Imam Ali bin Husain as dikenal dengan sejumlah gelar seperti as-Sajjad (yang banyak bersujud) dan Zain al-Abidin (hiasan para ahli ibadah). Gelar-gelar ini menyiratkan ketekunan beliau dalam beribadah. Wajar jika sebagian orang berpikir, beliau tipe orang yang menghindari kehidupan sosial lantaran hanya sibuk dengan urusan akhirat.
Benarkah Imam Sajjad as tidak pernah melawan penguasa zalim? Dan apakah perjuangan melawan penguasa zalim hanya sebatas mengangkat senjata? Jawabannya penting untuk diketahui, sebab sejumlah mazhab (seperti Zaidiyah) menjadikan perlawanan senjata sebagai salah satu syarat seorang imam.
Kita perlu melihat sejumlah faktor historis yang melatarbelakangi ‘diamnya’ Imam Sajjad as. Berikut sejumlah faktor-faktor tersebut:
1) Tekanan dari pihak penguasa: Imam Sajjad as hidup di masa dua penguasa Bani Umayah yang dikenal kejam. Mereka adalah Abdul Malik bin Marwan dan putranya, Walid bin Abdul Malik. Juga ditambah seorang panglima haus darah, yaitu Hajjaj bin Yusuf.
Nama yang disebut terakhir ini merupakan momok menakutkan. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata tentang Hajjaj,”Jika tiap kaum membawa orang terkejamnya, lalu kami (Bani Umayah) membawa Hajjaj, niscaya kami yang menang.”
Keberadaan orang-orang ini membuat Imam as tidak leluasa untuk bergerak. Segala bentuk intimidasi dan teror digunakan mereka guna menekan tiap orang yang mencintai Ahlulbait as. Maka, orang akan berpikir dua kali untuk menunjukkan dukungannya terhadap Imam Sajjad as.
2) Sedikitnya jumlah pendukung: Faktor pertama-lah yang bisa jadi menyebabkan Imam as begitu sedikit mendapat dukungan. Bahkan dikatakan bahwa di masa itu, pecinta sejati Ahlulbait as di Makkah dan Madinah hanya sebanyak 20 orang!
Imam Sajjad as pernah berkata kepada Sahal bin Syuaib,”Kondisi kami (Ahlulbait) seperti Bani Israil di masa Firaun. Orang-orang mencerca para leluhur kami demi mendekatkan diri kepada musuh-musuh kami.”[1]
Dengan jumlah pembela seminim ini, mana mungkin Imam Sajjad as melakukan perlawanan bersenjata?
3) Kerusakan moral masyarakat: Sejak dahulu, salah satu sarana terefektif untuk membungkam masyarakat adalah menyebarkan kerusakan moral. Ketika sebuah masyarakat telah larut dalam maksiat dan kenikmatan duniawi, mereka tidak akan peka lagi dengan kezaliman di sekitar mereka.
Kebejatan para khalifah Bani Umayyah telah ditularkan dari Syam ke daerah-daerah Islam lain. Bahkan, dua kota suci Makkah dan Madinah pun tak terkecuali.
Para sejarawan seperti menyebutkan, dua kota yang seharusnya menjadi teladan kota-kota lain ini, justru dinodai majlis-majlis pesta dan nyanyian. Lebih parah lagi, sejumlah oknum ulama juga turut menghadiri majlis-majlis ini.[2]
Kisah berikut menggambarkan betapa bobroknya moral muslimin di masa itu:
Di masa itu, ada seorang wanita penyanyi terkenal bernama Jamilah. Ia tinggal di Madinah. Suatu kali, ia berniat pergi ke Makkah untuk ibadah haji. Saat hendak berangkat, sejumlah orang, pria dan wanita, mengiringinya hingga gerbang Madinah. Bahkan ada pula yang mengantarnya hingga Makkah.
Sepanjang perjalanan, dia mendapat sambutan luar biasa; sambutan yang bahkan tak pernah diberikan untuk seorang fakih, ahli hadis, atau ahli tafsir!
Saat mendekati gerbang Makkah, sejumlah bangsawan Makkah juga datang menyambutnya. Waktu ia pulang ke Madinah, warga menyambutnya dengan antusias. Sambutan mereka begitu meriah hingga penduduk berbaris menonton penyambutan ini dari pintu-pintu rumah mereka.[3]
Inilah sejumlah faktor yang membuat Imam Sajjad as tidak mengangkat senjata melawan penguasa saat itu. Beliau memilih untuk berjuang dengan cara-cara lain, yang akan diutarakan dalam artikel berikutnya. (Bersambung)
CATATAN :
[1] Sireye Pishvayan 261.
[2] Tarikh al-Adab al-Arabi juz 2 hal 347.
[3] Sireye Pishvayan 267.