Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Definisi Pengetahuan

Definisi Pengetahuan

Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, menjadi

jelaslah bahwa langkah pertama yang mendasar dalam

kajian-kajian epistemologi adalah penguraian

terperinci, mendetail, dan akurat atas persoalan-

persoalan yang berhubungan dengan substansi dan

definisi pengetahuan. Dengan demikian, sebelum

menjelaskan dan memaparkan perkara-perkara ini,

pembahasan-pembahasan utama epistemologi dan rukun-

rukunnya tidak akan pernah menjadi jelas dan nyata.

Definisi Pengetahuan  
Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang

hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang

dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan

dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini

meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi,

akidah, dan pikiran-pikiran. Dalam komunikasi

keseharian, kita sering menggunakan kalimat seperti,

“Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah

terbiasa menyelesaikan masalah itu”, “Saya

menginformasikan kejadian itu”, “Saya meyakini bahwa

masyarakat pasti mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi

menghadapi orang itu”, dan “Saya mempunyai pikiran-

pikiran baru dalam solusi persoalan itu”.

Ketika mengamati atau menilai suatu perkara, kita

biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya

mengetahuinya, saya memahaminya, saya mengenal,

meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini,

bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat

dan tingkatan. Disamping itu, bisa jadi hal tersebut

bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang

lainnya bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui

bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal keadaannya

dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah

memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang

yang sungguh-sungguh mengetahui realitas tersebut,

barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak

memahami permasalahan tersebut sebagaimana adanya.

Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan

persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan

kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam pikiran

dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana

reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita

dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan

pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang

hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud karena

terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek

(yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana

hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan. John Dewey

menyamakan antara hakikat itu sendiri dan pengetahuan

dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil

dan capaian dari suatu penelitian dan observasi.

Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari

hubungan dan jalinan ia dengan realitas-realitas yang

tetap dan yang senantiasa berubah.[1]

Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek

yang berbeda, antara lain:

    Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini

mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-

pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh

seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan

dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan

seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya

terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan

ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya

sebagai dasar pembahasan.
    Realitas yang terus berubah. Sangat mungkin

pengetahuan itu diasumsikan sebagai suatu realitas yang

senantiasa berubah dimana perolehan itu tidak pernah

berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara

khusus perkara- perkara yang beragam, kemudian ia

membandingkan perkara tersebut satu sama lain dan

memberikan pandangan atasnya, dengan demikian, ia

menyiapkan dirinya untuk mendapatkan pengetahuan-

pengetahuan baru yang lebih global.


Secara lahiriah, keberadaan kedua dimensi di atas

bersifat logis dan tak berpisah satu sama lain.

Pengetahuan itu tidak bisa dipandang sebagai suatu

realitas yang konstan, tetap, tak berubah, dan tak

hidup yang terdapat dalam ruang pikiran manusia, hal

ini disebabkan oleh kenyataan bahwa jiwa manusia itu

adalah tunggal dan satu, persentuhan manusia yang terus

menerus dengan objek-objek eksternal dan syarat-syarat

yang berbeda, aktivitas dan pengaruh potensi-potensi

akalnya, pembentukan konsepsi-konsepsi dan

perubahannya, sisi-sisi beragam dari pengalaman

manusia, perubahan terus menerus yang terjadi pada

aspek empirik manusia, dan perubahan kualitas persepsi

dan analisa pikiran atas objek.

Uraian tersebut di atas lebih mewakili perspektif-

perspektif Barat, dan berikut ini kami akan paparkan

gagasan-gagasan filosof Islam tentang definisi

pengetahuan. Namun, sebelum hal ini, kami akan singgung

sedikit tentang eksistensi pengetahuan itu sendiri.

Dikatakan bahwa wujud pengetahuan itu bersifat gamblang

dan fitri serta tidak membutuhkan pembuktikan secara

argumentatif, karena setiap pembuktian argumentatif

niscaya berpijak pada gabungan mukadimah, dan setiap

mukadimah (premis mayor dan minor) itu adalah

pengetahuan itu sendiri. Lebih ringkas dapat dikatakan

bahwa pengetahuan itu identik dengan eksistensi dan

keberadaan. Wujud itu sendiri tidak membutuhkan dalil

atas ke-wujud-annya, karena segala sesuatu yang

digunakan untuk menetapkannya tidak lain adalah wujud

itu sendiri, dengan demikian, penetapan wujud itu

sendiri adalah  mustahil karena berujung pada lingkaran

setan atau akan berpuncak pada kontradiksi, yakni

ketika kita ingin menetapkan eksistensi ilmu itu dengan

suatu ilmu yang lain, maka sebelum membuktikan

“eksistensi ilmu” kita mesti membutuhkan ilmu lain

sebagai pendahuluan. Dengan demikian, kontradiksi

terjadi karena untuk menetapkan eksistensi pengetahuan

itu kita memerlukan ilmu lain sebagai mukadimahnya,

sementara pada saat yang sama kita ragu atas keberadaan

ilmu itu sendiri (termasuk ilmu sebagai mukadimahnya).

Jadi, sebagaimana wujud itu sendiri tidak bisa

ditetapkan dengan wujud yang lain, eksistensi ilmu dan

pengetahuan pun demikian halnya.

