Sifat lain Al qur’an adalah syifâ’. Al qur’an disebut dengan sifat ini sebanyak tiga kali dalam Al qur’an:
يَا أيُّها الناسُ قَدْ جاءَتْكُمْ موعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ و شِفاءٌ لِما في الصُدُورِ وَهُدًى وَ رَحْمَةٌ للمُؤْمِنِيْنَ.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu mau’idhah dari Tuhanmu dan syifâ’ bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.(QS:10;57)
و نُنَزِّلُ مِنَ القُرْآنِ ما هُوَ شِفاءٌ و رَحْمَةٌ للمُؤْمِنِيْنَ ولا يَزِيْدُ الظالِمِينَ إلاَّ خسارًا.
“Dan Kami turunkan dari Al qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan tidaklah menambah orang-orang zalim kecuali kerugian”.(QS;17;82)
قُلْ هُوَ للذينَ آمنوا هُدًى و شِفاءٌ .
“Katakanlah: “Al qur’an itu adalah petunjuk dan kesembuhan bagi orang-orang yang beriman”.(QS:41;44)
Kata syifâ’ adalah bentuk mashdar (kata dasar) yang berarti kesembuhan. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa pengunaan bentuk mashdar untuk arti sifat memberi kesan penegasan dan mubâlaghah (benar-benar). Al qur’an adalah asy-Syâfi obat penyembuh dan penawar, namun demikian redaksi yang dipilih adalah syifâ’ (kesembuhan), hal ini untuk menunjukkan arti mubâlaghah sesuai dengan kaidah di atas. Demikian ditegaskan para ulama dan ahli tafsir.
Az-Zarkasyi mengatakan, bahwa rahasia pensifatan itu ialah dikarenakan barang siapa yang beriman kepadanya maka ia akan menjadi penyembuhnya dari penyakit kekufuran dan barang siapa mengetahui dan mengamalkannya maka ia menjadi penyembuh baginya dari penyakit kebodohan.
Syeikh ath-Thusi berkata: Syifâ’ sebagai obat yang menghilangkan penyakit. Penyakit kebodohan lebih parah dari penyakit badan/jasad, pengobatanya lebih sulit dan para dokternya sedikit serta kesembuhan darinya jauh lebih penting.
Dan untuk lebih jelas tentang fungsi Al qur’an ini mari kita tela’ah ayat-ayat di atas.
Ayat pertama:
Ayat ini di buka dengan Hai manusia sebagai bukti bahwa muatan ayat ini umum untuk seluruh manusia, bukan hanya kaum Musyrik atau Musyrik Mekah saja, walaupun ia terletak dalam konteks pembicaraan dengan mereka, sebab sifat-sifat yang tertera di dalamnya terkait dengan manusia secara umum.
Makna Kata:
Mau’idhah seperti dikatakan ar-Raghib Al Isfahani ialah larangan yang disertai dengan ancamanmenakut-nakuti, atau seperti disebutkan oleh Al Khalil Al Farâhidi- seorang pakar bahasa- ialah mengingatkan akan kebaikan dengan sesuatu yang akan melebutkan hati. Syeikh ath-Thusi menjabarkan makna mau’idhah sebagai berikut: Sesuatu yang mengajak kepada kebaikan da mencegah dari kejelekan dengan rayuan dan ancaman yang di kandungnya, dan mengajak menuju kekhusyu’an dan ibadah serta memalingkan dari kefasikan dan dosa.
Shudûr adalah bentuk jama’ dari kata shard artinya dada. Karena manusia mendapatkan hati berada dalam dada sementara mereka menyakini bahwa manusia dapat mengerti dan merasakan apa yang ia mengerti dan rasakan dengan hati dan denganya ia memahami apa yang ia fahami, ia mencintai, membenci, menghendaki, rindu, berharap dan mengandai-andai, maka mereka menganggap bahwa dada adalah gudang apa yang ada dalam hati seperti rahasia-rahasianya, sifat-sifat jiwa yang berada dalam batin manusia, yang buruk maupun yang baik. Dalam kemuliaan sifat terletak kesehatan hati dan kelurusan hati dan dalam keburukan sifat terletak sakitnya hati. Kerendahan dan kehinaan sifat adalah penyakit. Jadi kesembuhan hati atau kesembuhan apa yan berada dalam hati artinya hilangnya sifat-sifat jiwa yang jelek dan jahat yang membawa manusia kepada kesengsaraan dan merusak kebahagian hidupnya serta menghalanginya meraih kebaikan dunia dan akhirat.
