Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, menjadi
jelaslah bahwa langkah pertama yang mendasar dalam
kajian-kajian epistemologi adalah penguraian
terperinci, mendetail, dan akurat atas persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan substansi dan
definisi pengetahuan. Dengan demikian, sebelum
menjelaskan dan memaparkan perkara-perkara ini,
pembahasan-pembahasan utama epistemologi dan rukun-
rukunnya tidak akan pernah menjadi jelas dan nyata.
Definisi Pengetahuan
Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang
hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang
dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan
dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini
meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi,
akidah, dan pikiran-pikiran. Dalam komunikasi
keseharian, kita sering menggunakan kalimat seperti,
“Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah
terbiasa menyelesaikan masalah itu”, “Saya
menginformasikan kejadian itu”, “Saya meyakini bahwa
masyarakat pasti mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi
menghadapi orang itu”, dan “Saya mempunyai pikiran-
pikiran baru dalam solusi persoalan itu”.
Ketika mengamati atau menilai suatu perkara, kita
biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya
mengetahuinya, saya memahaminya, saya mengenal,
meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini,
bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat
dan tingkatan. Disamping itu, bisa jadi hal tersebut
bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang
lainnya bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui
bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal keadaannya
dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah
memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang
yang sungguh-sungguh mengetahui realitas tersebut,
barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak
memahami permasalahan tersebut sebagaimana adanya.
Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan
persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan
kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam pikiran
dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana
reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita
dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan
pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang
hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud karena
terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek
(yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana
hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan. John Dewey
menyamakan antara hakikat itu sendiri dan pengetahuan
dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil
dan capaian dari suatu penelitian dan observasi.
Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari
hubungan dan jalinan ia dengan realitas-realitas yang
tetap dan yang senantiasa berubah.[1]
Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek
yang berbeda, antara lain:
Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini
mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-
pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh
seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan
dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan
seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya
terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan
ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya
sebagai dasar pembahasan.
Realitas yang terus berubah. Sangat mungkin
pengetahuan itu diasumsikan sebagai suatu realitas yang
senantiasa berubah dimana perolehan itu tidak pernah
berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara
khusus perkara- perkara yang beragam, kemudian ia
membandingkan perkara tersebut satu sama lain dan
memberikan pandangan atasnya, dengan demikian, ia
menyiapkan dirinya untuk mendapatkan pengetahuan-
pengetahuan baru yang lebih global.
Secara lahiriah, keberadaan kedua dimensi di atas
bersifat logis dan tak berpisah satu sama lain.
Pengetahuan itu tidak bisa dipandang sebagai suatu
realitas yang konstan, tetap, tak berubah, dan tak
hidup yang terdapat dalam ruang pikiran manusia, hal
ini disebabkan oleh kenyataan bahwa jiwa manusia itu
adalah tunggal dan satu, persentuhan manusia yang terus
menerus dengan objek-objek eksternal dan syarat-syarat
yang berbeda, aktivitas dan pengaruh potensi-potensi
akalnya, pembentukan konsepsi-konsepsi dan
perubahannya, sisi-sisi beragam dari pengalaman
manusia, perubahan terus menerus yang terjadi pada
aspek empirik manusia, dan perubahan kualitas persepsi
dan analisa pikiran atas objek.
Uraian tersebut di atas lebih mewakili perspektif-
perspektif Barat, dan berikut ini kami akan paparkan
gagasan-gagasan filosof Islam tentang definisi
pengetahuan. Namun, sebelum hal ini, kami akan singgung
sedikit tentang eksistensi pengetahuan itu sendiri.
Dikatakan bahwa wujud pengetahuan itu bersifat gamblang
dan fitri serta tidak membutuhkan pembuktikan secara
argumentatif, karena setiap pembuktian argumentatif
niscaya berpijak pada gabungan mukadimah, dan setiap
mukadimah (premis mayor dan minor) itu adalah
pengetahuan itu sendiri. Lebih ringkas dapat dikatakan
bahwa pengetahuan itu identik dengan eksistensi dan
keberadaan. Wujud itu sendiri tidak membutuhkan dalil
atas ke-wujud-annya, karena segala sesuatu yang
digunakan untuk menetapkannya tidak lain adalah wujud
itu sendiri, dengan demikian, penetapan wujud itu
sendiri adalah mustahil karena berujung pada lingkaran
setan atau akan berpuncak pada kontradiksi, yakni
ketika kita ingin menetapkan eksistensi ilmu itu dengan
suatu ilmu yang lain, maka sebelum membuktikan
“eksistensi ilmu” kita mesti membutuhkan ilmu lain
sebagai pendahuluan. Dengan demikian, kontradiksi
terjadi karena untuk menetapkan eksistensi pengetahuan
itu kita memerlukan ilmu lain sebagai mukadimahnya,
sementara pada saat yang sama kita ragu atas keberadaan
ilmu itu sendiri (termasuk ilmu sebagai mukadimahnya).
Jadi, sebagaimana wujud itu sendiri tidak bisa
ditetapkan dengan wujud yang lain, eksistensi ilmu dan
pengetahuan pun demikian halnya.