Di bawah ini terdapat tiga pendapat mengenai

pendefinisian pengetahuan, antara lain:

1. Pengetahuan itu tidak bisa didefinisikan, karena

pengetahuan itu bersifat gamblang dan aksiomatik. Dan

pendefinisian bagi perkara-perkara yang gamblang dan

aksiomatik adalah hal yang mustahil (yakni akan terjadi

daur atau lingkaran setan). Untuk menegaskan

kegamblangan ilmu dan pengetahuan itu bisa berpijak

pada beberapa hal:

    Pengetahuan itu sendiri merupakan perkara-perkara

kejiwaan dan kefitraan. Dan Setiap perkara kefitraan

dan kejiwaan itu bersifat aksiomatik dan badihi.
    Pengetahuan yang mutlak bersumber dari pengetahuan

yang khusus dan terbatas seperti pengetahuan manusia

pada wujudnya sendiri yang bersifat aksiomatik. Dan

pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang aksiomatik

adalah juga bersifat aksiomatik dan gamblang.
    Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka

akan berkonsekuensi pada kemustahilan  pengetahuan

manusia terhadap realitas bahwa “ia mengetahui

sesuatu”, yakni pengetahuan manusia itu sendiri

pertama-tama harus didefinisikan, barulah kemudian ia

memahami bahwa dirinya memiliki pengetahuan terhadap

sesuatu. Hal ini mustahil, karena keberadaan

pengetahuan bagi manusia adalah bersifat fitri dan

pengetahuan kepada perkara fitrawi ialah hal yang

mungkin, yakni tidak butuh kepada definisi sebelumnya.


Dengan demikian, ilmu manusia, tanpa pendefinisian

sebelumnya, kepada realitas bahwa “ia memahami sesuatu”

ialah bersifat mungkin. Pengetahuan manusia bahwa “ia

mengetahui sesuatu” adalah ilmu kepada “hubungan zatnya

dengan ilmu”, dan ilmu kepada “hubungan suatu perkara

kepada perkara lain” ialah bergantung atas ilmu pada

salah satu dari subjek dan predikatnya.[2]
2. Pengetahuan itu bisa didefinisikan, namun sangat

sulit.
3. Pengetahuan itu mudah didefinisikan.

Sesungguhnya definisi hakiki pengetahuan adalah hal

yang mustahil, karena pada hakikatnya pengetahuan itu

identik dengan eksistensi dan wujud, dan eksistensi –

sebagaimana diketahui dalam pembahasan ontologi –

secara hakiki adalah mustahil untuk didefinisikan.

Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka

sebenarnya bukanlah definisi yang hakiki. Dalam hal

ini, banyak definisi yang telah dilontarkan berkaitan

dengan pengetahuan ini, akan tetapi hanya beberapa yang

bisa mencakup segala cabang-cabang pengetahuan dan

bersifat komprehensif.

Di sini kami tidak akan menyebutkan semua definisi yang

telah digagas dan dirumuskan oleh para filosof dan

teolog muslim. Untuk lebih luasnya wawasan dalam

pembahasan definisi ilmu dan pengetahuan silahkan

merujuk pada kitab-kitab filsafat dalam bab

pengetahuan.
Di bawah ini kami hanya akan menyebutkan beberapa

definisi yang mayoritas diterima oleh kalangan filosof:

A. Pengetahuan adalah pencerminan objek eksternal dalam

pikiran
Dalam kitab klasik ilmu logika, pengetahuan itu

didefinisikan sebagai suatu gambaran objek-objek

eksternal yang hadir dalam pikiran manusia. Definisi

ini juga disepakati oleh sebelas orang filosof dan

ilmuwan Rusia.[3]

Akan tetapi, apabila kita mencermati definisi di atas,

maka definisi tersebut hanya mencakup llmu hushuli dan

tidak termasuk ilmu hudhuri, karena ilmu hudhuri

bukanlah suatu “gambaran” dan “refleksi” objek-objek

eksternal di alam pikiran.

Pengetahuan terbagi dua:
1. Ilmu hushuli, yakni suatu pengetahuan yang

dihasilkan dengan menggunakan media panca indera

sebagai perantara hubungan dengan alam eksternal dan

kehadiran gambaran objek-objek eksternal di alam

pikiran itu melalui fakultas-fakultas lahiriah. Dengan

ungkapan lain, ilmu hushuli adalah suatu ilmu yang

hanya berhubungan dengan konsepsi dan gambaran dari

objek-objek eksternal, seperti ilmu manusia kepada

maujud-maujud eksternal.
Dalam ilmu ini terdapat tiga hal yang prinsipil:

    Subjek yang mengetahui yang bernama manusia;
    Maujud-maujud eksternal dan hakiki (dimana dalam

istilah filsafat disebut dengan “objek pengetahuan yang

aksidental (ma’lum bil ‘aradh)”, yakni objek yang

diketahui secara aksidental);
    Suatu konsepsi yang bernama gambaran pikiran

(dimana dalam istilah filsafat dikatakan sebagai “objek

pengetahuan yang esensial” (ma’lum bizzat), yakni objek

yang diketahui secara esensial).

