Apakah dasar-dasar filsafat penantian Imam Mahdi (Mahdawiyah)?
Dasar-dasar falsafah mahdawiyah (penantian Imam Mahdi) dapat dilihat dari dua sisi; dari sisi illat gha’i (sebab akhir) dan dari sisi illat fa’ili (sebab pelaku). Yakni, dari satu sisi tujuan adanya penciptaan dan kemustahilan menafikan tujuan keharusan adanya kehadiran insan sempurna. Dan manusia sempurna itu merupakan matarantai illat gha’i (sebab akhir) penciptaan alam semesta ini. Dari sisi lain jika dilihat dari sudut illat fa’ili (sebab pelaku) harus dikatakan bahwa sinkhiyyah (kesesuaian) antara illat dan ma’lul (sebab dan akibat) meniscayakan bahwa illat pertama alam semesta mesti satu dari semua sisinya, artinya tidak ada sisi katsrat (keragaman) padanya. Dan juga ma’lul-ma’lul alam yang bersifat mutakatsirah (banyak dan beragam) menuntut adanya sisi wahdat (kesatuan, kesesuaian), artinya dari satu sisi mereka (ma’lul-ma’lul) tersebut memiliki hubungan erat dengan wahdatul kul (kesatuan universal) dan dari sisi lain memiliki kesesuaian dan keserasian dengan alam katsrat (alam ciptaan). Dan hal ini hanya bisa terealisasi pada alam nafs (alam ruh, malakut), yaitu nafs dan ruh manusia sempurna yang dapat menerima alam katsrat (alam semesta). Dan manusia sempurna adalah Nabi Muhammad Saw dan para Imam suci Ahlulbait As.
Dasar-dasar filsafat penantian Imam Mahdi (Mahdiisme) dapat dikaji dalam dua sisi: Sisi pertama adalah sisi sebab tujuan dan sisi kedua adalah sisi sebab pelaku.
1. Manusia sempurna dan kedudukannya pada matarantai sebab-sebab tujuan.
Hikmah, sebab akhir dan tujuan Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini adalah manusia sempurna. Tujuan ini terjelma dan terealisasi dalam wujud empat belas manusia suci As. Oleh karena itu dia (insan kamil) merupakan penguasa dan khalifah Tuhan di atas muka bumi ini. Dengan tujuan ini, para filosof Islam meneliti sebuah permasalahan tentang wali sempurna dan kehadiran khalifah Allah Swt di atas bumi ini yang mereka kaji berasaskan dasar-dasar dan dalil-dalil rasional.
Filosof ternama; Abu Ali Sina dalam kitabnya “Al-Syifâ” -dalam sebuah pasal- telah membahas sebuah tema yang berkaitan dengan masalah imam dan khalifah. Pada pasal tersebut beliau juga membahas tentang kedudukan, derajat spiritual, moralitas dan amal perbuatan seorang manusia sempurna. Dia berkata:[1] “Barang siapa yang berhasil menyandang sifat-sifat kenabian, maka dia menjadi “tuhan pengatur manusia,” menjabat sebagai penguasa dan menjadi khalifah Allah di muka bumi.[2]
Dalam filsafat Iluminasi (Isyraq), telah dibahas permasalahan imam, khalifah dan pemimpin masyarakat, demikian juga masalah ghaibah. Syihabuddin Sahruwardi, filosof mazhab Iluminasi (Syaikh Isyraq), dalam bukunya “Hikmatul Isyrâq” mengutarakan pembahasan imam, pemimpin umat dan pembagiannya serta tokoh pemimpin umat. Sesuai dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar filsafat iluminasinya ia menjelaskan syarat-syarat seseorang yang dapat menjadi ketua, pemimpin dan pembina masyarakat. Mengenai hal ini ia berkata: “Dunia tidak akan pernah kosong dari hikmah (ilmu yang sempurna) dan dari keberadaan seseorang yang memiliki hikmah, hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan. Orang semacam ini adalah khalifah Allah di muka bumi, dan akan tetap seperti itu selama langit masih tetap kokoh. Oleh karena itu, pada setiap masa terdapat seseorang yang sampai kepada tingkatan dimana Tuhan menjadikannya sebagai contoh sempurna dalam ilmu dan amal perbuatan. Kepemimpinan masyarakat berada di tangannya dan dia adalah khalifah Tuhan di bumi dan bumi tidak akan pernah kosong dari orang-orang semacam ini. Ketika kami katakan bahwa kepemimpinan umat berada di tangannya, maksudnya adalah bukan berarti pemerintahan Ilahi itu nampak secara lahir. Akan tetapi pada suatu masa seorang pemimpin yang menyandang sifat-sifat Ilahi itu berhasil membentuk sebuah pemerintahan, dapat berkuasa dengan jelas dan dapat menembus ke segenap lapisan umat. Dan pada masa lainnya ia hidup secara rahasia dan tidak nampak dalam pandangan manusia (gaibah). Masyarakat menyebut imam tersebut dengan panggilan “Qutbu Zamân” (poros zaman) “Wali Asr” (pemimpin masa). Kepemimpinan umat berada di tangannya, walaupun belum nampak tanda-tanda itu padanya. Yang pasti jika pemimpin ini muncul dan berada pada puncak kepemimpinan, maka seluruh penjuru dunia akan menjadi terang bercahaya.[3]