Di bawah ini terdapat tiga pendapat mengenai
pendefinisian pengetahuan, antara lain:
1. Pengetahuan itu tidak bisa didefinisikan, karena
pengetahuan itu bersifat gamblang dan aksiomatik. Dan
pendefinisian bagi perkara-perkara yang gamblang dan
aksiomatik adalah hal yang mustahil (yakni akan terjadi
daur atau lingkaran setan). Untuk menegaskan
kegamblangan ilmu dan pengetahuan itu bisa berpijak
pada beberapa hal:
Pengetahuan itu sendiri merupakan perkara-perkara
kejiwaan dan kefitraan. Dan Setiap perkara kefitraan
dan kejiwaan itu bersifat aksiomatik dan badihi.
Pengetahuan yang mutlak bersumber dari pengetahuan
yang khusus dan terbatas seperti pengetahuan manusia
pada wujudnya sendiri yang bersifat aksiomatik. Dan
pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang aksiomatik
adalah juga bersifat aksiomatik dan gamblang.
Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka
akan berkonsekuensi pada kemustahilan pengetahuan
manusia terhadap realitas bahwa “ia mengetahui
sesuatu”, yakni pengetahuan manusia itu sendiri
pertama-tama harus didefinisikan, barulah kemudian ia
memahami bahwa dirinya memiliki pengetahuan terhadap
sesuatu. Hal ini mustahil, karena keberadaan
pengetahuan bagi manusia adalah bersifat fitri dan
pengetahuan kepada perkara fitrawi ialah hal yang
mungkin, yakni tidak butuh kepada definisi sebelumnya.
Dengan demikian, ilmu manusia, tanpa pendefinisian
sebelumnya, kepada realitas bahwa “ia memahami sesuatu”
ialah bersifat mungkin. Pengetahuan manusia bahwa “ia
mengetahui sesuatu” adalah ilmu kepada “hubungan zatnya
dengan ilmu”, dan ilmu kepada “hubungan suatu perkara
kepada perkara lain” ialah bergantung atas ilmu pada
salah satu dari subjek dan predikatnya.[2]
2. Pengetahuan itu bisa didefinisikan, namun sangat
sulit.
3. Pengetahuan itu mudah didefinisikan.
Sesungguhnya definisi hakiki pengetahuan adalah hal
yang mustahil, karena pada hakikatnya pengetahuan itu
identik dengan eksistensi dan wujud, dan eksistensi –
sebagaimana diketahui dalam pembahasan ontologi –
secara hakiki adalah mustahil untuk didefinisikan.
Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka
sebenarnya bukanlah definisi yang hakiki. Dalam hal
ini, banyak definisi yang telah dilontarkan berkaitan
dengan pengetahuan ini, akan tetapi hanya beberapa yang
bisa mencakup segala cabang-cabang pengetahuan dan
bersifat komprehensif.
Di sini kami tidak akan menyebutkan semua definisi yang
telah digagas dan dirumuskan oleh para filosof dan
teolog muslim. Untuk lebih luasnya wawasan dalam
pembahasan definisi ilmu dan pengetahuan silahkan
merujuk pada kitab-kitab filsafat dalam bab
pengetahuan.
Di bawah ini kami hanya akan menyebutkan beberapa
definisi yang mayoritas diterima oleh kalangan filosof:
A. Pengetahuan adalah pencerminan objek eksternal dalam
pikiran
Dalam kitab klasik ilmu logika, pengetahuan itu
didefinisikan sebagai suatu gambaran objek-objek
eksternal yang hadir dalam pikiran manusia. Definisi
ini juga disepakati oleh sebelas orang filosof dan
ilmuwan Rusia.[3]
Akan tetapi, apabila kita mencermati definisi di atas,
maka definisi tersebut hanya mencakup llmu hushuli dan
tidak termasuk ilmu hudhuri, karena ilmu hudhuri
bukanlah suatu “gambaran” dan “refleksi” objek-objek
eksternal di alam pikiran.
Pengetahuan terbagi dua:
1. Ilmu hushuli, yakni suatu pengetahuan yang
dihasilkan dengan menggunakan media panca indera
sebagai perantara hubungan dengan alam eksternal dan
kehadiran gambaran objek-objek eksternal di alam
pikiran itu melalui fakultas-fakultas lahiriah. Dengan
ungkapan lain, ilmu hushuli adalah suatu ilmu yang
hanya berhubungan dengan konsepsi dan gambaran dari
objek-objek eksternal, seperti ilmu manusia kepada
maujud-maujud eksternal.
Dalam ilmu ini terdapat tiga hal yang prinsipil:
Subjek yang mengetahui yang bernama manusia;
Maujud-maujud eksternal dan hakiki (dimana dalam
istilah filsafat disebut dengan “objek pengetahuan yang
aksidental (ma’lum bil ‘aradh)”, yakni objek yang
diketahui secara aksidental);
Suatu konsepsi yang bernama gambaran pikiran
(dimana dalam istilah filsafat dikatakan sebagai “objek
pengetahuan yang esensial” (ma’lum bizzat), yakni objek
yang diketahui secara esensial).