2. Ilmu hudhuri, yakni suatu ilmu tidak membutuhkan

suatu media sebagai perantara, akan tetapi objek

pengetahuan itu sendiri (bukan gambaran dari objek itu)

yang hadir secara langsung dalam diri subjek. Apabila

dalam ilmu hushuli terdapat tiga perkara yang

fundamental, maka dalam ilmu hudhuri hanya ada dua hal

yang mendasar dan terkadang hanya satu hal. Yakni dalam

ilmu ini tidak ada “gambaran” dari objek ilmu.

Ilmu hudhuri terbagi dalam dua bagian:

    Terkadang dalam ilmu hudhuri hanya terdapat dua

dimensi mendasar, seperti pengetahuan kita terhadap

gambaran pikiran kita sendiri, apabila kita mengetahui

objek-objek eksternal melalui gambaran pikiran sebagai

media perantara, maka gambaran pikiran itu sendiri

telah menjadi jelas bagi kita tanpa media perantara dan

pengenalan kita kepada gambaran pikiran kita sendiri

tak lagi melalui gambaran-gambaran yang lain, karena

kalau demikian, maka dalam pengenalan tersebut akan

hadir rangkaian gambaran-gambaran yang tak terbatas

jumlahnya. Oleh sebab itu, di sini hanya ada dua aspek

yaitu subjek yang mengetahui (‘âlim) dan objek

pengetahuan yang esensial (ma’lum bizzat) yang dalam

hal ini adalah gambaran pikiran itu sendiri;
    Bentuk lain dari ilmu hudhuri adalah kesatuan dan

kemanunggalan antara ‘âlim (subjek yang mengetahui),

ma’lum bizzat (objek pengetahuan yang esensial), dan

‘ilm (pengetahuan), seperti ilmu kita terhadap diri

kita sendiri yang dalam filsafat dikatakan sebagai ‘ilm

al-insan bizatihi (ilmu manusia kepada zatnya sendiri)

[4]. Ilmu manusia seperti ini adalah bersumber dari

manusia itu sendiri dan pengetahuannya itu menyatu

dengan wujudnya sendiri, yakni manusia yang disamping

sebagai subjek yang mengatahui, ia juga sebagai objek

pengetahuan.


Dengan memperhatikan kedua ilmu ini, hushuli dan

hudhuri, menjadi jelaslah bahwa hanya bagian ilmu

hushuli saja yang tercakup dalam definisi tersebut di

atas. Dengan demikian, definisi tentang pengetahuan

tersebut tidaklah sempurna dan komprehensif sehingga

dapat meliputi semua cabang-cabang pengetahuan.

A. 1. Kategori kedua logikal bukan pencerminan langsung

objek eksternal dalam pikiran
Keberadaan kategori-kategori kedua logikal ini

meruntuhkan keuniversalan definisi tentang pengetahuan

tersebut. Dalam filsafat Islam, kategori-kategori itu

terbagi menjadi dua bagian, kategori pertama dan kedua.

Kategori pertama adalah pengenalan pertama manusia yang

lahir dari hubungan yang sederharna antara pikiran dan

alam eksternal, seperti persepsi benda-benda, warna-

warna, dan bentuk-bentuk. Kategori pertama ini

merupakan bentuk yang nyata dan langsung dari

pencerminan objek-objek eksternal di alam pikiran,

seperti penggambaran kita terhadap suatu kitab, pohon,

kertas, dan objek-objek partikular lainnya. Jenis

pengenalan lain yang berbeda dimana objek-objek

eksternal tidak tercermin secara nyata dan langsung di

alam pikiran dan melainkan membutuhkan aktivitas

berpikir seperti konsepsi-konsepsi universal, spesies,

genus, pengetahuan, dan konsepsi lain yang dibahas

dalam ilmu logika. Di sini, mustahil terdapat suatu

maujud eksternal bernama “universal”. Lahirnya konsepsi

universal di alam pikiran misalnya, itu bukan bersumber

secara langsung dari pencerminan objek-objek eksternal

(karena tidak terdapat objek eksternal dan hakiki

bernama universal yang darinya konsepsi universal itu

muncul di alam pikiran), melainkan berasal dari suatu

aktivitas fakultas indera berpikir manusia yang mampu

mencipta konsepsi-konsepsi tersebut. Alam eksternal

adalah alam partikular, dan konsepsi universal itu

apabila keluar dari alam pikiran manusia, maka akan

berubah menjadi realitas yang partikular. Sangat perlu

ditegaskan bahwa pikiran manusia apabila tidak

berhubungan dan terputus dengan alam eksternal, maka

akan mustahil menciptakan konsepsi-konsepsi tersebut,

akan tetapi, tidak bisa dikatakan bahwa konsepsi-

konsepsi tersebut hadir secara langsung dari objek-

objek eksternal di alam pikiran manusia.[5]

