Oleh: Ismail Amin
Sample ImageAda dua hadits yang menjadi dasar utama pemikiran Ahlus Sunnah. Hadits yang menyatakan, "… Maka barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ ar-Rasyidin setelahku, gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah …" dan hadist yang menyatakan, "Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunahku." Hadits ini sangat populer di kalangan mereka, bahkan dijadikan mukaddimah dari setiap khutbah-khutbah yang disampaikan. Karena saking seringnya hadits ini diperdengarkan dan diulang-ulang, maka sama sekali tidak terlintas dalam benak saya untuk meragukan keshahihannya ataupun berniat untuk memeriksa referensi aslinya. Kedua hadits ini pula yang saya jadikan alasan untuk terlibat jauh dalam pengajian-pengajian Ahlus Sunnah. Sampai kemudian saya menemukan hadits Rasulullah SAW yang mewasiatkan kepada kaum muslimin sepeninggalnya untuk berpegangan kepada kedua pusaka yang sangat berharga yakni Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya. Awalnya saya merasa tidak ada pertentangan antara keduanya, malahan kedua hadits ini bisa seiring sejalan dan menjadi pedoman hidup kaum muslimin.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, ada ketimpangan yang terjadi. Hadits "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah" justru lebih populer dibanding hadits "Berpegangan Kepada Al-Qur’an dan al-Itrah (Ahlul Bait)", bahkan ada usaha-usaha tersendiri untuk menenggelamkannya. Ahlul Bait atau al-Itrah Nabi sama sekali tidak mendapat perhatian serius dalam kajian-kajian keislaman bahkan dengan standar yang kurang jelas, setiap usaha yang memperkenalkan Ahlul Bait di tengah-tengah masyarakat muslim disebut sebagai usaha orang-orang Syiah untuk merusak aqidah masyarakat muslim Indonesia yang katanya beraqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegangan hanya kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tulisan ini saya ajukan untuk kita sama-sama berpikir jernih dan mengkaji secara lebih adil apakah ada kontradiksi antara as-Sunnah dengan Ahlul Bait, sehingga wasiat Rasulullah SAW untuk berpegangan kepada Ahlul Bait setelah Al-Qur’an tidak mendapat perhatian dan kajian yang layak sebagaimana hadits "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah".
Tinjauan Dari Segi Sanad
Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan "itrah Ahlul Baitku"." Merupakan hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh kitab-kitab Ahlus Sunnah dan Syiah, dan tidak seorangpun ulama dari kedua kelompok ini yang menyelisihinya. Sedangkan hadits "Berpegangan kepada kitab Allah dan Sunnahku" dan hadits "Kamu harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa Rasyidin…" hanya terdapat dalam kitab hadits Ahlus Sunnah dan tidak satupun dari kitab Syiah yang menukilnya. Sebenarnya dari sisi ini sudah mulai tampak kekurangan kedua hadits ini. Terlebih lagi jika kita sedikit bersusah payah meninjau hadits ini dengan melihat ke dalam ilmu hadits dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil, niscaya akan tampak kebohongan kedua hadits ini yang sengaja dibuat untuk menandingi kepamungkasan dua pusaka Rasul, Al-Qur’an dan Itrah Ahlul Baitnya.
Sesungguhnya kesulitan pertama untuk menyebut hadits "…kamu harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin" termasuk sebagai hadits shahih ialah Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab shahih mereka. Karena tolok ukur sesahih-sahihnya sebuah hadits adalah minimal diriwayatkan salah satu dari keduanya. Diriwayatkan oleh Bukhari saja, atau diriwayatkan oleh Muslim saja atau memenuhi syarat keduanya, jika diriwayatkan oleh keduanya maka dianggap tidak ada keraguan akan kesahihan hadits tersebut. Dan keutamaan ini tidak dimiliki oleh hadits ini. Hadits ini hanya terdapat di dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Turmidzi dan Sunan Ibnu Majah.
Dalam pandangan para ulama ilmu al-jarh wa at-ta’dil yakni mereka yang meneliti biografi orang-orang yang meriwayatkan hadits maka perawi hadits ini tidak lolos dari kelemahan. Turmidzi telah meriwayatkan hadits ini dari Bughyah bin Walid. Dan inilah pandangan para ulama ilmu al-jarh wa at-ta’dil tentang Bughyah bin Walid.
Ibnu Jauzi berkata tentangnya, "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul (tidak dikenal) dan orang-orang yang lemah. Mungkin saja dia tidak tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya." (Al-Mawdhu’at, Ibnu Jauzi, jlid I, hal 109).
Ibnu Hibban berkata, "Tidak bisa berhujjah dengan Bughyah. Dia seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka." (Al-Mawdhu’at, Ibnu Jauzi Jilid I hal 151 dan 218).
Dan ucapan-ucapan lainnya seperti Abu Ishaq al-Jaujazani dalam Khulashah ‘Abaqat al-Anwar, Jilid 2, hal 350 dan para huffadz lainnya. Dan apa yang telah dinukilkan ini telah cukup.