2. Ilmu hudhuri, yakni suatu ilmu tidak membutuhkan
suatu media sebagai perantara, akan tetapi objek
pengetahuan itu sendiri (bukan gambaran dari objek itu)
yang hadir secara langsung dalam diri subjek. Apabila
dalam ilmu hushuli terdapat tiga perkara yang
fundamental, maka dalam ilmu hudhuri hanya ada dua hal
yang mendasar dan terkadang hanya satu hal. Yakni dalam
ilmu ini tidak ada “gambaran” dari objek ilmu.
Ilmu hudhuri terbagi dalam dua bagian:
Terkadang dalam ilmu hudhuri hanya terdapat dua
dimensi mendasar, seperti pengetahuan kita terhadap
gambaran pikiran kita sendiri, apabila kita mengetahui
objek-objek eksternal melalui gambaran pikiran sebagai
media perantara, maka gambaran pikiran itu sendiri
telah menjadi jelas bagi kita tanpa media perantara dan
pengenalan kita kepada gambaran pikiran kita sendiri
tak lagi melalui gambaran-gambaran yang lain, karena
kalau demikian, maka dalam pengenalan tersebut akan
hadir rangkaian gambaran-gambaran yang tak terbatas
jumlahnya. Oleh sebab itu, di sini hanya ada dua aspek
yaitu subjek yang mengetahui (‘âlim) dan objek
pengetahuan yang esensial (ma’lum bizzat) yang dalam
hal ini adalah gambaran pikiran itu sendiri;
Bentuk lain dari ilmu hudhuri adalah kesatuan dan
kemanunggalan antara ‘âlim (subjek yang mengetahui),
ma’lum bizzat (objek pengetahuan yang esensial), dan
‘ilm (pengetahuan), seperti ilmu kita terhadap diri
kita sendiri yang dalam filsafat dikatakan sebagai ‘ilm
al-insan bizatihi (ilmu manusia kepada zatnya sendiri)
[4]. Ilmu manusia seperti ini adalah bersumber dari
manusia itu sendiri dan pengetahuannya itu menyatu
dengan wujudnya sendiri, yakni manusia yang disamping
sebagai subjek yang mengatahui, ia juga sebagai objek
pengetahuan.
Dengan memperhatikan kedua ilmu ini, hushuli dan
hudhuri, menjadi jelaslah bahwa hanya bagian ilmu
hushuli saja yang tercakup dalam definisi tersebut di
atas. Dengan demikian, definisi tentang pengetahuan
tersebut tidaklah sempurna dan komprehensif sehingga
dapat meliputi semua cabang-cabang pengetahuan.
A. 1. Kategori kedua logikal bukan pencerminan langsung
objek eksternal dalam pikiran
Keberadaan kategori-kategori kedua logikal ini
meruntuhkan keuniversalan definisi tentang pengetahuan
tersebut. Dalam filsafat Islam, kategori-kategori itu
terbagi menjadi dua bagian, kategori pertama dan kedua.
Kategori pertama adalah pengenalan pertama manusia yang
lahir dari hubungan yang sederharna antara pikiran dan
alam eksternal, seperti persepsi benda-benda, warna-
warna, dan bentuk-bentuk. Kategori pertama ini
merupakan bentuk yang nyata dan langsung dari
pencerminan objek-objek eksternal di alam pikiran,
seperti penggambaran kita terhadap suatu kitab, pohon,
kertas, dan objek-objek partikular lainnya. Jenis
pengenalan lain yang berbeda dimana objek-objek
eksternal tidak tercermin secara nyata dan langsung di
alam pikiran dan melainkan membutuhkan aktivitas
berpikir seperti konsepsi-konsepsi universal, spesies,
genus, pengetahuan, dan konsepsi lain yang dibahas
dalam ilmu logika. Di sini, mustahil terdapat suatu
maujud eksternal bernama “universal”. Lahirnya konsepsi
universal di alam pikiran misalnya, itu bukan bersumber
secara langsung dari pencerminan objek-objek eksternal
(karena tidak terdapat objek eksternal dan hakiki
bernama universal yang darinya konsepsi universal itu
muncul di alam pikiran), melainkan berasal dari suatu
aktivitas fakultas indera berpikir manusia yang mampu
mencipta konsepsi-konsepsi tersebut. Alam eksternal
adalah alam partikular, dan konsepsi universal itu
apabila keluar dari alam pikiran manusia, maka akan
berubah menjadi realitas yang partikular. Sangat perlu
ditegaskan bahwa pikiran manusia apabila tidak
berhubungan dan terputus dengan alam eksternal, maka
akan mustahil menciptakan konsepsi-konsepsi tersebut,
akan tetapi, tidak bisa dikatakan bahwa konsepsi-
konsepsi tersebut hadir secara langsung dari objek-
objek eksternal di alam pikiran manusia.[5]
A. 2. Kategori-kategori kedua filsafat bukan
pencerminan langsung objek eksternal dalam pikiran
Jenis lain dari kategori-kategori yang kita miliki
adalah suatu kategori kedua filsafat dimana tidak
termasuk dalam domain dan ranah inderawi, seperti