Allamah Thabathaba’i dalam Risâlah Wilâyah menulis: "Wilayah adalah sebuah derajat kesempurnaan sejati yang paling akhir bagi manusia. Wilayah merupakan tujuan akhir pen-syariatan ajaran hak Ilahi. "[4]
Beliau dalam kitab tafsir al-Mizân menuturkan: "Wilâyah, walaupun telah disebutkan mempunyai banyak arti, namun artinya yang asli adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi antara dua hal, sehingga sesuatu yang bukan dari keduanya itu tidak lagi tersisa." [5]
Para filosof Ikhwan As-shafa juga -dalam filsafat mereka- menaruh perhatian serius terhadap masalah Mahdisme. Dan mereka juga meyakini prihal “Ghaibah dan Dzuhur” Imam Mahdi Ajf. Mereka meyakini bahwa Imam Mahdi akan menguasai dunia dan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.
Imam Mahdi As memiliki dua masa kepemimpinan: masa kasyf (zhuhur, nampak) dan masa satr (gaib, tersembunyi). Pada masa kasyf, kekuasaan beliau akan nampak jelas di tengah-tengah umat. Dan pada masa satr, beliau berkuasa di balik tabir yang tidak nampak secara langsung bagi umat. Hal itu terjadi bukan karena beliau takut. Hanya para wakil beliaulah yang mengetahui tempat kediaman beliau. Dan setiap kali mereka mempunyai urusan dengannya, mereka pergi untuk menjumpainya. Karena jika tidak demikian, maka dunia ini akan kosong dari seorang hujjah (khalifah) Allah Swt. Sementara Allah Swt tidak pernah membiarkan umat ini hidup tanpa seorang hujjah dan imam pilihan-Nya. Para imam maksum As adalah sebagai tali penghubung yang tidak pernah terputus antara makhluk dan Khalik. Mereka laksana paku-paku bumi dan para khalifatullah yang sejati baik pada masa kasyf maupun pada masa satr. Siapa saja yang mati dan tidak mengenal imam zamannya, maka dia dianggap mati seperti orang-orang Jahiliyah.[6]
Sebagian ulama Islam berkata: “Sesungguhnya tujuan penciptaan manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan yaitu berhubungan dengan wujud paling paripurna, dan wujud paripurna hanyalah Allah Swt semata. Sudah pasti bahwa tujuan ini dapat terealisasi pada sebagian manusia. Karena jika tidak, maka hal ini akan menafikan tujuan utama penciptaan yang melazimkan kelemahan dan kebodohan Tuhan Yang Maha Haq, dan hal itu sesuatu yang mustahil. Sebagian manusia yang telah mencapai puncak kesempurnaan itu adalah 14 manusia suci.[7] Yakni berdasarkan illat akhir dari tujuan penciptaan alam ini adalah manusia sempurna tersebut.
2. Manusia Sempurna dan kedudukannya pada matarantai illat pelaku
Dari sisi sebab pelaku (illat fâ’iliyah) dapat dikatakan bahwa: sinkhiyyah (keserasian) antara sebab dan akibat itu menuntut terwujudnya sisi wahdat (kesatuan) di antara sebab pertama (Pencipta alam semesta yang Esa dari seluruh sisi-Nya dan sama sekali tidak terdapat sisi katsrat pada-Nya) dan akibat-akibat alam yang mempunyai sisi katsrat. Yakni -dari satu sisi- hubungan itu terjadi dengan wahdatulkull (esa secara mutlak) dan dari sisi lainnya harus sesuai dengan alam katsrat. Dan hal ini hanya dapat terwujud pada alam malakut (alam ruh). Ruh suatu wujud itu memiliki dua sisi; pada sisi dzatnya ia berasal dari alam materi, dan pada maqam kesempurnaannya ia berasal dari alam malakut. Akan tetapi tidak setiap ruh itu dapat mencapai maqam kesempurnaan. Hanyalah manusia sempurna (yang mampu menembus ke seluruh alam katsrat) yang dapat mencapainya. Mereka adalah Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.[8]
Dengan demikian, jika tidak ada ruh (nafs) Nabi Saw, maka sisi kesatuan alam tidak akan terjadi dan ketika itu, sisi katsrat pun tidak mungkin terwujud.