Hudan adalah petunjuk kepada tujuan dengan lemah-lembut. Demikian dikatakan oleh ar- Raghib Al Isfahani.
Adapun makna rahmah telah lewat kami sebutkan dengan detail pada sifat ke16.
Dalam ayat ini disebutkan empat sifat Al qur’an, ia adalah mau’idhah, syifâ’, hudan dan rahmah. Dan dengan merangkumnya dalam satu pembicaraan dapat disimpulkan bahwa ia merupakan penjelasan yang mencakup tentang efek positif Al qur’an pada jiwa kaum Mu’min sejak awal dikumandangkan pada telinga mereka hingga bersemayam dalam jiwa dan hati mereka.
Penjelasan:
Al qur’an tatkala datang kepada manusia, ia mendapatkan mereka telah tenggelam dalam lautan kelalaian dan dikepun oleh badai kebingungan, maka jiwa-jiwa mereka tertutupi dengan kegelapan keraguan, hati mereka terserang penyakit kehinaan karakter dan sifat serta semua sifat atau kondisi rendah yang jahat, lalu Al qur’an menasihati mereka dengan mau’idhah hasanah, membangunkan mereka dari tidur kelalaian, mengingatkan mereka akan akibat buruk dari menyandangan sifat buruk dan mengamalkan amal jelek, Al qur’an membangkitkan semangat mereka untuk berbuat kebaikan.
Kemudian Al qur’an mulai membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat buruk, dan terus-menerus menghilangkan noda-noda akal dan penyakit hati satu demi satu hingga ia mengangkat penyakit terakhir.
Kemudian setelah itu ia menunjukkan mereka tentang pengetahuan yang haq dan akhlak yang mulia serta amAl amal yang saleh dengan penuh kelemah-lembutan, dari satu tingkat ke tingkat lain yang lebih tinggi hingga mereka bersemayam dalam persemayaan para hamba yang dekat dengan Allah SWT.
Dan akhirnya, ia menghiasi mereka dengan rahmah dan menempatkan mereka di rumah kemuliaan dan menggabungkan mereka bersama para nabi, shiddiqiin, syuhada’ dan kaum shalihin.
Al qur’an adalah pemberi mau’idhah yang menyembuhkan penyakit hati, pembimbing menuju shirat mustaqim, mengalirkan rahmah dengan izin Allah SWT..
Oleh karenanya, sudah seharusnya manusia menyambut gembira kehadiran kitab suci yang menjanjikan kebahagiaan, kesembuhan dan rahmah dan membimbing menuju puncak hidayah ilahiyah, seperti diperintahkan dalam ayat selanjutnya.
Catatan:
Ketika menyebut keempat sifat Al qur’an di atas, tidak diberi huruf alif laam, ia disebut dalam bentuk nakirah untuk memberi arti pengagungan. Demikian di sebutkan para ulama’.
Dalam ayat di atas di dahulukan penyebutan sifat syifâ’ atas sifat rahmah, sebab syifâ’ adalah kesembuhan dari penyakit yang mana ia adalah hilangnya kekurangan, sementara rahmah adalah perolehan kesempurnaan. Dan menghilangkan kekurangan lebih dahulu dilakukan sebelum penambahan kesempurnaan.
Syifâ’un Limâ Fish-Shudûr
Pada ayat di atas disebutkan bahwa fokus penyembuhan Al qur’an adalah terhadap penyakit (yang berada dalam) dada yang merupakan pangkalan akidah dan keyakinan, hal demikian dikarenakan ia adalah tujuan utama petunjuk Al qur’an sebab apabila dada telah disembuhkan dari akidah yang sesat, lintasan keragu-raguan lalu menyakini akidah yang haq dan terikat dengan keyakinan … maka jiwa akan menjadi suci dan sepak tejangnya menjadi lurus.