konsepsi kebergantungan dan kemungkinan (imkân,
possibility) dan sesuatu (syai, thing). Kedua konsepsi
ini digunakan oleh manusia untuk menjelaskan realitas
eksternal, misalnya dikatakan: Ahmad adalah maujud
bergantung (mumkinul wujud), meja adalah sesuatu, dan
lain sebagainya. Di sini, predikat dalam proposisi itu
adalah sifat bagi subjek itu sendiri dan keduanya
menyatu di alam eksternal serta tidak berpisah satu
sama lain, sementara di alam pikiran terdapat dua hal
yang terpisah (Ahmad dan maujud bergantung) dan
keduanya memiliki konsepsi yang berbeda-beda dimana
kita kemudian mempredikasikan maujud bergantung itu
kepada Ahmad. Kita mustahil menemukan suatu individu
yang mandiri bernama “maujud bergantung”, pada saat
yang sama adalah benar kalau kita menjelaskan bahwa
Ahmad adalah maujud bergantung. Di sini, kita tidak
dapat menyatakan bahwa pengenalan kita terhadap Ahmad
sebagai mumkinul wujud adalah berasal dari pencerminan
langsung dari suatu objek eksternal, melainkan pikiran
kita dengan aktivitas khasnya mampu membagi segala
sesuatu itu menjadi tiga bagian {Wajibul Wujud (Wujud
Niscaya-Ada), mumkinul wujud (wujud mungkin-ada atau
wujud bergantung), dan mumtane’ul wujud (wujud
mustahil-ada)} dan menjelaskan segala sesuatu itu
dengan salah satu dari ketiga bagian dan sifat-sifat
ini.[6] Dengan demikian, mesti dikatakan bahwa tidak
setiap gambaran pikiran itu adalah pencerminan langsung
objek-objek eksternal, walaupun konsepsi-konsepsi dan
kategori-kategori kedua filsafat tersebut mustahil
terwujud tanpa adanya hubungan manusia dengan objek-
objek eksternal.
A. 3. Perkara-perkara ketiadaan dan kemustahilan bukan
merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal
Tidak diragukan bahwa kita memiliki perkara-perkara
yang bersifat ketiadaan dan kemustahilan seperti daur
(lingkaran setan) dan tasalsul (rangkaian tak
berbatas). Kemustahilan kedua hal ini adalah sangat
jelas dan telah dibuktikan dalam kitab logika dan
filsafat. Persoalannya adalah apakah pengenalan kita
terhadap daur dan tasalsul ini berasal dari pencerminan
sesuatu yang eksternal? Pada prinsipnya, tidak terdapat
objek eksternal yang bernama daur dan tasalsul sehingga
bisa tercermin dan terbias dalam pikiran.[7]
A. 4. Bilangan Matematika bukan pencerminan langsung
objek eksternal
Semua bilangan matematika bukan merupakan pencerminan
dari realitas eksternal, namun apa-apa yang terdapat di
alam luar hanyalah individu-individu bilangan dan bukan
bilangan itu sendiri, misalnya angka satu itu sendiri
tidak akan kita temukan di alam eksternal, yang ada
hanyalah satu kitab, satu pohon, satu lebah. Dengan
demikian, setiap pengenalan itu tidaklah mesti selalu
bersumber dari pencerminan dan pembiasan langsung dari
objek-objek eksternal, walaupun hal ini tidak bermakna
bahwa manusia tidak membutuhkan suatu hubungan antara
alam pikiran dan alam eksternal, karena apabila manusia
tidak berhubungan dengan alam eksternal melalui media
panca indera maka dia akan kehilangan banyak konsepsi-
konsepsi yang dihasilkan lewat media tersebut dan
mustahil pikiran bisa mengetahui, memahami, dan
menggambarkan ketiadaan-ketiadaan dan kemustahilan-
kemustahilan. Dalam filsafat Islam, proses pemahaman,
penggambaran, dan pencerapan pikiran terhadap
konsepsi-konsepsi universal, ketiadaan, dan
kemustahilan bersumber dari pengenalan-pengenalan
sebelumnya terhadap hal-hal yang berwujud dan bermateri
sedemikian sehingga dengan pengenalan tersebut akal
mampu menghadirkan dan menciptakan serta mempersepsi
konsepsi-konsepsi semacam itu.[8]
Dengan demikian, tidaklah mustahil bahwa terdapat suatu
konsepsi-konsepsi di alam pikiran manusia yang sama
sekali tidak mempunyai individu-individu di alam
eksternal, akan tetapi pada saat yang sama hubungan
manusia dengan alam eksternal adalah sebagai media
persiapan bagi penciptaan, perwujudan, dan kehadiran
konsepsi-konsepsi semacam itu di alam pikiran.[9]
B. Pengetahuan adalah sejenis kesatuan wujud antara
‘âqil (intelligent) dan ma’qûl (intellected)
Para pendukung definisi ini menyatakan, “Pencerminan
dan penggambaran semata-mata objek-objek eksternal di
alam pikiran tidak akan langsung dapat mewujudkan
pengetahuan, karena setiap kali gambaran-gambaran itu
