Bila mereka begitu rajin dan semangat mengolok-olok nabi kita yang mulia, seberapa rajinkah kita memuliakan dan mengagungkannya?. Seberapa banggakah kita menyenandungkan shalawat atasnya? Bergetarkah hati kita ketika namanya disebut dalam senandung suara azan?. Seberapa cintakah kita mengamalkan sunnah beliau dalam kehidupan kita?. Yang kita lakukan justru sebaliknya, dengan dalih bid'ah, kita klaim mereka yang mengadakan maulid nabi sebagai orang sesat padahal tidak seorangpun muslim yang menyebut maulid hukumnya wajib atau sunnah sehingga tidaklah termasuk mengada-adakan hukum baru. Dengan dalih syirik kita menggebuki dengan pentungan mereka yang berdesak-desakan untuk mencium mihrab nabi, padahal semuapun bersaksi bahwa Rasulullah adalah juga hamba Allah.
Kita heran mengapa hinaan terhadap Nabi selalu saja muncul. Kita tidak habis pikir mengapa kebencian dan permusuhan selalu mendera pribadi suci beliau. Seseorang bisa saja memendam kebencian yang sangat kepada Rasulullah SAW sampai harus menggambarkan kehidupan beliau secara tidak senonoh pada lembaran-lembaran komik, website, buku atau apapun nama dan bentuknya. Namun kebencian bukanlah akhir segalanya, benci dan cinta adalah perasaan yang sulit untuk dipetakan pada hati manusia. Perjalanannya sebagaimana iman, sangat fluktuatif dan tidak linear. Boleh jadi saat ini kau membenci sesuatu namun pada kali yang lain kau justru sangat mencintainya. Imam Ali ra pernah berkata, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya." Ya, bisa jadi orang yang menggambarkan Rasulullah sebagai seseorang yang amoral karena belum tahu apa-apa tentang pribadi beliau SAW. Saya pribadi berharap, mereka tidak berhenti pada kebencian yang sangat pada Rasulullah, sebab kebencian hanyalah salah satu etafe dari rute perjalanan manusia yang justru bisa menghantarkan seseorang pada tingkat iman yang menakjubkan. Kisah nyata dari seorang Umar bin Khattab memberi kita pelajaran yang berharga. Ia tidak hanya membenci Rasul tetapi juga selalu berusaha membunuhnya. Dengan gigih ia menghalangi-halangi orang yang menambatkan imannya pada nilai-nilai moral yang diajarkan sang Nabi. Tetapi perjalanan manusia memang sulit ditebak, justru ketika Umar mengenal Muhammad lebih dekat, ia mengalami lompatan iman -dalam istilah Kierkegard leap of faith- yang begitu menakjubkan. Pada gilirannya, Umar ra justru menjadi sahabat dekat Nabi dan menjadi pembela Islam yang paling keras, sampai mendapat julukan, al-Waqqaf 'inda Kitabillah. Umar tidak sendiri, banyak orang-orang yang sebelumnya begitu keras permusuhannya, namun ketika lebih mengenal beliau, justeru menjadi sahabat-sahabat nabi yang keras pembelaannya terhadap Nabi.
Setiap Nabi mendapat penghinaan, kita hanya bisa geram. Kita marah, kita turun ke jalan, kita membakar dan melempari apa saja untuk menunjukkan pembelaan terhadap kekasih kita. Sebagai muslim yang mengaku mencintainya kita meneriakkan suara yang sama, tidak ada kata maaf bagi yang telah melecehkan nabi. Kita mungkin masih ingat dengan Imam Khomeini yang tanpa ampun mengeluarkan fatwa mati bagi Salman Rusdie yang menyebut wahyu yang dibawa nabi tidak lain hanyalah ayat-ayat setan. Apa saja bisa kita lakukan sebagai bentuk ekspresi penolakan dan kegeraman nama baik nabi kita diinjak-injak. Namun tidakkah kita tertarik untuk lebih melihat kedalam diri kita?. Tidakkah kita merasa perlu bertanya pada diri sendiri, "Tuluskah cinta kita kepada nabi?". Sejauh mana usaha kita memperkenalkan kemuliaan dan keagungan akhlak nabi kepada mereka?. Daripada meledakkan kemarahan dimana-mana, bukankah lebih baik kita memperkenalkan kepribadian Muhammad nabi Islam yang Karen Armstrong menyebutnya “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” dan Michael H. Hart yang mendudukkannya pada posisi terhormat sebagai tokoh yang paling populer dan berpengaruh sepanjang sejarah. Terlalu banyak pujian dan sanjungan atasnya, sehingga Abdul Wahid Khan harus membukukan kekaguman dan penghormatan intelektual non muslim kepada Rasulullah dalam bukunya, "Rasulullah di Mata Sarjana Barat". Bahkan Allah SWT Pencipta alam semesta beserta para malaikat-Nya pun bershalawat atasnya (Qs. Al-Ahzab : 56).