Sedangkan sanad pada Sunan Abu Dawud salah seorang perawi hadits ini adalah Walid bin Muslim yang adz-Dzahabi berkata tentangnya, "Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu dan mungkin telah menyembunyikan cacat para pendusta." (Mizan al-I’tidal, jilid 4 hal 347). Sanad hadits pada Sunan Ibnu Majah diriwayatkan melalui tiga jalan dan hadits ini disebut sebagai hadits ahad. Seluruh riwayat hadits ini kembali kepada seorang sahabat Urvadh bin Sariyah. Meskipun pada beberapa hal hadits ahad bisa digunakan sebagai hujjah namun jika kita melihat matan hadits ini, maka sulit menalar Rasulullah SAW menyampaikan pesan yang sedemikian penting ini hanya kepada seorang sahabat sementara ini sangat berkaitan erat dengan masa depan kaum muslimin sepeninggal beliau.
Derajat hadits kedua yang berbunyi, "Aku tinggalkan dua perkara padamu yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya." lebih lemah lagi untuk kita diskusikan. Kalau hadits yang pertama masih terdapat dalam salah satu kitab shahih yang enam di kalangan Ahlus Sunnah namun hadits ini sama sekali tidak terdapat dalam kitab-kitab shahih dan musnad mereka. Kalau kita melihat sikap mereka yang begitu sangat meagung-agungkan dan mengandalkan hadits ini pada saat mereka mendakwahkan aqidah mereka maka kita akan merasa yakin bahwa hadits ini termasuk hadits yang sangat shahih dan terdapat dalam kitab-kitab shahih terutama shahih Bukhari-Muslim; padahal kenyataannya hadits ini sama sekali tidak terdapat pada Kutubussuttah. Sumber-sumber yang pertama yang menyebutkan hadits ini diantaranya kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan ash-Shawa’iq Ibnu Hajar. Dalam kitab ash-Shawa’iq dan Sirah Ibnu Hisyam riwayat hadits ini mursal (terpotong). Dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik lebih konyol lagi, sebab hadits ini khabar marfu’ yang tidak ada sanadnya. Kalau hadits ini benar-benar shahih mengapa hanya Imam Malik yang meriwayatkannya sementara gurunya Abu Hanifah atau muridnya Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal tidak meriwayatkannya. Al-Hakim juga mengeluarkan hadits ini di dalam mustadraknya jilid I hal 93. Argumen yang bisa digunakan untuk menetapkan kedhaifan hadits ini adalah tidak satupun kitab yang lebih tua dari kitab-kitab ini yang telah meriwayatkan hadits tersebut. Hadits ini baru muncul pada pertengahan abad kelima hijriyah, sementara hadits "Kitab Allah dan Itrah Ahlul Baitku" telah ada pada abad kedua hijriyah sebagaimana telah diriwayatkan Imam Muslim.
Hadits as-Sunnah dan Tinjauan Sejarah
Adapun kenyataan sejarah mendustakan hadits ini. Perjalanan sejarah menyodorkan realita yang justru berbeda dan bertolakbelakang. Bagaimana mungkin Rasulullah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada as-Sunnah sementara banyak hadits yang berasal dari jalur Ahlus Sunnah sendiri yang menyebutkan Rasulullah SAW melarang penulisan hadits. Ahmad, Muslim, Turmidzi dan Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudzri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu menulis sesuatu dariku. Barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an maka hendaknya dia menghapusnya.".
Karenanya ketiga khalifah, Abu Bakar, Umar dan Usman bin Affan diriwayatkan telah melakukan pembakaran dan penghapusan catatan-catatan hadits dengan menjadikan hadits di atas sebagai dalih. Khalifah Abu Bakar membakar lima ratus hadits pada masa kekhalifaannya (Kanz al-‘Ummal Jilid I hal 237-239), Umar bin Khattab memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri pada masa kekhalifaannya, bahwa barang siapa yang telah menulis hadits maka dia harus menghapusnya (Musnad Ahmad. Jilid 3, hal 12-14) dan Usman bin Affan pun melakukan hal yang sama (Kanz al-‘Ummal, jilid 10 hal 295). Inilah kenyataan yang ditemukan oleh para peneliti sejarah. Lalu jika keislaman kita dilandaskan pada hadits "Berpegang teguh kepada kitab Allah dan as-Sunnah" kita akan bertanya, sunnah yang mana ?. Jawabannya tentu saja sunnah nabi, namun yang diriwayatkan oleh siapa ?. Menurut mereka sunnah tentu saja sunnah yang diriwayatkan sahabat-sahabat nabi ?. Sahabat yang mana, bukankah jumlah mereka mencapai ribuan orang ?. Lantas bagaimana generasi Islam awal menerapkan wasiat Rasul ini ?. Sebagai pemisalan, seseorang yang baru masuk Islam di zaman sahabat dan ingin berpegang teguh dengan sunnah nabi, bagaimanakah dia mengetahui semua sunnah nabi ? apakah dia harus mencari semua sahabat yang tersebar di berbagai negeri dengan kedudukan dan kesibukan yang berbeda-beda, ada yang sebagai khalifah, gubernur ada pula hanya sebagai pasukan atau gembala ?. Kalau hanya merujuk pada sahabat yang ditemui itu tidaklah cukup sebab bisa saja hadits yang telah diriwayatkan sahabat tersebut telah dimansukh (dibatalkan) atau ada kemungkinan pengkhusus (mukhashshish) dan pembatas (muqayyid) yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain.
