Sayidah Fathimah as merupakan perempuan sempurna yang semua dimensi kehidupannya menjadi teladan bagi perempuan dalam sepanjang masa. Beliau tidak mengajarkan perempuan untuk diam berpangku tangan tanpa menjalankan tugasnya saat kondisi politik tidak stabil. Namun, dalam ranah politik, beliau pun turut aktif. Demi membela kepemimpinan sah, yang secara de jure telah ditetapkan di Ghadir Khum. Beliau mendatangi satu per satu rumah Muhajirin dan Anshor untuk mengingatkan pelantikan kepemimpinan Imam Ali as. Ini adalah salah satu contoh konkrit sikap politis beliau. Kegigihan beliau dalam mempertahankan tanah Fadak, juga bukan semata karena Fadak merupakan hak beliau. Namun, dibalik semua itu, Fadak merupakan ‘kekuatan ekonomi bagi kepemimpinan yang sah secara yuridis’. Dan itu sebenarnya yang ditakutkan oleh para perebut kepemimpinan yang sah pasca Rasulullah saw.
Gigih Membela Kepemimpinan yang Sah (Pembela Imamah dan Wilayah)
Sayidah Fathimah as sangat gigih membela imamah. Beliau menganggap bahwa keimamahan pasca Rasulullah saw bagaikan Ka’bah kaum muslimin yang harus mengitari dan mendatanginya, bukan imam yang mendatangi kaum muslimin. Beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan imam bagaikan Ka’bah, ia harus didatangi bukan ia yang mendatangi.”[1]
Bahkan dengan tegas beliau pun menyatakan dukungan dan pembelaan kepada Imam Ali as, “Wahai Abal Hasan, jiwaku sebagai tebusan jiwamu, diriku sebagai tebusan dirimu, aku akan selalu menyertaimu dalam kebaikan maupun dalam kesulitan.”[2]
Jenazah suci Rasulullah saw belum dikebumikan mereka telah berebut kekuasaan di Saqifah Bani Sa’idah, dengan meng-kudeta kepemimpinan yang sah. Saat itu, Imam Ali as dan beberapa sahabat tengah sibuk mengurus jenazah Rasulullah as, dengan tanpa rasa malu para pengudeta menyerbu rumah Imam Ali as untuk mengambil baiatnya. Namun, Fathimah az-Zahra as pergi menuju ke arah mereka dan beliau berdiri di belakang pintu hingga menghalangi mereka masuk ke dalam rumah. Dengan berapi-api Fathimah az-Zahra as menyampaikan pidato singkatnya, “Aku tidak pernah melihat sekelompok orang yang lebih buruk dari kalian. Kalian telah membiarkan begitu saja jenazah Rasulullah saw di antara kami, kalian telah memutuskan baiat kalian. Kalian tidak menginginkan kekhilafahan kami, serta menganggap kami tidak layak mendapatkan hak istimewa itu. seolah-olah kalian lupa apa yang telah disampaikan Rasulullah di Ghadir Khum? Sumpah demi Alloh, Rasulullah telah mengambil baiat dari kalian atas kepemimpinan Ali! Hal itu untuk memutuskan harapan orang-orang yang haus tahta dan kekuasaan. Akan tetapi kalian telah memtuskan perjanjian antara diri kalian dengan Nabi kalian. Ketahuilah! Alloh akan mengadili antara kami dan kalian di dunia maupun akhirat.”[3]
Menyadarkan Masyarakat akan Kepemimpinan yang Sah secara Yuridis
Imam Ali as secara yuridis (masyru’iyat) telah dilantik sebagai pemimpin pasca Rasulullah, kendatipun secara de facto (maqbuliyat) baru terwujud dua puluh lima tahun kemudian. Peristiwa pelantikan ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijah setelah Rasulullah dan kaum muslimin melaksanakan haji Wada’. Ketika rombongan haji sampai di Ghadir Khum, tempat antara Madinah dan Mekah, malaikat Jibril turun dan menyampaikan pesan kepada Nabi Muhamad saw untuk menyampaikan satu pesan penting yang nilainya sama dengan risalah Rasulullah selama dua puluh tiga tahun, “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, jika engkau tidak menyampaikannya maka sama artinya engkau tidak menyampaikan risalahmu..”[4]
Masalah tersebut sangat urgen sekali, karena keberadaannya sama dengan risalah Rasulullah selama dua puluh tiga tahun. Jika hal tersebut tidak disampaikan oleh Rasulullah saw maka risalahnya selama ini menjadi sia-sia. Rasulullah saw telah melantik Imam Ali as di hadapan ratusan ribu jemaah haji. Setelah melaksanakan solat berjamaah kemudian Rasululah naik mimbar yang terbuat dari punuk onta. Beliau memulai pidatonya dengan memperkenalkan dirinya, kemudian terakhir beliau mengangkat tangan Imam Ali as hingga ketiaknya terlihat seraya bersabda,”Barang siapa yang menganggapku walinya maka Ali adalah walinya.”
