Sungguh, tidak ada tempat di kalangan kaum muslim, bagi mereka yang tidak mengenal Imam Husein As. Putra Fatimah binti Muhammad bin Abdillah Saw. Yang oleh Nabi pamungkas ini di sebut sebagai putranya sendiri.
Lekatnya hubungan batin antara kedua manusia suci ini, hingga sejarah mencatatnya dengan tinta emas. Para sahabat yang lurus menghormati al-Husein tidak kurang dari Nabi. Nabi saw di banyak tempat sering kali mewasiatkan kepada para sahabat-sahabat dan umatnya; “Aku mencintai al-Husein, mencintai aku siapa yang mencintainya, memusuhinya berarti memusuhi aku” atau di satu kesempatan, Nabi agung ini bersabda kepada Imam Ali, Fatimah, al-Hasan dan al-Husein; “Aku berdamai dengan mereka yang berdamai dengan kalian, dan mengumumkan perang bagi mereka yang memerangi kalian.”
Beberapa penulis –muslim dan non muslim- memberikan kritik terhadap kecintaan istimewa Rasulullah kepada Ahlul baitnya, terutama kepada al-Husein. Ini menunjukkan bahwa Nabi saw telah melahirkan nepotisme dalam Islam. Selain kecintaan tersebut, Nabi malah mewajibkan ketaatan mutlak kepada keluarganya serta mengangkat mereka sebagai wasi dan Khalifah/Imam sepeninggalnya. Ini berlawanan dengan ajaran Islam, yang menilai keagungan dan keistimewaan seseorang dari Iman dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Sungguh, tidak ada tempat di kalangan kaum muslim, bagi mereka yang tidak mengenal Imam Husein As. Putra Fatimah binti Muhammad bin Abdillah Saw. Yang oleh Nabi pamungkas ini di sebut sebagai putranya sendiri.
Lekatnya hubungan batin antara kedua manusia suci ini, hingga sejarah mencatatnya dengan tinta emas. Para sahabat yang lurus menghormati al-Husein tidak kurang dari Nabi. Nabi saw di banyak tempat sering kali mewasiatkan kepada para sahabat-sahabat dan umatnya; “Aku mencintai al-Husein, mencintai aku siapa yang mencintainya, memusuhinya berarti memusuhi aku”[1] atau di satu kesempatan, Nabi agung ini bersabda kepada Imam Ali, Fatimah, al-Hasan dan al-Husein; “Aku berdamai dengan mereka yang berdamai dengan kalian, dan mengumumkan perang bagi mereka yang memerangi kalian.”[2]
Beberapa penulis –muslim dan non muslim- memberikan kritik terhadap kecintaan istimewa Rasulullah kepada Ahlul baitnya, terutama kepada al-Husein. Ini menunjukkan bahwa Nabi saw telah melahirkan nepotisme dalam Islam. Selain kecintaan tersebut, Nabi malah mewajibkan ketaatan mutlak kepada keluarganya serta mengangkat mereka sebagai wasi dan Khalifah/Imam sepeninggalnya. Ini berlawanan dengan ajaran Islam, yang menilai keagungan dan keistimewaan seseorang dari Iman dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Sebagai jawaban atas pertanyaan di atas, beberapa poin bisa kita kemukan sebagai berikut:
a. Kesalahan memaknai posisi kenabian
Kaum muslimin dalam menilai Muhammad bin Abdillah sebagai Nabi, terbagi dalam tiga kelompok;
1. Mereka yang menilai Nabi murni sebagai manusia biasa yang bisa saja larut dalam emosi kemanusiaannya.
2. Mereka yang menilai Nabi sebagai manusia biasa, hanya saja karena sekaligus seorang Nabi, beliau pada momen-momen tertentu terjaga dari berbuat dosa dan kesalahan sebagaimana manusia biasa pada umumnya.
3. Mereka yang berkeyakinan bahwa Muhammad bin Abdillah adalah seorang Nabi yang secara mutlak maksum (terjaga dan suci) dari seluruh dosa, aib, kesalahan serta kekurangan secara mutlak.