A. 2. Kategori-kategori kedua filsafat bukan

pencerminan langsung objek eksternal dalam pikiran
Jenis lain dari kategori-kategori yang kita miliki

adalah suatu kategori kedua filsafat dimana tidak

termasuk dalam domain dan ranah inderawi, seperti

konsepsi kebergantungan dan kemungkinan (imkân,

possibility) dan sesuatu (syai, thing). Kedua konsepsi

ini digunakan oleh manusia untuk menjelaskan realitas

eksternal, misalnya dikatakan: Ahmad adalah maujud

bergantung (mumkinul wujud), meja adalah sesuatu, dan

lain sebagainya. Di sini, predikat dalam proposisi itu

adalah sifat bagi subjek itu sendiri dan keduanya

menyatu di alam eksternal serta tidak berpisah satu

sama lain, sementara di alam pikiran terdapat dua hal

yang terpisah (Ahmad dan maujud bergantung) dan

keduanya memiliki konsepsi yang berbeda-beda dimana

kita kemudian mempredikasikan maujud bergantung itu

kepada Ahmad. Kita mustahil menemukan suatu individu

yang mandiri bernama “maujud bergantung”, pada saat

yang sama adalah benar kalau kita menjelaskan bahwa

Ahmad adalah maujud bergantung. Di sini, kita tidak

dapat menyatakan bahwa pengenalan kita terhadap Ahmad

sebagai mumkinul wujud adalah berasal dari pencerminan

langsung dari suatu objek eksternal, melainkan pikiran

kita dengan aktivitas khasnya mampu membagi segala

sesuatu itu menjadi tiga bagian {Wajibul Wujud (Wujud

Niscaya-Ada), mumkinul wujud (wujud mungkin-ada atau

wujud bergantung), dan mumtane’ul wujud (wujud

mustahil-ada)} dan menjelaskan segala sesuatu itu

dengan salah satu dari ketiga bagian dan sifat-sifat

ini.[6] Dengan demikian, mesti dikatakan bahwa tidak

setiap gambaran pikiran itu adalah pencerminan langsung

objek-objek eksternal, walaupun konsepsi-konsepsi dan

kategori-kategori kedua filsafat tersebut mustahil

terwujud tanpa adanya hubungan manusia dengan objek-

objek eksternal.

A. 3. Perkara-perkara ketiadaan dan kemustahilan bukan

merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal
Tidak diragukan bahwa kita memiliki perkara-perkara

yang bersifat ketiadaan dan kemustahilan seperti daur

(lingkaran setan) dan tasalsul (rangkaian tak

berbatas). Kemustahilan kedua hal ini adalah sangat

jelas dan telah dibuktikan dalam kitab logika dan

filsafat. Persoalannya adalah apakah pengenalan kita

terhadap daur dan tasalsul ini berasal dari pencerminan

sesuatu yang eksternal? Pada prinsipnya, tidak terdapat

objek eksternal yang bernama daur dan tasalsul sehingga

bisa tercermin dan terbias dalam pikiran.[7]
 
A. 4. Bilangan Matematika bukan pencerminan langsung

objek eksternal
Semua bilangan matematika bukan merupakan pencerminan

dari realitas eksternal, namun apa-apa yang terdapat di

alam luar hanyalah individu-individu bilangan dan bukan

bilangan itu sendiri, misalnya angka satu itu sendiri

tidak akan kita temukan di alam eksternal, yang ada

hanyalah satu kitab, satu pohon, satu lebah. Dengan

demikian, setiap pengenalan itu tidaklah mesti selalu

bersumber dari pencerminan dan pembiasan langsung dari

objek-objek eksternal, walaupun hal ini tidak bermakna

bahwa manusia tidak membutuhkan suatu hubungan antara

alam pikiran dan alam eksternal, karena apabila manusia

tidak berhubungan dengan alam eksternal melalui media

panca indera maka dia akan kehilangan banyak konsepsi-

konsepsi yang dihasilkan lewat media tersebut dan

mustahil pikiran bisa mengetahui, memahami, dan

menggambarkan ketiadaan-ketiadaan dan kemustahilan-

kemustahilan. Dalam filsafat Islam, proses pemahaman,

penggambaran, dan pencerapan pikiran terhadap

konsepsi-konsepsi universal, ketiadaan, dan

kemustahilan bersumber dari pengenalan-pengenalan

sebelumnya terhadap hal-hal yang berwujud dan bermateri

sedemikian sehingga dengan pengenalan tersebut akal

mampu menghadirkan dan menciptakan serta mempersepsi

konsepsi-konsepsi semacam itu.[8]
   
Dengan demikian, tidaklah mustahil bahwa terdapat suatu

konsepsi-konsepsi di alam pikiran manusia yang sama

sekali tidak mempunyai individu-individu di alam

eksternal, akan tetapi pada saat yang sama hubungan

manusia dengan alam eksternal adalah sebagai media

persiapan bagi penciptaan, perwujudan, dan kehadiran

konsepsi-konsepsi semacam itu di alam pikiran.[9]

B. Pengetahuan adalah sejenis kesatuan wujud antara

‘âqil (intelligent) dan ma’qûl (intellected)
Para pendukung definisi ini menyatakan, “Pencerminan

dan penggambaran semata-mata objek-objek eksternal di

alam pikiran tidak akan langsung dapat mewujudkan

pengetahuan, karena setiap kali gambaran-gambaran itu

terpantul di atas cermin pengetahuan, secara otomatik

cermin tersebut tidak bisa menangkap gambaran-gambaran

itu. Hal ini karena pengetahuan itu hanya akan

terbentuk ketika terdapat kesatuan dan kemanunggalan

antara penerima gambaran dan gambaran itu sendiri, yang

dalam istilah filsafat dikatakan kemanunggalan ‘âlim

dan ma’lûm bizzat (yakni gambaran pikiran atau obyek

pengetahuan esensial). Dan apabila tidak demikian, maka

setiap bentuk gambaran yang terpantul pada air, cermin,

dan pikiran adalah sama.[10]

