Mengenai sebab turunnya firman Allah SWT dalam al-Quran Surat al-Hujurat [49] ayat 13 serta penerapannya terdapat beberapa riwayat yang semuanya berkaitan dengan kasus-kasus keberbanggaan orang dengan keturunan, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya, antara lain terdapat beberapa hadis sebagai berikut;
Pertama, diriwayatkan bahwa sesudah pembebasan Mekkah Rasulullah SAW menunjuk Bilal sebagai muazzin di depan Baitullah Kaabah. Itab bin Usaid lantas berkata nyinyir, “Aku bersyukur kepada Allah atas kematian ayahku karena dia tidak menjalani hidup seperti saat ini di mana Bilal menjadi muazzin bagi kita di depan Kaabah.
Harits bin Hisyam menimpali perkataan itu dengan ucapan yang tak kalah nyinyirnya. “Apakah pada Rasulullah SAW tidak ada orang selain gagak hitam ini untuk beliau jadikan sebagai muazzin di Kaabah?” kata Harits. Firman suci tersebut lantas turun.[1]
Kedua, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan supaya menikahkan seorang gadis Arab dengan salah seorang Mawali (para budak yang telah dibebaskan atau orang non-Arab yang bertuan kepada orang Arab). Orang-orang lantas heran melihat perintah beliau. Mereka menyoal, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruh menikahkan puteri-puteri kami dengan kalangan Mawali?” Ayat itu lantas turun. [2]
Ketiga, diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW berkhutbah di Mekkah dan bersabda;
يا أيّها الناس إنّ الله قد أذهب عنكم عيبة الجاهلية وتعاظمها بآبائها، فالناس رجلان : رجل برّ تقيّ كريم على الله، وفاجر شقيّ هيّن على الله. والناس بنو آدم، وخلق الله آدم من تراب، قال الله تعالى : ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾.
“Wahai manusia, sesengguhnya Allah benar-benar telah meniadakan dari kalian aib dan keberbanggaan Jahiliyah dengan para leluhur mereka. Dengan demikian maka orang itu ada dua jenis. Pertama adalah orang yang baik, bertakwa dan mulia di sisi Allah. Kedua adalah orang yang fajir, keji, dan hina di sisi Allah. Manusia adalah anak keturunan Adam, sedangkan Allah menciptakan Adam dari tanah.”
Allah SWT lantas menurunkan ayat suci mengenai keutamaan takwa tersebut.[3]
Keberbanggaan berlandaskan materi dan aspek fisik yang berlaku pada manusia-manusia yang tidak taat kepada agama umumnya mengacu pada beberapa faktor sebagai berikut;
Pertama, faktor keturunan atau kabilah dan etnis, sebagaimana disinggung dalam ayat tersebut.
Kedua, faktor harta atau kekuatan ekonomi, sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT;
أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلاَّ رَجُلاً مَّسْحُوراً * انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الاْمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً * تَبَارَكَ الَّذِي إِنْ شَاءَ جَعَلَ لَكَ خَيْراً مِّنْ ذَلِكَ جَنَّات تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الاْنْهَارُ وَيَجْعَل لَّكَ قُصُوراً.
“‘Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil)nya?’ Dan orang-orang yang zalim itu berkata: ‘Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.’ Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu). Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana.” [4]
Padahal, tanpa petunjuk syariatpun akal dapat mengatakan bahwa harta merupakan perkara aksidental yang juga bisa didapat dengan zalim dan aniaya sehingga kemuliaannya dapat gugur dalam seketika, dan tak ada keutamaan baginya dalam tinjauan akal.
Ketiga, faktor kedudukan sosial, politik dan kekuasaan. Faktor ilusif inilah yang bisa jadi disinggung dalam firman Allah SWT:
وَقَالُوا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُل مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيم * أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْض دَرَجَات لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ * وَلَوْلاَ أَن يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَن يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفاً مِّن فِضَّة وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ * وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَاباً وَسُرُراً عَلَيْهَا يَتَّكِؤُونَ * وَزُخْرُفاً وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ عِندَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ.
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini.’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
“Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng- loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”[5]
(Bersambung)
CATATAN :
[1] Tafsir Namuneh, jilid 22, hal. 199.
[2] Ibid. Hal. 200.
[3] Ibid. Hal. 200.
[4] QS. Al-Furqan ]25]: 8 – 10.
[5] QS. Al-Zukhruf [43]: 31 – 35.