Untuk pendapat pertama, mereka membawakan ayat al-Qur’an; “Katakanlah kepada mereka, wahai Muhammad, aku (Muhammad) adalah manusia biasa seperti kalian.” Kelompok ini berpegangan kepada penggalan ayat tersebut.
Ini tentu saja memiliki banyak ruang kritik. Bagaimana mungkin seseorang bisa dipercaya tidak berbohong, melakukan kesalahan dalam menyampaikan tugas dan menunaikan kewajiban-kewajiban lain, sementara ia adalah seorang manusia biasa yang secara total sangat mungkin berbuat dosa? Tidak ada jaminan ia tidak keliru dalam menyampaikan wahyu, atau boleh jadi menyampaikan firman-firman Tuhan dan syariat secara salah.
Pendapat pertama ini, bukan saja tidak bisa diterima akal sehat, lebih dari itu, ini sama dengan meragukan kemurniaan ajaran Nabi, al-Qur’an bahkan Islam itu sendiri.
Kelompok kedua, dengan membawakan ayat yang sama, tapi melanjutkan sisa ayat, “Katakan kepada mereka, wahai Muhammad, aku (Muhammad) adalah manusia biasa seperti kalian, kepadaku wahyu diturunkan.” Golongan ini berkeyakinan, Muhammad bin Abdillah memang seorang Nabi, tapi sebagai manusia biasa, ia tidak terlepas dari berbuat salah dan keliru. Keterjagaan Rasullah temporal sifatnya. Ia terjaga dari kesalahan, kekeliruan juga dosa hanya ketika menyampaikan al-qur’an dan atau syariat saja. Di dalam rumah, di pasar atau ketika bergaul dengan masyarakat, ia adalah sebagai manusia biasa, maka tidak mustahil berbuat salah.
Pendapat ini seakan mencukupi untuk diterima. Tapi bila ditelaah lebih jauh, maka akan ditemukan keganjilan. Kepada kelompok ini kita bisa mengajukan pertanyaan; “Bukanlah sunnah adalah seluruh sabda, perbuatan dan kesepakatan Nabi? Lalu bisa semua sunnah adalah hukum syar’i karena merupakan hal yang datang dari Nabi, lantas bagaimana bisa dikatakan, bahwa ketika begini maka Nabi sedang menjadi Nabi dan pasti tidak pernah salah, dan bahwa ketika begitu, Nabi sedang berfungsi sebagai seorang Nabi dan boleh berbuat salah?
Bisakah seseorang dipisah dari diri dan hidupnya sendiri? Bisakah Muhammad bin Abdillah bukan seorang Nabi tapi pada saat yang sama adalah juga seorang Nabi? Adakah akal sehat yang bisa menerima ini?
Selain itu, seperti kritik untuk kelompok yang pertama, apa bedanya dengan manusia lainnya bila tidak ada jaminan bahwa ia tidak akan keliru dan salah dalam menyampaikan wahyu Tuhan? Darimana kita mengambil jaminan bahwa yang kita ambil sekarang darinya adalah benar syariat Allah SWT? Ini jelas juga tidak bisa memberikan kepastian dan sangat mustahil untuk bisa diterima.
Pada akhirnya, pendapat kelompok ketigalah yang memberikan penjelasan pasti dan sedemikian rasional. Kenabian adalah sebuah keistimewaan orang-orang tertentu. Kenabian, adalah tingkat pencapaian dari perjalanan rohani dan pembersihan diri seorang hamba hingga Allah SWT. Memberikan derajat mulia tersebut kepada-Nya.
Nabi adalah seorang manusia yang telah memanusia sejarah sempurna. Ia telah melewati batas-batas di mana manusia lainnya masih berkelut antara bebas dan terjerat di dalamnya. Manusia biasa masih pada ruang pilihan dosa dan pahala, surga dan negara. Sedangkan pada kenabiaan, seluruhnya tentang kebaikan, pahala, keabadian dan surge. Tidak ada pilihan, sebab kesempurnaannya telah memustahilkan adanya pilihan lain selain kebaikan dan kesempurnaan.