terpantul di atas cermin pengetahuan, secara otomatik
cermin tersebut tidak bisa menangkap gambaran-gambaran
itu. Hal ini karena pengetahuan itu hanya akan
terbentuk ketika terdapat kesatuan dan kemanunggalan
antara penerima gambaran dan gambaran itu sendiri, yang
dalam istilah filsafat dikatakan kemanunggalan ‘âlim
dan ma’lûm bizzat (yakni gambaran pikiran atau obyek
pengetahuan esensial). Dan apabila tidak demikian, maka
setiap bentuk gambaran yang terpantul pada air, cermin,
dan pikiran adalah sama.[10]
Penyerupaan pikiran manusia dengan cermin tersebut
telah ada sejak lama sebagaimana yang tertulis dalam
kitab logika milik Mir Sayyid Syarif Jurjany yang
merupakan kitab-kitab awal dalam ilmu logika, di situ
tertera, “Pada manusia terdapat suatu fakultas
pengindera yang memantulkan gambaran-gambaran segala
sesuatu sebagaimana halnya cermin.”[11]
Penyerupaan antara cermin dan pikiran manusia
disebabkan terdapat kesamaan di antara keduanya,
seperti setiap warna yang dimiliki oleh cermin, maka
gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang ditampakkan oleh
cermin akan terwarnai sebagaimana warna yang
dimilikinya, namun apabila cermin itu tidak memiliki
warna, maka ia akan menampakkan gambar dan bentuk itu
sesuai dengan warna yang dimiliki oleh gambar dan
bentuk. Dan semakin tidak berwarna dan semakin bersih
cermin itu dari warna, maka penampakan realitas dan
segala sesuatu akan sebagaimana adanya.
Dimensi dan kenyataan ini sama seperti pikiran manusia,
yakni apabila pikiran manusia mempunyai “warna”, maka
ia akan melihat benda-benda itu sebagaimana “warna”
pikiran, akan tetapi, kalau pikiran manusia tidak
mempunyai “warna”, maka ia akan menunjukkan kepada
manusia hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana
adanya. Hal ini sebagaimana perkataan suci Imam Ali As
yang bersabda, “Ketika manusia telah larut dalam suatu
kecintaan maka dia akan sangat dipengaruhi olehnya
sedemikian sehingga dia tidak dapat melihat dan
memandang sesuatu itu sebagaimana mestinya, begitu pula
ketika dia hanyut dalam lautan kebencian dan kedengkian
sehingga mewarnai jiwanya maka dia pun tidak akan mampu
menilai realitas sebagaimana yang seharusnya, cinta
menampakkan keburukan itu menjadi sesuatu yang indah,
sebagaimana benci dan hasud akan memperlihatkan
keindahan itu sebagai realitas yang buruk.[12] Di dalam
al-Quran juga diungkapkan hal yang sama, Allah
berfirman, “Apakah orang yang pekerjaan buruknya dihias
indah (oleh setan) sehingga dia meyakini pekerjaan itu
baik, (sama dengan orang yang melihat realita
sebagaimana adanya)? Sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Maka janganlah dirimu
binasa karena sedih terhadap mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[13] Dan dalam
ayat yang lain difirmankan, “Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.”[14]
Dengan demikian, pengenalan dan pengetahuan hakiki
sangat menekankan kebersihan pikiran dan kesucian jiwa
dari segala bentuk “warna”, kekotoran, dan fanatisme
yang sebagaimana suatu cermin yang bersih dari warna
sehingga bisa memantulkan gambar dan bentuk secara
akurat, teliti, dan alami.
Namun, antara cermin dan pikiran juga memiliki
perbedaan, antara lain:
Cermin itu tidak bisa menampakkan aspek batin dan
makna sesuatu, yang ditunjukkan olehnya hanyalah
dimensi lahiriah seperti bentuk dan warna serta volume
manusia, akan tetapi apakah cermin itu akan bisa
menampakkan pengetahuan, kecintaan, dan emosi manusia?
Jawabannya ialah negatif, namun berbeda dengan pikiran
manusia yang juga bisa mengetahui makna-makna tersebut;
Cermin terkadang salah menampakkan realitas dan
sekaligus tidak mampu menunjukkan dimana letak
kesalahannya, misalnya terkadang cermin menunjukkan
sesuatu itu lebih besar atau lebih kecil dari yang
sesungguhnya, akan tetapi, pikiran manusia tidak hanya
bisa menunjukkan kesalahan hasil kontemplasinya
sendiri, melainkan juga mampu merekonstruksi dan
merumuskannya kembali;
Cermin hanya dapat menampakkan sesuatu yang lain
dan tidak bisa menunjukkan dirinya sendiri. Akan
tetapi, berbeda dengan pikiran manusia yang disamping
mampu menggambarkan realitas-realitas yang lain, ia
juga dapat menyadari akan kenyataan dirinya sendiri.