Penyerupaan pikiran manusia dengan cermin tersebut

telah ada sejak lama sebagaimana yang tertulis dalam

kitab logika milik Mir Sayyid Syarif Jurjany yang

merupakan kitab-kitab awal dalam ilmu logika, di situ

tertera, “Pada manusia terdapat suatu fakultas

pengindera yang memantulkan gambaran-gambaran segala

sesuatu sebagaimana halnya cermin.”[11]
 
Penyerupaan antara cermin dan pikiran manusia

disebabkan terdapat kesamaan di antara keduanya,

seperti setiap warna yang dimiliki oleh cermin, maka

gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang ditampakkan oleh

cermin akan terwarnai sebagaimana warna yang

dimilikinya, namun apabila cermin itu tidak memiliki

warna, maka ia akan menampakkan gambar dan bentuk itu

sesuai dengan warna yang dimiliki oleh gambar dan

bentuk. Dan semakin tidak berwarna dan semakin bersih

cermin itu dari warna, maka penampakan realitas dan

segala sesuatu akan sebagaimana adanya.

Dimensi dan kenyataan ini sama seperti pikiran manusia,

yakni apabila pikiran manusia mempunyai “warna”, maka

ia akan melihat benda-benda itu sebagaimana “warna”

pikiran, akan tetapi, kalau pikiran manusia tidak

mempunyai “warna”, maka ia akan menunjukkan kepada

manusia hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana

adanya. Hal ini sebagaimana perkataan suci Imam Ali As

yang bersabda, “Ketika manusia telah larut dalam suatu

kecintaan maka dia akan sangat dipengaruhi olehnya

sedemikian sehingga dia tidak dapat melihat dan

memandang sesuatu itu sebagaimana mestinya, begitu pula

ketika dia hanyut dalam lautan kebencian dan kedengkian

sehingga mewarnai jiwanya maka dia pun tidak akan mampu

menilai realitas sebagaimana yang seharusnya, cinta

menampakkan keburukan itu menjadi sesuatu yang indah,

sebagaimana benci dan hasud akan memperlihatkan

keindahan itu sebagai realitas yang buruk.[12] Di dalam

al-Quran juga diungkapkan hal yang sama, Allah

berfirman, “Apakah orang yang pekerjaan buruknya dihias

indah (oleh setan) sehingga dia meyakini pekerjaan itu

baik, (sama dengan orang yang melihat realita

sebagaimana adanya)? Sesungguhnya Allah menyesatkan

siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada

siapa yang dikehendaki-Nya. Maka janganlah dirimu

binasa karena sedih terhadap mereka. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[13] Dan dalam

ayat yang lain difirmankan, “Yaitu orang-orang yang

telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,

sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat

sebaik-baiknya.”[14]
 
Dengan demikian, pengenalan dan pengetahuan hakiki

sangat menekankan kebersihan pikiran dan kesucian jiwa

dari segala bentuk “warna”, kekotoran, dan fanatisme

yang sebagaimana suatu cermin yang bersih dari warna

sehingga bisa memantulkan gambar dan bentuk secara

akurat, teliti, dan alami.

Namun, antara cermin dan pikiran juga memiliki

perbedaan, antara lain:

    Cermin itu tidak bisa menampakkan aspek batin dan

makna sesuatu, yang ditunjukkan olehnya hanyalah

dimensi lahiriah seperti bentuk dan warna serta volume

manusia, akan tetapi apakah cermin itu akan bisa

menampakkan pengetahuan, kecintaan, dan emosi manusia?

Jawabannya ialah negatif, namun berbeda dengan pikiran

manusia yang juga bisa mengetahui makna-makna tersebut;
    Cermin terkadang salah menampakkan realitas dan

sekaligus tidak mampu  menunjukkan dimana letak

kesalahannya, misalnya terkadang cermin menunjukkan

sesuatu itu lebih besar atau lebih kecil dari yang

sesungguhnya, akan tetapi, pikiran manusia tidak hanya

bisa menunjukkan kesalahan hasil kontemplasinya

sendiri, melainkan juga mampu merekonstruksi dan

merumuskannya kembali;
    Cermin hanya dapat menampakkan sesuatu yang lain

dan tidak bisa menunjukkan dirinya sendiri. Akan

tetapi, berbeda dengan pikiran manusia yang disamping

mampu menggambarkan realitas-realitas yang lain, ia

juga dapat menyadari akan kenyataan dirinya sendiri.

Pikiran manusia disamping memahami segala sesuatu di

luar dirinya ia pun mampu mengetahui keberadaan dan

hakikat dirinya sendiri;
    Cermin hanya dapat memantulkan sesuatu yang berada

dihadapannya dan tak mampu menggeneralisasikannya,

sementara pikiran manusia selain mampu menangkap apa-

apa yang berada didepannya juga bisa memahami

realitas-realitas yang tak terbatas dan lebih dari itu

ia mempunyai kemampuan menggeneralisasikan segala

realitas yang diketahuinya itu;
    Cermin hanya dapat memantulkan benda-benda fisik

yang terlihat, akan tetapi tidak bisa membiaskan hal-

hal yang terdengar, tercium, dan terasa;
    Cermin merupakan benda materi dan fisikal,

sementara pikiran manusia adalah realitas yang nonfisik

dan nonmateri.     