Karena kesempurnaan kemanusiaan inilah, Nabi saw tidak akan pernah lalai oleh hawa nafsu dan emosi hewaninya. Ketika ia bersabda, berprilaku dan mengambil keputusa, semuanya adalah hikmah Tuhan dan perintah Allah SWT.
Demikian halnya berkenaan dengan perintah kecintaan kepada Ahlulbaitnya yang agung. Ada dua hal yang bisa dikemukan dalam perintah-perintah Rasullah ini; Pertama: ini adalah perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan sebuah kewajiban, melalaikannya adalah dosa. Kedua: Manusia-manusia agung dari Ahlulbaitnya, adalah orang-orang sebagaimana beliau. Mereka adalah manusia-manusia sempurna secara kemanusiaan. Mereka secara ruhani, telah melambung melampaui manusia bisa.
Sebagaimana sebuah proses penggilingan, bila inputnya bermutu kemudian diproses melalui alat yang sempurna, niscaya outputnya pastilah sempurna pula. Bila Nabi saw diterima sebagai orang yang maksum, tidak mungkin melakukan kesalahan dan dosa, maka seluruh yang datang darinya adalah merupakan perintah Allah SWT dan karenanya merupakan kebenaran mutlak.
Ketika Nabi menunjuk keluarganya sebagai pengganti dan pelanjutnya, ini adalah sebuah perintah mati yang harus ditaati dan tidak boleh ditolak. Dalam hubungannya dengan Imam Husein as. Ini tentu merupakan perintah Allah SWT dan keistimewaan hubungan tersebut tidaklah datang karena emosi pribadi Nabi Saw. Berikut ini kami akan menyampaikan beberapa ayat dan hadis yang berhubungan dengan keistimewaan al-Husein As.
a. Ayat Tathir[3]
Ayat ini disebut ayat tathir karena turun berhubungan dengan pengakuan Allah SWT atas kesucian orang-orang yang dimaksudkan ayat tersebut. Ayat tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan segala kotoran dan aib dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya”. Ummu salamah meriwayatkan; “Ayat ini turun di rumahku, kemudian Rasulullah saw memerintahkan untuk memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, kemudian berdo’a; Ya Allah, merekalah Ahlulbaitku.”[4]
Shafiyah binti Syaibah, meriwayatkan, Aisyah berkata: “Suatu hari Rasulullah keluar dan bersamanya kain hitam. Kemudian datang Hasan bin Ali, kemudian memasukan kedalam kainnya. Husein juga datang, lalu memasukannya sebagaimana Hasan. Demikian juga Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian Rasul membaca ayat: “Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dari kalian kotoran dan aib dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”[5]
Ayat ini menunjukan keutamaan terpenting dari Husein bin Ali as yang merupakan salah seorang dari Ahlulbait Nabi dan telah disucikan dari segala kotoran dan aib. Ayat ini menjelaskan kemaksuman dan keterjagaan Husein dari segala dosa. Ia sebagaimana Nabi dalam kesucian total, hanya pada bahwa Husein bukan seorang Nabi saja, ia berbeda dari Rasulullah saw.
b. Ayat Mubahalah[6]
Ayat ini berbunyi: ”Barang siapa yang masih menentangmu –wahai Muhammad- setelah sudah jelasnya hujjah atas mereka, katakanlah kepada mereka; marilah kita memanggil anak-anak kita, wanita-wanita kita, diri-diri kita, kemudian kita jadikan laknat Allah atas mereka yang termasuk orang-orang pendusta kebenaran”
Para ahli tafsir, hadis dan sejarah sepakat sebagaimana riwayat penjelas ayat ini, ditemukan bahwa maksud dari anak-anak kita bagi Rasulullah adalah Hasan dan Husein, wanita-wanita kita adalah Fatimah az-Zahra, dan diri-diri kita adalah Ali bin Abi Talib as.[7]
Husein bin Ali As dalam ayat ini disebut sebagai salah seorang bagian dari diri Nabi dengan segala kemuliaannya. Yang dengan kemulian itu, pemuka agama Kristen yang sebelumnya siap untuk bermubahala, menarik diri darinya, karena mereka mengetahui dengan pasti bahwa bila laknat Tuhan akan benar-benar turun atas mereka, sebab Nabi saw berada di pihak benar.