Pikiran manusia disamping memahami segala sesuatu di
luar dirinya ia pun mampu mengetahui keberadaan dan
hakikat dirinya sendiri;
Cermin hanya dapat memantulkan sesuatu yang berada
dihadapannya dan tak mampu menggeneralisasikannya,
sementara pikiran manusia selain mampu menangkap apa-
apa yang berada didepannya juga bisa memahami
realitas-realitas yang tak terbatas dan lebih dari itu
ia mempunyai kemampuan menggeneralisasikan segala
realitas yang diketahuinya itu;
Cermin hanya dapat memantulkan benda-benda fisik
yang terlihat, akan tetapi tidak bisa membiaskan hal-
hal yang terdengar, tercium, dan terasa;
Cermin merupakan benda materi dan fisikal,
sementara pikiran manusia adalah realitas yang nonfisik
dan nonmateri.
C. Pengetahuan adalah kehadiran realitas nonmateri pada
maujud yang juga nonmateri (jiwa)
Definisi pengetahuan adalah kehadiran sesuatu yang
bersifat nonmateri pada sesuatu yang nonmateri juga
(baca: jiwa). Allamah Thabathabai dalam kitab Nihayah
al-Hikmah menyatakan bahwa apa yang kita cerap melalui
persepsi-persepsi kita tidak lain adalah bentuk-bentuk
yang nonmateri dan pengetahuan hakiki kita adalah
realitas yang nonmateri itu, pada hakikatnya pencerapan
kita tidak berhubungan langsung dengan objek-objek
eksternal. Persepsi kita niscaya berkaitan dengan
bentuk-bentuk pengetahuan yang juga nonmateri. Dengan
demikian, persepsi-persepsi kita sendiri itu apabila
dihubungkan dengan benda-benda materi, misalnya
dikatakan: kita mengetahui buku ini, yakni pengetahuan
itu dikaitkan dengan buku itu, sementara pada
hakikatnya yang kita ketahui adalah bentuk-bentuk yang
nonmateri dari kitab dan bukan kitab itu sendiri
sebagai objek eksternal. Kitab yang ada di alam
eksternal yang disaksikan langsung oleh mata hanyalah
berfungsi sebagai pengkondisian untuk terciptanya
bentuk-bentuk nonmateri dari kitab itu yang kemudian
hadir pada jiwa manusia. Pada dasarnya, objek ilmu dan
pengetahuan kita bukanlah kitab eksternal itu,
melainkan bentuk-bentuk pengetahuan yang berhubungan
dengan alam nonmateri. Pengetahuan tidak lain adalah
emanasi dari alam nonmateri dan hadir di alam jiwa yang
juga nonmateri. Jadi, apabila kita katakan bahwa saya
sedang menyaksikan dan mengatahui benda-benda eksternal
tersebut, maka ungkapan ini hanyalah bersifat toleransi
saja.
Dengan demikian, apa-apa yang diketahui dan dipahami
itu adalah suatu perkara yang nonmateri dan subjek yang
mengetahui (‘âlim) juga mestilah maujud yang nonmateri.
Benda-benda materi tidak bisa mengetahui dan mencerap
hal-hal yang nonmateri dan bentuk-bentuk dan gambaran-
gambaran pengetahuan itu mestilah hadir di alam
nonmateri (jiwa). Maka dari itu, pengetahuan tersebut
adalah kehadiran realitas yang nonmateri di alam
nonmateri (jiwa) atau kehadiran sesuatu nonmateri pada
maujud nonmateri pula.[15] [16]
D. Pengetahuan adalah “keyakinan pasti” yang sesuai
dengan realitas eskternal
Kritikan atas definisi tersebut adalah bahwa tidak
meliputi perkara-perkara yang mustahil terwujud dan
konsepsi-konsepsi, karena hal-hal yang mustahil itu
tidak mempunyai eksistensi dan realitas eksternal yang
dapat diabstraksi oleh akal, begitu pula konsepsi-
konsepsi tersebut tidak tergolong sebagai keyakinan.
E. Pengetahuan adalah sesuatu yang menyatu dengan
perbuatan (dan sangat mungkin perbuatan yang terpancar
dari pengetahuan itu adalah lebih kuat dan lebih pasti)
Kerumitan definisi ini adalah karena tidak mencakup
ilmu dan pengetahuan yang tidak bersumber dari suatu
perbuatan atau pengetahuan yang sama sekali tidak
berhubungan dengan suatu perbuatan dan prilaku, seperti
pengetahuan manusia kepada dirinya sendiri, pengetahuan
kepada Tuhan Sang Pencipta, dan pengetahuan kepada
perkara-perkara yang tak berwujud.
F. Pengetahuan adalah hubungan khusus yang terwujud antara subjek (‘âlim) dan objek-objek eksternal (ma’lûm)
Sebagian teolog yang dipelopori oleh Abul Hasan Asy’ary menggagas definisi penngetahuan tersebut. Akan tetapi, pengertian suatu “hubungan” adalah terciptanya jalinan di antara dua sesuatu. Oleh karena itu, dengan berdasarkan kepada pengertian tersebut mustahil terwujud dan terciptanya hubungan dan jalinan di antara “yang berwujud” dan “yang tak berwujud” (tiada), karena “yang tak berwujud” itu adalah tiada dan tidak memiliki eksistensi sehingga dapat dijalin suatu hubungan.