C. Pengetahuan adalah kehadiran realitas nonmateri pada

maujud yang juga nonmateri (jiwa)
Definisi pengetahuan adalah kehadiran sesuatu yang

bersifat nonmateri pada sesuatu yang nonmateri juga

(baca: jiwa). Allamah Thabathabai dalam kitab Nihayah

al-Hikmah menyatakan bahwa apa yang kita cerap melalui

persepsi-persepsi kita tidak lain adalah bentuk-bentuk

yang nonmateri dan pengetahuan hakiki kita adalah

realitas yang nonmateri itu, pada hakikatnya pencerapan

kita tidak berhubungan langsung dengan objek-objek

eksternal. Persepsi kita niscaya berkaitan dengan

bentuk-bentuk pengetahuan yang juga nonmateri. Dengan

demikian, persepsi-persepsi kita sendiri itu apabila

dihubungkan dengan benda-benda materi, misalnya

dikatakan: kita mengetahui buku ini, yakni pengetahuan

itu dikaitkan dengan buku itu, sementara pada

hakikatnya yang kita ketahui adalah bentuk-bentuk yang

nonmateri dari kitab dan bukan kitab itu sendiri

sebagai objek eksternal. Kitab yang ada di alam

eksternal yang disaksikan langsung oleh mata hanyalah

berfungsi sebagai pengkondisian untuk terciptanya

bentuk-bentuk nonmateri dari kitab itu yang kemudian

hadir pada jiwa manusia. Pada dasarnya, objek ilmu dan

pengetahuan kita bukanlah kitab eksternal itu,

melainkan bentuk-bentuk pengetahuan yang berhubungan

dengan alam nonmateri. Pengetahuan tidak lain adalah

emanasi dari alam nonmateri dan hadir di alam jiwa yang

juga nonmateri. Jadi, apabila kita katakan bahwa saya

sedang menyaksikan dan mengatahui benda-benda eksternal

tersebut, maka ungkapan ini hanyalah bersifat toleransi

saja.

Dengan demikian, apa-apa yang diketahui dan dipahami

itu adalah suatu perkara yang nonmateri dan subjek yang

mengetahui (‘âlim) juga mestilah maujud yang nonmateri.

Benda-benda materi tidak bisa mengetahui dan mencerap

hal-hal yang nonmateri dan bentuk-bentuk dan gambaran-

gambaran pengetahuan itu mestilah hadir di alam

nonmateri (jiwa). Maka dari itu, pengetahuan tersebut

adalah kehadiran realitas yang nonmateri di alam

nonmateri (jiwa) atau kehadiran sesuatu nonmateri pada

maujud nonmateri pula.[15] [16]

D. Pengetahuan adalah “keyakinan pasti” yang sesuai

dengan realitas eskternal
Kritikan atas definisi tersebut adalah bahwa tidak

meliputi perkara-perkara yang mustahil terwujud dan

konsepsi-konsepsi, karena hal-hal yang mustahil itu

tidak mempunyai eksistensi dan realitas eksternal yang

dapat diabstraksi oleh akal, begitu pula konsepsi-

konsepsi tersebut tidak tergolong sebagai keyakinan.

E. Pengetahuan adalah sesuatu yang menyatu dengan

perbuatan (dan sangat mungkin perbuatan yang terpancar

dari pengetahuan itu adalah lebih kuat dan lebih pasti)
Kerumitan definisi ini adalah karena tidak mencakup

ilmu dan pengetahuan yang tidak bersumber dari suatu

perbuatan atau pengetahuan yang sama sekali tidak

berhubungan dengan suatu perbuatan dan prilaku, seperti

pengetahuan manusia kepada dirinya sendiri, pengetahuan

kepada Tuhan Sang Pencipta, dan pengetahuan kepada

perkara-perkara yang tak berwujud.

F. Pengetahuan adalah hubungan khusus yang terwujud antara subjek (‘âlim) dan objek-objek eksternal (ma’lûm)

Sebagian teolog yang dipelopori oleh Abul Hasan Asy’ary menggagas definisi penngetahuan tersebut. Akan tetapi, pengertian suatu “hubungan” adalah terciptanya jalinan di antara dua sesuatu. Oleh karena itu, dengan berdasarkan kepada pengertian tersebut mustahil terwujud dan terciptanya hubungan dan jalinan di antara “yang berwujud” dan “yang tak berwujud” (tiada), karena “yang tak berwujud” itu adalah tiada dan tidak memiliki eksistensi sehingga dapat dijalin suatu hubungan.
Pada satu sisi, kita dapat mengetahui dan menggambarkan perkara-perkara yang sama sekali tidak berwujud di alam eksternal, seperti gambaran kita tentang manusia yang mempunyai empat kepala, sekutu hakiki Tuhan, dan yang lainnya. Dengan demikian, definisi tersebut di atas tidak sempurna dan tidak komprehensif.

