Dalam sebuah rumah tangga, seorang istri lebih ditekankan untuk mentaati suami karena laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Oleh karenanya tak jarang sang istri melakukan pekerjaan yang lebih berat dari pada suami, mengingat pekerjaan rumah tangga yang tidak mengenal jam ataupun shift kerja. Terlebih-lebih ketika hadirnya sang buah hati yang kita lihat lebih banyak dibebankan kepada istri dengan alasan ‘seorang ibu selalu ada di rumah’. Pendidikan dan tumbuh kembang anak yang seharusnya menjadi perhatian dan tanggung jawab kedua orang tua, sekali lagi karena ketidak pahaman suami akan hal tersebut seakan-akan menjadi tanggung jawab pribadi istri.
Ya, memang dalam riwayat banyak dikatakan bahwa seorang ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak, namun tidak berarti peran ayah gugur dengan sendirinya. Imam Ali as. Pernah mengatakan bahwa “warisan terbaik dari seorang ayah bagi anaknya adalah Akhlak yang mulia”, hal ini mengisyaratkan bahwa kewajiban seorang suami/ayah tidak terbatas pada bekerja mencari nafkah namun ada hal lain yang tidak kalah pentingnya dari hal itu seperti salah satunya pendidikan. Sayangnya, rasa lelah dari bekerja sering dijadikan alasan bagi sebagian suami untuk menghindari tanggung jawab-tanggung jawab seperti ini. Ini adalah fenomena yang kita lihat di sekeliling kita. Lebih parah dari itu, sebagian dari mereka memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga adalah kewajiban si istri sehingga enggan membantu meringankan beban-beban sang istri yang mana pada dasarnya itu bukanlah kewajiban dia saja sehingga ia harus melaksanakannya sendiri.
Rasulullah saw. mencela pandangan-pandangan seperti ini, karena kita tahu bahwa Rasul selalu memuliakan istrinya dan tidak membiarkannya dalam kepayahan dan kesusahan. Beliau pernah bersabda: “Lelaki yang mulia adalah mereka yang memuliakan seorang wanita, dan lelaki yang terhina adalah mereka yang selalu merendahkan wanita.” (al-Hadits)
Salah satu bentuk memuliakan istri adalah dengan memberikannya kelapangan dalam berumah tangga, membantu meringankan beban-bebannya (meskipun sang istri dengan penuh keikhlasan mengurus rumah tangga), begitu juga menghapus pemikiran-pemikiran yang menganggap segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga adalah kewajiban suami dan istri tugasnya hanya melayani suaminya. Ini adalah pemikiran yang menyesatkan.
Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu menceritakan betapa senangnya Rasulullah saw. ketika melihat suami yang membantu istrinya yang pada waktu itu Rasulullah saw. meliahat beliau sedang membantu putri tercintanya Fatimah Az-Zahra as. Beliau berkata: “pada suatu hari, Nabi saw. mengunjungi rumah kami, ketika itu Fatimah Az-Zahra as. Sedang duduk di samping tungku api (untuk memasak) sedangkan aku sedang sibuk membersihkan adas (sejenis kacang-kacangan). Ketika melihatku sedang membantu putri tercintanya, Nabi Muhammad saw. sangat senang lalu bersabda: “Wahai Abal Hasan (panggilan Imam Ali)!, dengarkan apa yang akan aku katakan, aku tidak mengatakan sesuatu kecuali itu merupakan perintah Tuhanku.”
Beliau melanjutkan: “Tidak ada seorang suami pun yang membantu istrinya di rumah, kecuali ia mendapatkan kebaikan (pahala) satu tahun shalat pada setiap helai rambut yang ada di badannya.”
Inilah kemuliaan dibalik meringankan pekerjaan sang istri, seorang pemimpin buaknlah raja yang selalu ingin dilayani namun ia merangkul dan memberikan teladan kepada yang dipimpinnya.