Umat Islam sepakat, sunnah belum dibukukan pada masa Rasulullah SAW sampai satu abad setengah dari wafat beliau. Lantas bagaimana Rasulullah mewasiatkan untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as-Sunnah ?.
Hadits untuk berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin lebih membingungkan lagi. Mengapa sewaktu Rasulullah SAW menyampaikan hadits ini tidak satupun dari sahabat yang bertanya siapakah yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang dimaksud Rasulullah SAW, sementara para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan sangat menginginkan keselamatan ?. Lalu atas dasar apapula Khulafaur Rasyidin hanya dibatasi empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Imam Ali) bahkan ditambah dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dan siapa yang menetapkan mereka sebagai Khulafaur Rasyidin sementara tidak ada petunjuk apapun dari Rasulullah tentang itu? mengapa pula Muawiyah tidak termasuk di dalamnya sementara dia juga katanya adalah salah seorang sahabat Rasul yang mulia, yang mendapat petunjuk dan memberi petunjuk ?. Bagaimana pula kita mengkaitkan hadits ini dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah berjumlah dua belas dan seluruhnya dari bani Qurays (Bukhari-Muslim). Karenanya tidak butuh kerja akal yang ekstra untuk memahami bahwa kedua hadits ini sengaja diada-adakan sebagai tandingan hadits "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan al-Itrah Ahlul Bait nabi." Usaha-usaha untuk menggembosi peran Ahlul Bait sebagai sumber rujukan dan referensi utama ajaran Islam setelah al-Qur’an memang tampak jelas, terutama jika kita meninjau ulang tragedi-tragedi yang menimpa Ahlul Bait yang susul menyusul paska wafatnya Rasulullah SAW.
Berpegangan Kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait
Rasulullah SAW mewasiatkan kepada seluruh kaum muslimin di masa beliau dan kaum muslimin sepeninggalnya untuk berpegang teguh kepada ‘Ats-Tsaqolain’ (Dua pusaka yang berharga dan agung) yakni Al-Quran dan Ahlul Bait (al-Itrah) dan kedudukan hadits ini lebih utama dari kedua hadits yang telah kita kaji di atas. Pertanyaannya sekarang, masihkah saudara kita Ahlusunah bersikeras untuk lebih mengutamakan hadits berpegangan teguh terhadap "al-Quran dan as-Sunnah" yang hadis itu tidak terdapat dalam Kutubussuttah, dan tidak mengindahkan wasiat Rasul untuk berpegangan terhadap "al-Quran dan al-Ithrah" yang hadisnya mutawatir dan shohih yang terdapat dalam beberapa Kutubussittah, kitab-kitab standart saudara Ahlus Sunnah sendiri?. Kalaupun dikatakan diantara kedua hadits Rasul ini tidak ada kontradiksi, dikotomi dan pertentangan lalu mengapa mereka lebih mengutamakan salah satunya di atas yang lain ?. Yang anehnya, mereka justru lebih mengutamakan yang derajat haditsnya lebih rendah tanpa melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap hadits yang lebih utama derajatnya "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait". Kalau mereka menyatakan hadits-hadits dalam Shahih Bukhari-Muslim adalah hadist-hadits shahih dari Rasulullah yang wajib diikuti dan harus berpegang teguh atasnya, sebagai Ahlus Sunnah sejati (sebagaimana pengakuan mereka), kita mau lihat bagaimanakah cara mereka menerapkan hadits Rasulullah untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait dalam kehidupan keseharian mereka. Dalam pandangan kami, hadits "Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah" tidaklah bertentangan jika yang dimaksud Sunnah nabi adalah sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan Ahlul Bait nabi, sebab merekalah yang lebih dekat dengan Rasulullah di dalam rumah, disetiap tempat dan di banyak waktu "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui." (Qs. Al-Ahzab : 34). Dan hadits "Berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin" dapat pula dijadikan pegangan jika yang dimaksud Khulafaur Rasyidin adalah Khalifah yang dua belas yang kesemuanya berasal dari Keturunan Rasulullah SAW, yakni khalifah yang benar-benar mendapat petunjuk dan memberi petunjuk, "Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu." (Qs. An-Nisa’ : 59). Sebagaimana nubuat Rasulullah SAW khalifah terakhir (yang ke-12) akan muncul di akhir zaman untuk menciptakan keadilan di muka bumi adalah dari keturunan mulia beliau. Yakni Imam Mahdi afz yang kita nanti-nantikan kemunculannya. Dengan persepsi seperti ini maka tidak ada pertentangan antara hadits-hadits tersebut. Dan menurut saya inilah yang lebih selamat dan lebih sesuai dengan manhaj Rasulullah SAW.
Wallahu ‘alam bishshawaab