Dalam beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang membahas Hari Kiamat dan Hari Kebangkitan, terdapat redaksi liqa’ Allah (perjumpaan dengan Tuhan) atau liqa’ar-Rabb (perjumpaan dengan Rabb). Redaksi ayat ini sarat makna dan memiliki kedalaman arti, betapapun sebagian mufassir telah menafsirkan ayat-ayat ini secara sambil lalu.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksud dari liqa’Allah adalah pertemuan dengan malaikat Allah swt pada hari kiamat. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa maksudnya adalah perjumpaan setiap makhluk dengan perhitungan (hisab), ganjaran (jaza’) dan pahala (tsawab). Dan kelompok ketiga berpendapat bahwa maknanya adalah perjumpaan hukum dan perintah-Nya.
Semua pendapat tersebut mengambil arti redaksi al-Qur’an secara implisit. Sementara kita mengetahui bahwa apabila penafsiran implisit bertentangan dengan dzahir ungkapan (eksplisit), sepanjang tidak ada dalil atasnya, harus kita tinggalkan.
Tak syak lagi bahwa maksud dari redaksi perjumpaan (liqa’) bukanlah melihat Tuhan. Lantaran perjumpaan indrawi (hissi) hanya berlaku pada benda-benda material yang terbatas di dalam ruang dan waktu, berwarna dan kualitas-kualitas lain sehingga ia mampu untuk dilihat dengan mata kepala.
Dengan demikian, maksud dari perjumpaan disini adalah syuhud batini, perjumpaan dan pertemuan maknawi dan ruhani dengan Allah swt. Karena pada hari kiamat, seluruh hijab akan tersingkap dan tanda-tanda kekuasaan-Nya sedemikian nampak pada hari Mahsyar dan seluruh tempat persinggahan Kiamat, bahkan orang-orang kafir akan berjumpa dengan Allah swt melalui mata batin mereka (meskipun perjumpaan ini pasti berbeda).
Allamah Thabathabai dalam Tafsir Al-Mizan berkata: “Hamba-hamba Allah swt berada dalam keadaan tanpa hijab antara mereka dengan-Nya” Lantaran ciri khas hari kiamat adalah penampakan seluruh hakikat. Demikian pada surat An-Nur (24) ayat 25, Allah swt berfirman, ”Pada hari itu mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah ialah Hak yang Nyata”.
Menariknya, dalam hadis shahih disebutkan bahwa seseorang datang kepada Amirul Mukminin a.s dan berkata: “Aku terjatuh dalam kesangsian terhadap al-Qur’an”
Beliau bertanya kembali: “Mengapa?”
Orang itu berkata: “Kita melihat banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan perjumpaan dengan Allah swt. Pada hari kiamat, dan di sisi lain Dia berfirman, ‘Mata-mata tidak mampu menjangkaunya, dan Ia menjangkau seluruh mata’. Bagaimana ayat ini bisa dipertemukan dengan ayat lainnya?”
Beliau menjawab: “Perjumpaan disini bukan penyaksian dengan mata, akan tetapi perjumpaan pada hari kiamat dan bangkitnya orang-orang dari kuburan. Oleh karena itu pahamilah bahwa seluruh liqa’ (perjumpaan) yang disebutkan dalam al-Qur’an berarti kebangkitan.
Sebenarnya Imam Ali as memberikan tafsir ihwal perjumpaan dengan Allah swt bahwa penyaksian (syuhud) Allah swt merupakan inherensi-inherensi dari syuhud tersebut. Benar bahwa hari kiamat merupakan hari tersingkapnya pelbagai hijab dan tirai, tampaknya tanda-tanda Yang Maha Hak dan tajalli (theopani) Allah kepada seluruh hati. Dan setiap orang –sesuai dengan tingkat pikirnya –dapat memahami ucapan beliau ini. Dan seperti yang telah dikatakan , bahwa syuhud batini para kekasih Allah pada hari kiamat akan berbeda dengan perjumpaan orang-orang biasa.
Dalam masalah ini Fakhrurrazi dalam At-Tafsir Al-Kabirnya memberikan penjelasan yang menarik. Ia menulis, “Manusia di dunia ini, lantaran hanyut dalam urusan-urusan duniawi dan berupaya ntuk mengejar kehidupan, kerap melalaikan Allah. Akan tetapi pada hari Kiamat, seluruh perhatian duniawi ini akan hilang. Manusai dengan seluruh wujudnya akan tercurah kepada Tuhan Semesta Alam. Dan inilah arti dari perjumpaan dengan Allah swt.
Hal ini boleh jadi berdasarkan pengaruh takwa, ibadah, dan penyucian jiwa (tahdzibun nafs) dalam kehidupan dunia ini yang dapat dijumpai pada sekelompok umat manusia. Sebagaimana dalam Nahjul Balaghah ditegaskan, bahwa salah seorang sahabat alim Imam Ali, Dza’lab al-Yamani, bertanya kepada beliau, “Apakah anda melihat Tuhan anda?”.
Imam as menjawab, “Apakah mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat?”
Dan ketika ingin memberikan penjelasan lebih lanjut, beliau menambahkan, “Seluruh mata kepala sekali-kali tidak akan pernah menyaksikan-Nya, namun mata hatilah –dengan cahaya iman- dapat menyaksikan-Nya”
Namun, syuhud batini ini pada hari kiamat berlaku untuk semua orang. Karena, tanda keagungan da kekuasaan Allah swt. Pada hari itu sedemikian jelasnya sehingga setiap hati yang buta juga akan beriman penuh.