Masih tersisa banyak ayat penjelas keutamaan para Ahlulbait Nabi termasuk Imam Husein as yang tidak memungkinkan untuk dikutip seluruhnya dalam tulisan ini.
Beberapa dari Riwayat Nabi
a. Kecintaan dan Permusuhan Nabi
Nabi seringkali mewasiatkan kepada kaum muslim dalam sabda-dabdanya untuk mencintai Husein as. Di antaranya bisa kita kemukakan sebagai berikut:
Hakim Naisyabur, meriwatkan melalui sanad Salman, Rasulullah bersabda: ”Hasan dan Husein adalah putraku, siapa yang mencintainya berarti mencintaiku, siapa yang mencintaiku, Allah akan mencintainya. Siapa yang dicintai Allah SWT. Ia akan memasukkannya ke dalam surga. Siapa yang membuat keduanya –Hasan dan Husein- berarti telah membuatku murka, siapa yang membuatku murka berarti telah membuat murka Allah SWT. Dan Ia akan memasukannya ke dalam neraka”[8]
Yazid bin Abi Yazid meriwayatkan: “Rasulullah keluar dari kamar Aisyah dan mendengar suara tangis al-Husein, ia bersabda: Wahai Fathimah, sungguh tangis Husein sedimikian menyayat hatiku.”[9]
Kecintaan Nabi seperti di atas berjumlah ratusan diriwayatkan melalui sanad berbeda-beda. Nabi tidak bisa mendengar tangis Husein sebab itu menyakiti hatinya. Ini sebuah bukti yang sangat jelas betapa kedua manusia agung ini memeliki hubungan istimewa secara ruhani.
b. Aroma Surga yang bisa dirasakan sejak di dunia
Ibnu Umar meriwayatkan, salah seorang penduduk Irak bertanya tentang hukum pakaian ihram yang terkena darah nyamuk. Ia menjawab; “Lihatlah orang ini, ia bertanya tentang hukum darah nyamuk, sedang mereka membunuh al-Husein. Dan aku mendengar Nabi bersabda: “kedua putraku ini –Hasan dan Husein- adalah aroma surga yang wanginya sudah dapat dirasakan sejak di dunia.”[10]
Ibnu Umar seakan ingin menjelaskan kebodohan orang tersebut, bahwa darah nyamuk yang tidak berharga bila dibandingkan darah Husein, tapi oleh orang ini lebih dipentingkan dari kecintaan Rasulullah kepada putranya ini. Pada riwayat sebelum disebutkan, sedimikian cinta Rasul kepada Husein, sampai tangisannya sendiri sedemikian menyakiti hati Nabi saw. Bagaimana kondisi Rasulullah bila menyaksikan, umatnya sendiri membantai secara keji putra kesayangannya? Bisakah kita bayangkan kesedihan dan mungkin kemurkaan Rasulullah yang juga merupakan kemurkaan Allah SWT? Sebuah kesalahan besar telah kita lakukan, bila memandang ringan tindak pembantaian Husein as apalagi hanya menilainya sebagai sebuah catatan sejarah saja tanpa pertimbangan nilai-nilai lainnya.