Seandainya Rasulullah ada disekitar kita, dan melihat betapa merebaknya penghinaan atasnya beliau mungkin akan melakukan hal yang sama ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu. Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “Bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.” Atau sebagaimana Abdullah bin Ubay yang meminta izin untuk membunuh ayah kandungnya sendiri karena telah melecehkan nabi, Nabi dengan penuh kasih menjawab, "Jangan, tetaplah berbuat baik kepada ayahmu." (Sirah al-Halabiyyah 2:307).
Di mata Rasul, mereka hanya belum tahu sehingga kebencian merambati hatinya. Tidakkah kita melihat sisi lain dari penghinaan nabi yang tiada hentinya dan semakin menjadi-jadi. Bila mereka begitu rajin dan semangat mengolok-olok nabi kita yang mulia, seberapa rajinkah kita memuliakan dan mengagungkannya?. Seberapa banggakah kita menyenandungkan shalawat atasnya? Bergetarkah hati kita ketika namanya disebut dalam senandung suara azan?. Seberapa cintakah kita mengamalkan sunnah beliau dalam kehidupan kita?. Yang kita lakukan justru sebaliknya, dengan dalih bid'ah, kita klaim mereka yang mengadakan maulid nabi sebagai orang sesat padahal tidak seorangpun muslim yang menyebut maulid hukumnya wajib atau sunnah sehingga tidaklah termasuk mengada-adakan hukum baru. Dengan dalih syirik kita menggebuki dengan pentungan mereka yang berdesak-desakan untuk mencium mihrab nabi, padahal semuapun bersaksi bahwa Rasulullah adalah juga hamba Allah. Kita haramkan Barazanji karena kita anggap terlalu mengkultuskan nabi, padahal dalam puisi dan syair, cinta sulit dilukiskan tanpa hiperbola dan metafora. Hiperbola bukanlah kedustaan dan metafora bukanlah kesyirikan. Setiap usaha memperkenalkan Ahlul Bait Nabi kita klaim sebagai penyebar aliran sesat.
Entah dengan alasan apa Makam Nabi, keluarga dan sahabat-sahabatnya kita jaga ketat layaknya akan diserang pasukan Abrahah. Sementara sewaktu Nabi dan sahabat-sahabatnya masih hidup mereka tidak membutuhkan kavaleri untuk pengawalan dan penjagaan. Mengapa kita melakukan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan juga tidak oleh keempat khalifah setelahnya? Bukankah dengan dalih yang sama, karena tidak pernah dilakukan Rasulullah kita justru mengharamkan peringatan maulid?. Kalau dikatakan makam Nabi dan pemakaman Baqi patut mendapat penjagaan ketat agar tidak dijadikan lokasi 'penyembahan berhala' oleh para peziarah, -padahal seharusnya sahabat-sahabat nabi yang lebih layak memiliki kekhawatiran itu- lantas mengapa tidak menjadikan alasan itu untuk membenarkan pengadaan peringatan maulid, bahwa peringatan ceremonial semacam maulid justru sangat dibutuhkan umat akhir-akhir ini, sebagai waktu dan tempat untuk membincangkan keagungan dan kemuliaan nabi Muhammad SAW, untuk menyiarkan banyak dari sunnah-sunnah nabi yang terabaikan, untuk lebih memperkenalkan kemulian akhlak Rasulullah kepada mereka yang memendam dendam dan kebencian karena ketidak tahuan. Saya rasa kita punya kaidah penetapan hukum untuk itu, bahwa setiap yang menjadi perantara pelaksanaan amalan yang wajib maka wajib pula pelaksanaannya. Membeli baju hukumnya mubah, namun menjadi wajib jika kita tidak memiliki baju untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat. Mengenang apapun yang berkenaan dengan Rasulullah menjadi wajib hukumnya karena menjadi syarat untuk menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah SAW yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Hari kelahiran Nabi sesungguhnya termasuk hari-hari Allah tentangnya Allah berfirman: "Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." (Qs. 14:5).
Salam 'alaika ya Rasulallah….