G. Pengetahuan adalah kehadiran bayangan objek eksternal dalam pikiran

Sebagian beranggapan bahwa yang hadir di alam pikiran kita tidak lain adalah bayangan objek-objek eksternal itu sendiri dan bukanlah hakikat objek-objek tersebut, yakni  sesuatu yang hadir di alam pikiran kita secara esensial dan hakiki berbeda dengan objek-objek eksternal, dan yang hadir itu hanyalah memiliki beberapa kesamaan dan kesesuaian dengan objek-objek eksternal serta hanya menunjukkan sebagian dari karakteristik-karakteristiknya.

Berdasarkan definisi tersebut, hubungan di antara konsepsi-konsepsi pikiran dan benda-benda eksternal adalah tidak bersifat nonesensial, melainkan sejenis hubungan gambar sesuatu dengan sesuatu itu sendiri, seperti penggambaran pikiran kita terhadap seekor kuda atau seperti suatu gambar yang tergores di atas dinding. Gambar seekor kambing di atas dinding tersusun dari gabungan warna-warna, oleh karena itu, pada hakikatnya gambar itu merupakan askiden, sementara seekor kambing yang hakiki adalah sejenis substansi bendawi. Akan tetapi dengan perbedaan esensial ini, gambar seekor kambing merupakan suatu cerita dan cermin dari seeokor kambing hakiki. Konsepsi kambing dalam pikiran kita juga merupakan perkara yang aksidental dan kategori kualitas rasional, maka dari itu, dari dimensi esensial berbeda dengan kambing yang hakiki dimana merupakan suatu kategori substansi (lawan dari aksiden).

Gagasan terhadap definisi tersebut banyak di anut oleh kaum materialisme yang kemudian berujung pada Sophisme yang mengingkari pengetahuan hakiki terhadap realitas-realitas dan objek-objek eksternal, karena apabila seluruh ilmu, persepsi, dan pengetahuan kita tidak sesuai secara esensial dengan objek-objek eksternal dan hanyalah merupakan banyangan dari objek-objek itu, maka apa-apa yang kita ketahui dan pahami adalah bayangan benda-benda eksternal dan bukanlah benda-benda eksternal itu sendiri, walhasil kita mustahil dapat mencerap dan menggapai perkara-perkara eksternal sebagaimana mestinya.  

Perlu ditegaskan kembali bahwa satu-satunya jalur yang menghubungkan kita dengan objek-objek eksternal ialah konsepsi-konsepsi pikiran. Konsepsi-konsepsi pikiran kita terhadap gunung, daratan, laut, langit, manusia- manusia, dan benda-benda lain yang apabila tidak bersesuaian secara esensial dengan benda-benda eksternal, maka segala konsepsi pikiran kita adalah realitas yang lain yang berbeda dengan perkara-perkara eksternal. Jadi dalam hal ini, kita mustahil mengetahui dan memahami perkara-perkara luar, dan pada hakikatnya, kalau kita mempunyai “pengetahuan”, maka “pengetahuan” itu adalah kejahilan dan kebodohan, bukanlah ilmu dan pengetahuan yang hakiki dan sebagaimana adanya. Dengan demikian, kita akan terjebak ke dalam paham Sophisme.

Apabila  kita menerima definisi tersebut, maka tidak terdapat lagi perbedaan antara pengetahuan dan sejenis kebodohan (yakni seseorang merasa mengetahui sesuatu padahal dia sesungguhnya tidak mengetahui). Jadi, Segala pengetahuan manusia merupakan sejenis kebodohan dan sama sekali tidak mempunyai nilai dan makna. Begitu pula, tak satupun dari pengetahuan dan persepsi manusia adalah sejenis penyingkapan dan pengungkapan dari suatu realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian, kita sama sekali tak memiliki pengetahuan terhadap objek-objek eksternal. Berkaitan dengan ini, filosof Iran, Murtadha Muthahhari, berkata, “Apabila yang terdapat di alam eksternal berbeda dan tidak bersesuaian secara esensial dengan pengetahuan dan konsepsi kita maka tidak terdapat satu pun argumen dan dalil yang dapat digunakan untuk menegaskan keberadaan objek-objek eksternal itu sendiri.”[17]

H. Pengetahuan adalah cahaya dan kehadiran

Sebagian beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan cahaya, karena maujud itu terbagi menjadi: cahaya dan bukan cahaya. Keberadaan maujud yang tak bercahaya membutuhkan maujud yang bercahaya. Cahaya secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan yang lain. Dengan demikian, apa yang secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan sesuatu bagi jiwa tidak lain adalah cahaya itu sendiri.

Akan tetapi, karena cahaya secara hakiki adalah wujud itu sendiri, dengan demikian, permasalahan mendasar pada definisi ini adalah bahwa karena pengetahuan itu terbagi ke dalam tashawwur (conception), tashdiq (judgement), universal, dan partikular, sementara wujud itu sendiri (yang disamakan dengan cahaya) – yang karena bukan suatu kategori hubungan, melainkan kategori emanasi[18] – tidak dapat dibagi sebagaimana pengetahuan, maka dari itu, definisi ini tidaklah sempurna dan komprehensif.[19]
       
