan maqam taubat dimana setiap maqam lainnya berpijak dan beranjak darinya.
Menurut keyakianan para urafa, cinta dan isyq bukan hanya asas dari pergerakan busur naik, bahkan ia juga sebab utama pergerakan busur turun atau penciptaan alam ini. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw mengilustrasikan tentang hal ini:
کنت کنزا مخفیا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق لکی اعرف
“Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta dikenal maka Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenali”
Adapun pergerakan busur naik, dalam gerak cinta terkandung makna keinginan menyempurna sebagaimana yang dicintai, yakni Hak Swt yang mempunyai kesempurnaan-kesempurnaan dzat, nama-nama dan sifat, serta perbuatan-perbuatan. Karena itu sang pesalik dalam maqam ini berkeinginan terserap kepada dzat eksistensi tunggal Ilahi dan sampai pada pencapaian akhlak Ilahi, dimana seluruh dimensinya menjadi lokus tajalli Ilahiah.
 
Hakikat Cinta
Pandangan para sufi dan urafa terhadap hakikat dan definisi cinta tidaklah satu dan sama. Sebagian dari mereka mengatakan cinta tidak terdefinisikan dan tersifatkan. Mereka berkeyakinan bahwa bahasa dan ucapan tidak memiliki kapasitas dalam menjelaskan konsepsi dan makna cinta. Anshari Qasim menukil perkataan Ibnu Arabi, Siapa yang mendefinisikan isyq (cinta yang dalam), ia tidak mengetahuinya, dan siapa yang tidak mencicipi cawan cinta, ia tidak mengetahuinya, dan siapa yang mengatakan saya telah kenyang dari cawan minuman cinta, ia tidak mengetahuinya, sebab cinta tidak akan pernah menghilangkan dahaga seseorang (Anshari Qasim, Mabani Irfan wa Tasawuf, hal 90).
Sebagian lainnya mendefinisikan cinta dengan pendekatan penyifatan dan menjelaskan tentang kebagaimanaannya, sebagaimana berikut ini: Cinta adalah kecenderungan batin kepada alam jamal (Kasyani, Misbahul Hidayah wa Miftahul Kifayah, hal 404).
Syibli berkata: Mahabbah, dari sisi dinamakan sebagai mahabbah, sebab apa saja yang ada dalam hati selain dari mahbub (yang dicintai), semuanya akan terhapus (Mabani Irfan wa Tasawuf, hal 89).
Syekh Abul hasan Kharqani berkata: Siapa yang telah menjadi pecinta, dia telah menemukan Tuhan, dan siapa yang telah menemukan Tuhan, dia akan melupakan dirinya (Kharqani, Nurul Ulum, hal 111).
Abu Ya’qub berkata: Hakikat cinta adalah bahwasanya hamba melupakan saham dirinya karena Tuhan (Qusyairi, Risalah Qusyairiyyah, hal 328).
Pesalik pecinta memandang dirinya orang yang paling butuh kepada Hak swt, tetapi ma’syuq (yang dicintai) secara mutlak tidak butuh kepada sesuatupun. Adanya cinta dan tiadanya cinta makhluk dan hamba kepadaNya tidak memberikan keuntungan dan kerugian sedikitpun kepada-Nya, sebab Dia Hak Swt kesempurnaan absolut dan pencipta segala makhluk, karena itu tidak ada kebutuhan sedikitpun terhadap kecintaan yang lain kepada-Nya.
 
Pembagian Cinta
Ibnu Arabi membagi cinta dalam tiga bagian; cinta natural, cinta ruhani, dan cinta Ilahi. Tujuan cinta ruhani adalah keserupaan dengan yang dicintai dan mengenal nilai maqam-Nya, sementara tujuan cinta Ilahi tidak lain kecintaan Tuhan pada hamba-Nya dan kecintaan hamba pada Tuhan-Nya, sebagaimana Tuhan firmankan: Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.
Dalam pembagian lain, Baqli Syirazi membagi cinta atas lima bagian: Ilahi, aqli, ruhani, bahimi, dan tabi’i (natural). Cinta Ilahi khusus bagi ahli musyahadah, cinta aqli bagi ahli makrifat, cinta ruhani terkhusus bagi orang-orang khusus di antara orang-orang khusus, cinta bahimi (hewaniah) bagi orang-orang rendah, dan cinta natural bagi pada umumnya makhluk ciptaan. Urafa meyakini bahwa amanat yang diberikan Tuhan pada manusia tidak lain adalah cinta (mabani Irfan wa Tasawuf, hal 90).
Sebagian lainnya membegi cinta ditinjau dari sudut yang dicintai serta membaginya dua kategori: cinta hakiki dan cinta majazi (metafora). Cinta hakiki, yang dicintai adalah Tuhan, sedangkan cinta majazi, yang dicintai adalah selain Tuhan. Disebutkan bahwa boleh jadi cinta majazi ini dapat menjadi penunjuk ke arah cinta hakiki, tapi dengan syarat membawanya kepada jamal dan keindahan Ilahi (taqi Jakfari, Irfan islami, hal 187).