Almarhum Sayyid Haidar Amuli dalam bukunya; Jâmi al-Asrâr berkata:[9]
“Pandangan Allah adalah manusia sempurna dimana Allah Swt memandang alam semesta ini dengan pandangannya sebagaimana Dia berfirman, Laulaka (Sekiranya bukan karenamu). Yakni seorang manusia sempurna pada maqam kesempurnaannya telah mencapai maqam washl (puncak kesempurnaan insani). Dan Tuhan mengatur alam semesta ini dengan perantara sebab-sebab tertentu, yaitu melalui manusia sempurna (insan kamil).[10]
Pada tempat lainnya beliau berkata bahwa kaidah filsafat, "al-wâhid lâ yashdûr 'anhu illa al-wâhid atau illa min al-wâhid." [11]
Kaidah ini merupakan kaidah filsafat yang gamblang dan merupakan bagian dari kaidah sinkhiyyah (keserasian) antara illat (sebab) dan ma’lul (akibat). Hal ini dapat dipahami bahwa di antara kita dan Tuhan harus ada perantara dalam urusan ciptaan, anugerah, kesempurnaan, terpenuhinya hajat, dan sebagainya. Para filosof menyebut sarana-sarana tersebut dengan istilah “uqul al-muqaddasah” (akal-akal suci). Kelompok filosof Masysyai’ (Peripatik) meyakini bahwa jumlah uqul itu ada sepuluh. Sementara kelompok Isyraq (Iluminasi) meyakini -tanpa argumen- bahwa mereka itu sangat banyak jumlahnya dan bahkan tidak terbatas.[12]
Dengan uraian itu, maka ungkapan beberapa kalimat petikan dari doa ziarah Jâmi’ah Kabirah di bawah ini akan menjadi jelas maksudnya.
"Dengan perantara kalian Allah membuka (memulai) dunia ini dan dengan perantara kalian Dia menutup (menuntaskan) ciptaan-Nya dan dengan perantara kalian Allah menurunkan hujan dan dengan perantara kalian Dia menahan langit untuk tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izin-Nya dan dengan perantara kalian Dia menghapus kesedihan, mengangkat kesengsaraan dan pada diri kalian terdapat rahasia-rahasia penurunan para rasul dan para malaikat." [13]
Di akhir pembahasan ini kami tutup dengan sebuah ungkapan suci dari Imam Khomeini Ra: “Tujuan penciptaan manusia adalah alam ghaib secara mutlak, sebagaimana tercantum di dalam hadis qudsi:
“Wahai anak Adam segala sesuatu itu Aku ciptakan karenamu, dan engkau aku ciptakan hanya untuk-Ku.”
Dan firman Allah dalam Al-Qur’an yang mulia yang ditujukan kepada Nabi Musa bin Imran As, “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku” (Qs. Thaha [20]:41)
Juga firman-Nya: “Dan Aku telah memilihmu” (Qs. Thaha [20]:13)
Oleh karena itu manusia diciptakan “liajliLlah" (hanya untuk Allah semata). Dan dari sekian banyak makhluk ia adalah pilihan-Nya. Tujuan perjalanannya adalah sampai pada pintu Allah, fana dalam dzat-Nya dan menetap pada kefanaan Allah Swt (baqa ba'da fana). Dan akhirnya adalah kepada Allah, dari Allah, dalam Allah dan dengan Allah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali.” (Qs. Al-Ghasyiah [88]:2)
Sementara makhluk-makhluk lainnya kembali kepada Yang Haq melalui manusia suci. Bahkan tempat kembali mereka kepada manusia suci. Hal itu sebagaimana tersebut di dalam doa ziarah Jâmiah, bahwa, “Dan kembalinya seluruh makhluk itu kepadamu dan penghisaban mereka kepada kalian”. Dan selaras dengan apa telah disinggung di atas, "bikum fatahaLlah wa bikum yakhtim, (Dengan perantara kalian Allah membuka [memulai] dunia ini dan dengan perantara kalian Dia menuntaskan ciptaannya).