Dan hal ini tidak menafikan bahwa Al qur’an adalah penyembuh dari penyakit buruknya akhlak, sebagaimana dapat disimpulkan dari dua ayat Surah Al Isra’ dan Fushshilat (as-Sajdah) seperti akan kita pelajari nanti, sebab akhlak adalah refleksi dari akidah dan lahir darinya dan karena kesempurnaan jiwa manusia tidak akan tercapai kecuali dengan sembuhnya keduanya (akidah dan akhlak). Sebagaimana ia tidak menafikan habwa Al qur’an sebagai penyembuh bagi penyakit fisik yang di derita manusia, kendati ia bukan tujuan utama penyembuhan Al qur’an.
Dua Jenis Penyakit Manusia
Penyakit manusia ada dua jenis; penyakit ruh dan penyakit fisik. Dan masing-masing terbagi menjadi dua.
Penyakit ruh yang dimaksud di sini berpangkal pada dua:
Penyakit akal: Akibat kakunya pandangan, kesalahan berpikir, mengikuti jejak nenek moyang tanpa dalil, menyakini keyakinan yang batil dan ragu tentang kebenaran.
Penyakit nafs (jiwa): Dengan buruknya akhlak, rendahnya sifat. Adapun amal pada dasarnya ia mengukuti keduanya, ia baik ketika jiwa dan akalnya sehat dan rusak ketika akal dan jiwanya sakit.
Syeikh M. Rasyid Ridha ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan: Syifâ’un Lima Fish-Shudûr yaitu kesembuhan bagi semua penyakit yang berada dalam hati berupa penyakit syirik, kekafiran, kemunafikan dan semua penyakit jiwa yang dirasakan oleh pemilik hati yang hidup dalam bentuk sesaknya dada akibat keraguan dalam keimanan, berlawanan dengan hati nurani, menyimpan rasa dengki, hasud, kekejaman dan sikap melampaui batas, cinta kebatilan, kezaliman dan kejahatan serta benci terhadap kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Dan setelah menjelaskan makna shadar dan akal, ia kembali mengatakan: jadi penyakit dada dan hati meliputi kebodohan, buruk sangka, keraguan dalam keimanan, kemunafikan, dendam, dengki dan hasud, niat yang jelek, isi hati yang jahat, buruk batin dan lain sebagainya yang telah lewat sebelumnya, dan bukti-bukti yang menunjukkan hal ini dalam Al qur’an banyak sekali.
Dan inilah yang di tegaskan Imam Ali as. dalam salah satu pidato beliau tentang keutamaan Al qur’an:
… فَاسْتَشْفُوهُ مِنْ أدْوائِكُمْ واسْتَعِيْنُوا بِهِ علىَ لأْوَائِكُمْ فَإِنَّ فيهِ شِفاءً مِنْ أكْبَرِ الداءِ و هُوَ الكُفْرُ و النِفاقُ و الغَيُّ و الضلالُ …
“Mintalah kesembuhan darinya untuk penyakit-penyakit kalian dan mintalah bantuan dengannya untuk mengatasi kesulitan hidup, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat penawar bagi penyakit terbesar yaitu kekafiran, kemunafikan, penyimpangan dan kesesatan…”.
Ayat Kedua:
Ayat ini berkaitan dengan uraian surah Al Israa’ tentang keistimewaan dan fungsi Al qur’an sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw.. Sebelumnya sudah banyak uraian tentang Al qur’an bermula dari ayat 9, lalu ayat 41 dan seterusnya, dan ayat 59. Nah, ayat ini kembali berbicara tentang Al qur’an dengan menjelaskan fungsinya sebagai obat penawar penyakit-penyakit jiwa.
Dalam ayat ini, Al qur’an disebut sebagai syifâ’, dan itu meniscayakan adanya penyakit yang disembuhkan. Dan ini bukti bahwa hati memiliki keadaan-keadaan tertentu di mana posisi Al qur’an terhadapnya adalah sebagai penyembuh bagi penyakit tersebut. Dan kesimpulan ini dapat diperoleh dari firman-firman Allah SWT. yang menyebut bahwa agama kebenaran adalah bersifat fitrah bagi manusia.
Manusia memiliki kesehatan dan ketegakan ruhaniah dan spiritual sebagaimana juga memiliki kesehatan dan ketegakan jasmani, ia juga memiliki sakit dan penyakit ruhaniah dengan terganggunya kesehatan ruhaniahnya seperti ia juga memiliki sakit dan penyakit jasmani akibat terganggunya kesehatan fisiknya. Dan sertiap penyakit ada obatnya dan setiap sakit ada penyembuhnya.