I. Pengetahuan adalah wujud itu sendiri

Pengetahuan adalah wujud itu sendiri, karena selain hakikat wujud adalah ketiadaan, konsepsi, dan kuiditas. Ketiadaan adalah kegelapan mutlak dan kuiditas secara esensial adalah tak berwujud dan juga bukan tiada mutlak dimana akan menjadi ada karena wujud dan tanpa wujud kuiditas mustahil mengada. Dan segala sesuatu yang hadir pada ‘alim secara esensial adalah dengan media dan perantara wujud, sebagaimana segala sesuatu akan mengada dengan perantaraan wujud. Segala pengetahuan, seperti pengetahuan Tuhan, pengetahuan manusia, pengetahuan terhadap substansi, aksiden, dan konsepsi-konsepsi lain yang mempunyai lebih dari dua kategori filsafat adalah bukan dari jenis kuiditas (mahiyah), melainkan dari jenis wujud dan juga terabstraksi dari hakikat-hakikat. Dan wujud adalah suatu hakikat yang dimiliki sama oleh Tuhan dan selain-Nya. Mulla Sadra menyatakan bahwa ilmu dan pengetahuan ialah wujud murni yang tidak bercampur dengan sejenis ketiadaan, atau pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri.[20] Walhasil, hakikat pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri dan tetap (permanen), dan karena wujud materi itu senantiasa berubah maka dari itu tidak bisa dikatakan sebagai pengetahuan.

J. Pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim).

Apabila ingin diajukan suatu definisi yang lebih akurat dan teliti tentang pengetahuan dimana bisa mencakup seluruh bagian dan cabang pengetahuan, maka mestilah dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim). Dalam ilmu hushuli, kehadiran objek pengetahuannya di alam jiwa adalah tidak secara langsung atau mediated, melainkan hadir dalam bentuk dan gambaran dari objek eksternal. Sementara dalam ilmu hudhuri, kehadiran objek pengetahuannya adalah secara langsung atau immediate.
      
Definisi pengetahuan mestilah meliputi dan mencakup seluruh bagian pengetahuan seperti kehadiran objek ilmu itu sendiri, gambaran partikular, atau konsepsi universalnya dalam realitas jiwa dan pikiran yang nonmateri.[21] Definisi ini bisa mencakup ilmu hushuli dan hudhuri serta segala kategori rasional.

K. Pengetahuan adalah “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas.
Definisi lain yang berhubungan dengan pengetahuan dan makrifat dimana  mayoritas diterima adalah “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas.[22] Definisi ini akan dikupas secara lebih luas dan terperinci karena lebih universal, lebih sempurna, dan lebih komprehensif serta mayoritas diterima oleh kalangan filosof dan urafa. Definisi ini lebih menyentuh pada wilayah makrifat dan pengetahuan hakiki, oleh karena itu, akan dijadikan sebagai landasan dan pijakan utama dalam penyusunan berbagai pembahasan dan pengkajian epistemologi pada makalah ini.

Referensi:
[1] . John Dewey, Philosophy of Education, hal. 14.
[2] . Mulla Sadra, Hikmah Muta’âliyah, jilid ketiga, hal 279. Dan Mafatihul Ghaib, hal, 99 dan 100.
[3] . Materialism Dialektik, hal. 317.
[4] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 236, 237 dan Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid ketiga, hal. 32.
[5] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.
[6] . Mulla Hadi Zabzawari, Syarh-e Manzumah, hal. 39, bagian metafisika khusus.
[7] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 268 dan 239.
[8] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.
[9] . Sadrul Muta’allihin, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 319.
[10] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bagian ketujuh. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal.312-319. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal.214.
[11] . Mir Sayyid Syarif Jurjany, Kitab al-Mantiq al-Kubra, hal. 170.
[12] . Nahjul Balaghah, khutbah 107.
[13] . Qs. Fathir: 8
[14] . Qs. Kahf: 104
[15] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal.239-240.
[16] .  Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 287-291 dan jilid ketiga, hal. 284-296.
[17] . Syahid Murtadha Muthahhari, Syarh-e Mukhtashar Manzumah, jilid pertama, hal. 53 dan 54.
[18] . Kategori hubungan adalah mesti terdapat dua sesuatu yang mandiri yang dihubungkan satu sama lain, sementara kategori emanasi adalah hanya terdapat satu realitas (seperti hubungan antara wujud dan manifestasi wujud).
[19] .Syaikh Kosyony,  Misbahul Hidayah wa Miftahul kifayah, hal. 56. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 291 dan jilid keenam, hal. 249.
[20] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 290 dan jilid ketiga, hal. 295, 297, 351.
[21] . Taqi Mishbah Yazdi, Omûzesy Falsafeh, jilid pertama, hal. 137.
[22] . Alfarabi, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52. Ibnu Arabi, Fushûshul Hikam, hal. 56 dan 57. Ibnu Sina, an-Najah,hal 374. Bahmanyar, at-Tahshil, hal. 291 dan 292.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Kemunculan Mazhab dalam Islam; Syiah dan Ahlusunnah wal Jamaah
Kidung di Senja Safar
Silaturahmi Hindari Benturan Sosial dan Gesekan Antarparpol
Perempuan Sebagai Pendidik
4. Doa Jawsyan Kabir
Apakah kisah fitnah dari arah timur (Najd) itu maksudnya adalah Irak dan Saudi Arabia?
Apakah boleh menonton film-film porno dengan maksud mempelajarinya guna memuaskan ...
Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Ukiran Cincin Rasulullah Saw dan Maksumin as
Akan terjadi kerusakan jika ada lebih dari satu Tuhan

 
user comment