Ketika dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa: “Sesungguhnya kepada kamilah mereka kembali dan kemudian sesungguhnya kewajiban kamilah menghisab mereka” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:25-26) dan dalam doa ziarah Jamiah dikatakan, “Dan kembalinya mereka kepada kalian dan penghisaban mereka pada kalian” pada hakikatnya menegaskan sebuah rahasia dari rahasia-rahasia tauhid. Demikian juga mengisyaratkan bahwa kembali kepada manusia sempurna adalah sama dengan kembali kepada Allah Swt. Karena manusia sempurna itu telah mencapai kefanaan mutlak dan tetap (baqa’) dengan tetapnya Allah Swt. Ta’ayyun (entifikasi), inniyat (keakuan) dan ananiyah (ego) tidak mendapat tempat dalam diri insan kamil. Mereka sebagai asmâ al-husna Allah dan ismul a’zhâm-Nya. Dan makna ini telah banyak diisyaratkan di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis mulia.[14][]
Daftar pustaka untuk telaah lebih jeluk:
1. Syifâ, Ilahiyat, makalah 10, (tentang Khalifah dan Imam)
2. Qabasât, cetakan baru, hal. 397.
3. Hikmate Isyrâq, jilid 2, hal. 11-12.
4. Syarhe Hikmate Isyrâq, hal. 23-24.
5. Târikhe Falsafeh dar Jahâne Islâmi, hal. 207-208.
6. Hakimi, Muhammad Ridho, Khursyide Magrib, hal. 152-158.
[1] Al-Syifâ, hal. 455, pasal 5
[2] Dalam kitab Syarah Manzhumah ungkapan redaksi Abu Ali (Sina) tertulis semacam demikian:
: "و رؤوس هذه الفضائل عفّة و حكمة و شجاعة و مجموعها العدالة و هي خارجة عن الفضيلة النظرية. و من اجتمعت له معها الحكمة النظرية فقد سعد و من فاز مع ذلك بالخواص النبوية كاد أن يصير ربّا إنسانيّا و كاد أن تحلّ عبادته بعد اللّه تعالى و أن تفوّض إليه أمور عباد اللّه و هو سلطان العالم الأرضي و خليفة اللّه فيه"؛
"Dan puncak keutamaan-keutamaan ini adalah kesederhanaan, hikmah dan keberanian dan kemajemukan dari semuanya ini adalah keadilan dan keadilan adalah di luar dari pada keutamaan teoritis dan barang siapa yang di dalam dirinya terkumpul hikmah teoritis (nazhari) maka termasuk orang-orang yang beruntung dan siapa saja yang beruntung mensifati dirinya dengan sifat kenabian dia dapat menjadikan dirinya sebagai tuhan kemanusiaan (memiliki andil dalam pembentukan gambaran-gambaran) dan ... hampir saja menempatkan dirinya untuk disembah setelah Allah Swt dan akan diserahkan padanya urusan-urusan hamba-hamba-Nya yaitu secara alami dan legalitas agamis memiliki wewenang terhadap mereka dan dia sebagai penguasa di atas muka bumi dan khalifah Allah di atasnya." Syarah Al-Manzhumah, jil. 4, hal 313.
[3]. Hikmah Isyrâq, dari tulisan dan karangan Syeikh Isyraq, jil. 2, hal. 11-12; Syarah Hikmah Isyraq, hal. 23-24.
[4] Al-Syiah, kumpulan diskusi-diskusi dengan Henry Corbin, hal. 185-186.
[5] Al-Mizân, jil. 10, hal. 89.
[6] Hena Al fakhuri, Khalil Al-Jar, terjemah, Aiti, Abdul Muhammad, Târikh Falsafah dar Jahane Islâmi, hal. 207-208.
[7] Muhammad Ali Gerami, ihwal hadis لولا فاطمه (Sekiranya kalau bukan Fatimah), hal. 17.
[8] Ibid, hal. 22.
[9] .Jâmiul Asrâr, hal. 381.
[10] Gerami, Muhammad Ali, mengenai hadits لولا فاطمه, hal. 23.
[11] Dari yang satu tidak keluar darinya kecuali satu , atau kecuali dari yang satu.
[12] Gerami, Muhammad Ali, mengenai hadits لولا فاطمه, hal. 66-70.
[13] بِكُمْ فَتَحَ اللَّهُ وَ بِكُمْ يَخْتِمُ [اللَّهُ] وَ بِكُمْ يُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَ بِكُمْ يُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ وَ بِكُمْ يُنَفِّسُالْهَمَّ وَ يَكْشِفُ الضُّرَّ وَ عِنْدَكُمْ مَا نَزَلَتْ بِهِ رُسُلُهُ وَ هَبَطَتْ بِهِ مَلائِكَتُه Mafatihul Jinan, hal. 549.
[14] A^dab al-Shalat, Imam Khomaini, Hal. 263.