Dalam banyak ayat disebutkan bahwa di kalangan kaum Mu’min ada orang-orang yang hatinya berpenyakit, hanya saja ia berbeda dengan kemunafikan apalagi kekufuran, seperti ayat: “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah…”.(QS:33;60)
Dalam ayat di atas dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, mereka adalah dua kelompok yang berbeda.
Penyakit yang dimaksud tiada lain adalah guncangnya keteguhan hati dan kelurusan jiwa akibat aneka keraguan yang menyebabkan kacaunya hati, terguncangnya jiwa, kecenderungan kepada kebatilan dan mengikuti hawa nafsu, di mana hal itu masih dalam batas keimanan kebanyakan kaum Mu’min dari kelompok mereka yang rendah tingkat imannya yang dalam kaca mata kelompok mereka yang beriman tingkat tinggi di kategorikan sebagai syirik.
Al qur’an menghilangkan dengan bukti-bukti yang di paparkannya aneka keraguan/ syubhat serta dalil yang boleh jadi menghinggap di hati sementara orang.
Al qur’an adalah syifâ’ yang akan menyembuhkan penyakit hati dan mengembalikan kepadanya kondisi sehat dan lurus sehingga dapat menikmati kebahagiaan dan kemuliaan.
Dan Al qur’an adalah rahmah karena dengan pancaran cahayanya hati kaum Mukmin tersinari dengan Nûr ilmu dan keyakinan, setelah sebulumnya ia menghilangkan darinya kegelapan kebodohan, kebutaan, dan keraguan. Al qur’an akan menghiasi hati-hati mereka dengan bakat-bakat luhur dan karakter mulia setelah sebelumnya menghilangkan darinya kerak dan kotoran karakter hina dan sifat buruk.
Al qur’an sebagai syifâ’ menghilangkan beragam penyakit hati, sebagaimana ia sebagai rahmah mengembalikan kepadanya kesehatan dan istiqamah fitrah yang hilang. Al qur’an sebagai syifâ’ mensucikan tempat (jiwa) dari aneka penghalang yang menghalangi kebahagiaan dan mempersiapkan hati untuk menerimanya, sementara ia sebagai rahmah menghiasinya dengan hiasan kebahagiaan dan istiqamah.
Al qur’an adalah syifâ’ bagi hati yang sakit dan ia adalah rahmah bagi hati yang dapat mengalami kesesatan, dan dari sini jelas bagi kita penyebutan sifat syifâ’ sebelum sifat rahmat, seperti telah saya singgung sebelumnya.
ولا يَزِيْدُ الظالِمِينَ إلاَّ خسارًا
“Dan tidaklah menambah orang-orang zalim kecuali kerugian”
Ayat ini berbicara tentang efek Al qur’an terhadap selain orang-orang Mu’min sebagaimana pada bagaian sebelumnya menjelaskan pengaruhnya teradap kau Mu’min.
Yang dimaksud dengan orang-orang zalim disini ialah orang-orang kafir secara umum, tidak hanya dari kalangan kaum Musyik saja. Adapun penyebut mereka dengan sifat zalim untuk memberikan kesan sebab, artinya bahwa Al qur’an tidak menambah mereka kecuali kerugian itu di karenakan kezaliman mereka dengan kekufuran.
Sedang kata khsara artinya adalah berkurangnya modal. Orang-orang kafir itu pada dasarnya memiliki modal yaitu agama fitrah yang tertanam dalam lubuk jiwanya, kemudian dengan kekafiran mereka kepada Allah dan ayat-ayat-Nya mereka mengalami kerugian dan kekurangan. Lalu kekafiran dan berpalingnya mereka dari Al qur’an akan menambah keugian itu di atas kerugian yang sudah mereka derita, itu kalau pada mereka masih tersisa modal awal fitrah itu.
Al qur’an menambah bagi orang-orang Mukmin kesehatan ruh di atas kesehatan yang telah mereka nikmati dan menambah kebahagiaan di atas kebahagian yang telah mereka miliki. Dan terhadap oang-orang yang zalim tidaklah menambah kecuali kerugian dan kekurangan.