Pada satu sisi, kita dapat mengetahui dan menggambarkan perkara-perkara yang sama sekali tidak berwujud di alam eksternal, seperti gambaran kita tentang manusia yang mempunyai empat kepala, sekutu hakiki Tuhan, dan yang lainnya. Dengan demikian, definisi tersebut di atas tidak sempurna dan tidak komprehensif.
G. Pengetahuan adalah kehadiran bayangan objek eksternal dalam pikiran
Sebagian beranggapan bahwa yang hadir di alam pikiran kita tidak lain adalah bayangan objek-objek eksternal itu sendiri dan bukanlah hakikat objek-objek tersebut, yakni sesuatu yang hadir di alam pikiran kita secara esensial dan hakiki berbeda dengan objek-objek eksternal, dan yang hadir itu hanyalah memiliki beberapa kesamaan dan kesesuaian dengan objek-objek eksternal serta hanya menunjukkan sebagian dari karakteristik-karakteristiknya.
Berdasarkan definisi tersebut, hubungan di antara konsepsi-konsepsi pikiran dan benda-benda eksternal adalah tidak bersifat nonesensial, melainkan sejenis hubungan gambar sesuatu dengan sesuatu itu sendiri, seperti penggambaran pikiran kita terhadap seekor kuda atau seperti suatu gambar yang tergores di atas dinding. Gambar seekor kambing di atas dinding tersusun dari gabungan warna-warna, oleh karena itu, pada hakikatnya gambar itu merupakan askiden, sementara seekor kambing yang hakiki adalah sejenis substansi bendawi. Akan tetapi dengan perbedaan esensial ini, gambar seekor kambing merupakan suatu cerita dan cermin dari seeokor kambing hakiki. Konsepsi kambing dalam pikiran kita juga merupakan perkara yang aksidental dan kategori kualitas rasional, maka dari itu, dari dimensi esensial berbeda dengan kambing yang hakiki dimana merupakan suatu kategori substansi (lawan dari aksiden).
Gagasan terhadap definisi tersebut banyak di anut oleh kaum materialisme yang kemudian berujung pada Sophisme yang mengingkari pengetahuan hakiki terhadap realitas-realitas dan objek-objek eksternal, karena apabila seluruh ilmu, persepsi, dan pengetahuan kita tidak sesuai secara esensial dengan objek-objek eksternal dan hanyalah merupakan banyangan dari objek-objek itu, maka apa-apa yang kita ketahui dan pahami adalah bayangan benda-benda eksternal dan bukanlah benda-benda eksternal itu sendiri, walhasil kita mustahil dapat mencerap dan menggapai perkara-perkara eksternal sebagaimana mestinya.
Perlu ditegaskan kembali bahwa satu-satunya jalur yang menghubungkan kita dengan objek-objek eksternal ialah konsepsi-konsepsi pikiran. Konsepsi-konsepsi pikiran kita terhadap gunung, daratan, laut, langit, manusia- manusia, dan benda-benda lain yang apabila tidak bersesuaian secara esensial dengan benda-benda eksternal, maka segala konsepsi pikiran kita adalah realitas yang lain yang berbeda dengan perkara-perkara eksternal. Jadi dalam hal ini, kita mustahil mengetahui dan memahami perkara-perkara luar, dan pada hakikatnya, kalau kita mempunyai “pengetahuan”, maka “pengetahuan” itu adalah kejahilan dan kebodohan, bukanlah ilmu dan pengetahuan yang hakiki dan sebagaimana adanya. Dengan demikian, kita akan terjebak ke dalam paham Sophisme.
Apabila kita menerima definisi tersebut, maka tidak terdapat lagi perbedaan antara pengetahuan dan sejenis kebodohan (yakni seseorang merasa mengetahui sesuatu padahal dia sesungguhnya tidak mengetahui). Jadi, Segala pengetahuan manusia merupakan sejenis kebodohan dan sama sekali tidak mempunyai nilai dan makna. Begitu pula, tak satupun dari pengetahuan dan persepsi manusia adalah sejenis penyingkapan dan pengungkapan dari suatu realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian, kita sama sekali tak memiliki pengetahuan terhadap objek-objek eksternal. Berkaitan dengan ini, filosof Iran, Murtadha Muthahhari, berkata, “Apabila yang terdapat di alam eksternal berbeda dan tidak bersesuaian secara esensial dengan pengetahuan dan konsepsi kita maka tidak terdapat satu pun argumen dan dalil yang dapat digunakan untuk menegaskan keberadaan objek-objek eksternal itu sendiri.”[17]
H. Pengetahuan adalah cahaya dan kehadiran
Sebagian beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan cahaya, karena maujud itu terbagi menjadi: cahaya dan bukan cahaya. Keberadaan maujud yang tak bercahaya membutuhkan maujud yang bercahaya. Cahaya secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan yang lain. Dengan demikian, apa yang secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan sesuatu bagi jiwa tidak lain adalah cahaya itu sendiri.