Perbedaan yang terjadi ialah dalam mengartikan kata ‘wali’, ada yang mengartikan sebagai teman atau penolong. Namun, sangat tidak logis dengan melihat berbagai indikasi bahwa kata ‘wali’ diartikan sebagai ‘teman atau penolong’.
Pertama, logiskah Rasulullah saw hanya sekedar untuk mengumumkan pada kaum muslimin jika Imam Ali as sebagai penolong atau temannya, memerintahkan jemaah haji yang sudah terpisah untuk kembali berkumpul di Ghadir Khum, padahal kala itu untuk mengumpulkan orang segitu banyak sulit sekali karena tidak ada sarana seperti pengeras suara sekarang ini? Ditambah, udara gurun pasir yang sangat panas membakar. Logiskah sosok seperti Rasulullah saw membiarkan orang-orang terbakar kepanasan hanya sekedar untuk mendengar mengetahui jika Imam Ali as teman atau penolong Rasulullah?
Kedua, ucapan selamat para sahabat besar terutama Umar bin Khatab, Abu Bakar, Usman bin Affan dan lainnya kepada Imam Ali as, “Bakhin-bakhin laka ya Ali! Ashbahta maulaya wa maula kulli mukminin wa mukminati..”, “Selamat…selamat atasmu ya Ali! Engkau telah menjadi waliku dan wali tiap mukmin dan mukminah.”[5]
Jika maksud dari wali ialah hanya teman penolong? Apa arti dari ucapan selamat Umar bin Khatab? Apakah para sahabat lain bukan teman dan penolong Rasulullah?
Ketiga, ayat yang diturunkan setelahnya ialah ayat Ikmal atau ayat tentang penyempurnaan ajaran Islam, ”Pada hari ini, telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah kusempurnakan bagi kalian nikmatku…dan Alloh menjagamu dari manusia…”[6]
Karena itu, pasca wafat Rasulullah Sayidah Fathimah as bersama Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husein as selama empat puluh pagi mendatangi rumah-rumah Muhajirin dan Anshar seraya berkata, ”Wahai kaum Muhajirin dan Anshor, tolonglah Alloh, tolonglah anak perempuan Nabi kalian! Hari dimana kalian membaiat Rasulullah kalian telah berjanji akan melenyapkan kesedihan dari Rasulullah dan keluarganya sebagaimana kalian menghilangkan kesedihan dari diri kalian dan keluarga kalian. Sekarang tepatilah janji dan baiat kalian itu…!”[7]
Namun, sayangnya, tak ada seorang pun yang mendengarnya dan menolongnya. Sebagian beralasan karena telah membaiat Abu Bakar, jika Ali bin Abi Thalib datang lebih cepat pasti kami akan membaiatnya. Saat mereka menjawab seperti itu, lantas Imam Ali as balik bertanya, “Apakah pantas aku membiarkan jenazah Rasulullah dan berdebat tentang kepemimpinan?” Sayidah Fathimah as pun menambahkan, “Ali telah mengambil langkah yang tepat, hanya Alloh yang akan membalas perbuatan mereka terhadap Ali.”[8]
CATATAN :
[1] Majlisi, Biharul Anwar, jil 36, hal 353
[2] Kaukab ad-Durriyu, jil 1, hal 196 dinukil dari Jami az Zulale Kausar, Mishbah Yazdi hal 146
[3] Majlisi, Biharul Anwar, jil 28, hal 205
[4] QS al-Maidah:67
[5] A’lamul Wara’, hal 132 dan al-Irsyad, jil 1, hal 177
[6] QS al-Maidah:3
[7] Kazim Gazwini, Fathimatuz Zahra az Wiladat ta Shahadat, hal 694
[8] Al-Imamah was Siyasah, hal 19 dinukil dari Kazim Gazwini, Fathimatuz Zahra az Wiladat ta Shahadat, hal 696