Husein dalam pandangan umat
1. Anas bin Malik, seorang sahabat berkata; “Setelah Syahadah Imam Husein, kepada manusia agung ini kemudian dipersembahkan kepada Ibn Ziyad. Ibn Ziyad lantas memukulinya dengan tongkat. Aku berkata kepada mereka; “Sungguh sebuah perbuatan kotor telah kalian lakukan. Aku melihat Rasulullah menciumi leher, tempat kalian memukilinya.”[11]
2. Zaid bin Arqam meriwayatkan; Aku menjumpai Ubaidillah bin Ziyad, aku sedang duduk ketika kepada Husein bin Ali dipersembahkan kepadanya, dan mulai memukulinya dengan tongkat. Aku berkata kepadanya; “Hentikan perbuatanmu itu, leher yang engkau pukul itu adalah tempat yang sering diciumi Rasulullah.” Ibn Ziyad berkata: “Enyalah, engkau adalah orang tua yang kehilangan akal sehat.”[12]
3. Ismail bin Raja’ dari ayahnya meriwayatkan, suatu hari kami berada di Masjid Rasul, hadir di saat itu Abu Said al-Khudri dan Abdullah bin Umar. Husein bin Ali kemudian muncul dan mengucapkan salam. Abdullah menjawab salamnya ketika orang-orang telah diam, kemudian menghadap kepada hadirin dan berkata; “Maukah kalian aku beritakan, siapakah penghuni bumi yang paling dicintai oleh ahli langit? Mereka menjawab “Iya” Ibn Umar berkata; “Orang itu adalah dari Bani Hasyim ini (Imam Husein bin as).”[13]
4. Muawiyah –seorang tabiin- bertanya kepada Abdillah bin Ja’far; Apakah Anda pemimpin bani Hasyim? Ibn Ja’far menjawab; Pemimpin bani Hasyim adalah Hasan dan Husein bin Ali”[14]
5. Walid bin Utbah bin Abi Sufyan –gubernur Madinah ketika itu- ketika Marwan bin Hakam memerintahkannya untuk membunuh Iman Husein bila tidak membaiat Yazid. Walid berkata; “Demi Allah wahai Marwan, aku tidak akan mencintai dunia dan segala isinya diberikan kepadaku, tapi harus membunh HUsein bin Ali. Subhanallah, apa karena tidak membaiat Yazid, Husein harus aku bunuh? Demi Allah, aku yakin, orang yang membunuh Husein, pada hari kiamat, timbangan amalnya akan ringan.”[15]
Demikian pendapat banyak kalangan sahabat dan tabiin mengenai pribadi agung Husein bin Ali as. Berikut ini kami akan mengemukakan beberapa pendapat dari ulama mutaakhir Ahlulsunnah mengenai keutamaan imam Husein as;
a. Dr. Muhammad Abduh menulis; Husein adalah seorang yang tawadhu’, ia ditemukan senantiasa dalam keadaan puasa. Malam-malamnya ia lewati dengan ibadah, ia selalu lebih dahuku dibanding orang lain dalam hal beribadah…[16]
b. Yafi’i berkata; Kesangan dan buah hati Rasul, manifestasi kenabian, tempat segala kebaikan, keutamaan dan keagungan. Ia adalah Abu Abdillah, Husein bin Ali as.[17]
c. Abbas Mahmud Aggad menjelaskan; “Keberanian pada diri Husein bin Ali bukanlah sesuatu yang aneh, sebab ia mengalir dari mata air sifat dasarnya. Ini adalah warisan dari ayah-ayah dan kemudian diwariskan kepada generasinya…tidak ada di antara keturunan Adam lebih kesatria darinya…dan itu ia buktikan pada peristiwa Asyura di Karbala. Ya… kebanggaan yang ia wariskan ke generasi demi generasi yang tidak akan pernah mati…[18]
Inilah Husein, ia tidak akan pernah mati dalam kesadaran hati-hati umat Islam. Ia tidak hanya hidup dan mengajarkan nilai hidup, ia telah mempersembahkan hidupnya sendiri untuk kehidupan umat manusia. kematian mengantarnya pada kehidupan yang lebih hidup, di hati orang-orang yang tidak pernah mati.
Dimakah Anda? Di sebelah Husein, atau memilih barisan orang-orang yang dimurkai Allah dan Rasullah? Lihatlah, bagaimana kalian memilih, wahai orang-orang yang menggunakan akal!