Akan tetapi, karena cahaya secara hakiki adalah wujud itu sendiri, dengan demikian, permasalahan mendasar pada definisi ini adalah bahwa karena pengetahuan itu terbagi ke dalam tashawwur (conception), tashdiq (judgement), universal, dan partikular, sementara wujud itu sendiri (yang disamakan dengan cahaya) – yang karena bukan suatu kategori hubungan, melainkan kategori emanasi[18] – tidak dapat dibagi sebagaimana pengetahuan, maka dari itu, definisi ini tidaklah sempurna dan komprehensif.[19]
I. Pengetahuan adalah wujud itu sendiri
Pengetahuan adalah wujud itu sendiri, karena selain hakikat wujud adalah ketiadaan, konsepsi, dan kuiditas. Ketiadaan adalah kegelapan mutlak dan kuiditas secara esensial adalah tak berwujud dan juga bukan tiada mutlak dimana akan menjadi ada karena wujud dan tanpa wujud kuiditas mustahil mengada. Dan segala sesuatu yang hadir pada ‘alim secara esensial adalah dengan media dan perantara wujud, sebagaimana segala sesuatu akan mengada dengan perantaraan wujud. Segala pengetahuan, seperti pengetahuan Tuhan, pengetahuan manusia, pengetahuan terhadap substansi, aksiden, dan konsepsi-konsepsi lain yang mempunyai lebih dari dua kategori filsafat adalah bukan dari jenis kuiditas (mahiyah), melainkan dari jenis wujud dan juga terabstraksi dari hakikat-hakikat. Dan wujud adalah suatu hakikat yang dimiliki sama oleh Tuhan dan selain-Nya. Mulla Sadra menyatakan bahwa ilmu dan pengetahuan ialah wujud murni yang tidak bercampur dengan sejenis ketiadaan, atau pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri.[20] Walhasil, hakikat pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri dan tetap (permanen), dan karena wujud materi itu senantiasa berubah maka dari itu tidak bisa dikatakan sebagai pengetahuan.
J. Pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim).
Apabila ingin diajukan suatu definisi yang lebih akurat dan teliti tentang pengetahuan dimana bisa mencakup seluruh bagian dan cabang pengetahuan, maka mestilah dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim). Dalam ilmu hushuli, kehadiran objek pengetahuannya di alam jiwa adalah tidak secara langsung atau mediated, melainkan hadir dalam bentuk dan gambaran dari objek eksternal. Sementara dalam ilmu hudhuri, kehadiran objek pengetahuannya adalah secara langsung atau immediate.
Definisi pengetahuan mestilah meliputi dan mencakup seluruh bagian pengetahuan seperti kehadiran objek ilmu itu sendiri, gambaran partikular, atau konsepsi universalnya dalam realitas jiwa dan pikiran yang nonmateri.[21] Definisi ini bisa mencakup ilmu hushuli dan hudhuri serta segala kategori rasional.
K. Pengetahuan adalah “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas.
Definisi lain yang berhubungan dengan pengetahuan dan makrifat dimana mayoritas diterima adalah “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas.[22] Definisi ini akan dikupas secara lebih luas dan terperinci karena lebih universal, lebih sempurna, dan lebih komprehensif serta mayoritas diterima oleh kalangan filosof dan urafa. Definisi ini lebih menyentuh pada wilayah makrifat dan pengetahuan hakiki, oleh karena itu, akan dijadikan sebagai landasan dan pijakan utama dalam penyusunan berbagai pembahasan dan pengkajian epistemologi pada makalah ini.
Referensi:
[1] . John Dewey, Philosophy of Education, hal. 14.
[2] . Mulla Sadra, Hikmah Muta’âliyah, jilid ketiga, hal 279. Dan Mafatihul Ghaib, hal, 99 dan 100.
[3] . Materialism Dialektik, hal. 317.
[4] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 236, 237 dan Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid ketiga, hal. 32.
[5] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.
[6] . Mulla Hadi Zabzawari, Syarh-e Manzumah, hal. 39, bagian metafisika khusus.
[7] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 268 dan 239.
[8] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.
[9] . Sadrul Muta’allihin, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 319.
[10] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bagian ketujuh. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal.312-319. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal.214.
[11] . Mir Sayyid Syarif Jurjany, Kitab al-Mantiq al-Kubra, hal. 170.
[12] . Nahjul Balaghah, khutbah 107.
[13] . Qs. Fathir: 8
[14] . Qs. Kahf: 104
[15] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal.239-240.
[16] . Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 287-291 dan jilid ketiga, hal. 284-296.
[17] . Syahid Murtadha Muthahhari, Syarh-e Mukhtashar Manzumah, jilid pertama, hal. 53 dan 54.
[18] . Kategori hubungan adalah mesti terdapat dua sesuatu yang mandiri yang dihubungkan satu sama lain, sementara kategori emanasi adalah hanya terdapat satu realitas (seperti hubungan antara wujud dan manifestasi wujud).
[19] .Syaikh Kosyony, Misbahul Hidayah wa Miftahul kifayah, hal. 56. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 291 dan jilid keenam, hal. 249.
[20] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 290 dan jilid ketiga, hal. 295, 297, 351.
[21] . Taqi Mishbah Yazdi, Omûzesy Falsafeh, jilid pertama, hal. 137.
[22] . Alfarabi, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52. Ibnu Arabi, Fushûshul Hikam, hal. 56 dan 57. Ibnu Sina, an-Najah,hal 374. Bahmanyar, at-Tahshil, hal. 291 dan 292.