Cinta dalam Narasi Al-Qur’an
Cinta dalam Al-Qur’an ditemukan penggunaannya yang kadang menyifatkan hubungan sangat erat antara mukmin dengan Tuhan atau hubungan antara mukmin satu dengan mukmin lainnya. Misalnya ayat, “Orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Dalam ayat 9 Surah Al-Hasyr digambarkan kecintaan mukmin kepada mukmin lainnya, yakni kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin:
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Di ayat-ayat lainnya Tuhan mengungkapkan kecintaan-Nya terhadap orang-orang yang bertobat, muhsin, muttaqin, muthahhirin, dan muqsithin. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat ini: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222). “Dan Allah mencintai orang-orang muhsin (berbuat baik)” (QS. Al-Baqarah: 195). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang muttaqin (orang-orang bertaqwa)” (QS. Al-Imran: 76). “Dan Allah mencintai muthahhirin (orang-orang membersihkan diri)” (QS. At-Taubah: 108). “Sesungguhnya Allah mencintai muqsithin (orang-orang yang berbuat adil)” (QS. Al-Maidah: 42).
Dalam riwayat disebutkan bahwa Buraid berkata, saya berada bersama Imam Baqir, seorang musafir dari Khurasan yang telah melewati perjalanan panjang dengan berjalan kaki untuk dapat berjumpa dengan Imam Baqir. Ia melepaskan sepatunya dan kakinya mengalami luka-luka (melepuh). Dia berkata, “Demi Tuhan, Dia tidak membawaku dari tempat di mana saya datang kecuali kecintaan terhadapmu, Ahlulbait.” Imam Baqir berkata, “Demi Tuhan, jika sebongkah batu cinta pada kami, maka Tuhan akan mengumpulkannya bersama kami.” Lantas beliau berkata, “Apakah agama, sesuatu selain cinta?”
 
Cinta dan Penyembahan
Para sufi dan kaum urafa memiliki perbedaan dengan kelompok-kelompok lain dalam hal metode pengetahuan dan pengungkapan pengetahuan. Dalam artian, di samping bersandar pada akal mereka juga bersandar pada dzauq dan bashirah (pengalaman dan pengetahuan batin). Dimana untuk mencapai bashirah dan makrifat batin dibutuhkan mujahadah dan riyadah. Disamping itu mereka juga memandang dalam hal tujuan dan kebagaimanaan beribadah berbeda dari para abid dan para zahid. Mereka beranggapan bahwa para abid dan para zahid masih mencari keuntungan dalam beribadah pada Allah Swt. Para abid beribadah karena menginginkan balasan dunia dan akhirat, sementara para zahid tidak menginginkan balasan dunia, tetapi menginginkan akhirat. Akan tetapi, urafa beribadah tidak dikarenakan keinginan dunia dan akhirat, tetapi karena kecintaaan mereka pada Tuhan sehingga mereka beribadah pada-Nya. Sebagaimana dinukil dari Amirul Mukminin Ali as bahwa beliau berkata, “Aku beribadah pada-Mu bukan karena takut akan neraka-Mu dan bukan karena menginginkan surga-Mu, akan tetapi karena Engkau pantas untuk disembah, maka Aku beribadah pada-Mu.”
Seorang pesalik di jalan Tuhan mestilah terbekali dengan pengetahuan yang memadai tentang yang ditujunya. Karena pesalik berkehendak pada Tuhan, maka ia membutuhkan makrifat Ilahiah. Dari sinilah terbangun iman dan keyakinan yang kokoh terhadap Tuhan yang akan melahirkan cinta terhadap-Nya. Jadi, dasar iman yang baik adalah makrifat yang baik. Sementara dasar dari cinta adalah pengetahuan dan kepercayaan terhadap yang dicintai. Cinta pada Tuhan mestilah dibarengi dengan ketaatan dan ibadah pada-Nya. Dari sinilah kemudian Tuhan akan memberikan ilmu hudhuri serta penyaksian terhadap Jalal dan Jamal-Nya.
Penyembahan yang didasari cinta terhadap Tuhan menghadirkan keyakinan, di mana keyakinan tersebut natijah dari mujahadah serta riyadah siang dan malam dari pesalik. Firman Tuhan: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami” (Qs: Al-Ankabut: 69). Dengan jalan-jalan itulah penapak spiritual akan meraih tajalli–tajalli Ilahiah serta meraup sifat-sifat dan asmaul husna-Nya. Mereka inilah yang diharapkan dapat menuntun dan membimbing masyarakat serta menyebarkan akhlak mulia Islami, seperti yang diteladankan Rasulullah Saw dan keluarga sucinya.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Cara Al-Qur’an Memuliakan Orang Tua
Hukum Allah selalu Yang Terbaik (Bag 3)
Fathimah Zahra, Wanita Penuh Makrifat dan Cinta
Apakah Imam Shadiq As memiliki guru dari kalangan Ahlusunnah As?
Keutamaan Berdoa Secara Bersama
Riba
Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah
Unsur Bersyukur
Kapankah Istri harus Minta Izin Suami?
Subjektivitas dalam Tasawuf: Konsepsi Ibn ‘Arabi tentang Tuhan, Kosmos dan Penemuan Diri

 
user comment