Para sejarawan dan ahli hadis meyakini bahwa kelahiran Imam Hujjah bin Hasan al-Mahdi as terjadi pada tahun 255 H (pendapat masyhur) atau 256 H. Ahli sejarah menulis bahwa beliau lahir pada malam Jum’at pertengahan Sya’ban.
Kajian yang sudah ada mengenai Imam Mahdi afs tidak meninggalkan kesamaran tentang kapan beliau dilahirkan, siapakah ayah, ibu dan kakek-kakeknya yang suci dan apa falsafah serta hikmah dari keghaibannya.
Akan tetapi persoalan apakah Baqiyatulah as yang saat mengalami ghaibah kubro memiliki istri dan keturunan ataukah tidak? Kita tidak punya dalil yang kuat tentang hal itu. Yang ada hanya tiga indikasi yang menetapkan keberadaan istri dan anak beliau, yaitu:
1. Kaidah umum
2. Riwayat
3. Doa-doa.
Hukum-hukum universal dari syariat Muhammad saw menuntut Baqiyatullah as untuk membentuk keluarga sebagaimana para imam as yang lain yang menjalankan sunah kakek mereka.
Mirza Nuri mengatakan: “Bagaimana mungkin beliau akan meninggalkan sunah kakeknya yang sangat dianjurkan dan terdapat ancaman jika ditinggalkan. Paling layaknya orang untuk menjalankan sunah Nabi saw ini adalah Imam di setiap zaman dan sampai sekarang tidak ada orang yang meyakini bahwa meninggalkan sunah ini adalah ciri-ciri beliau.”[1]
Sehubungan dengan istri atau istri-istri Baqiyatullah as, kita hanya punya satu riwayat, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Marhum Kif’ami dalam buku Misbah. Berdasarkan hadis ini istri beliau adalah keturunan Abdul Uzza putra Abdul Muthalib.[2] Adapun berkenaan dengan anak-anak beliau, ada beberapa riwayat yang dengan jelas menetapkan keberadaan mereka, yaitu:
1. Sayyid Ibnu Thawus dalam buku Jamalul Usbu’, mengatakan: Saya mendapatkan satu riwayat dengan sanad sempurna yang menceritakan bahwa Imam Zaman as mempunyai beberapa anak yang menjadi hakim dan wali di beberapa kota di pinggiran laut.[3]
2. Imam Shadiq as pernah berkata: “Imam Zaman as mengalami dua ghaibah, satu darinya sangat panjang sekali dimana masyarakat sampai mengatakan, beliau meninggal, sebagian yang lain mengatakan, beliau terbunuh, dan ada juga yang mengatakan, pernah hadir dan pergi lagi, kecuali segelintir pengikut ahlul bait yang tetap pada pendapatnya. Dan tidak seorang pun yang tahu tempat keberadaannya, bahkan anak-anak beliau sendiri tidak mengetahui tempatnya, kecuali wakil-wakil beliau.”[4]
3. Mohammad bin Masyhadi dalam buku Mazâr menukil dari Imam Shadiq as yang berkata: “Sepertinya aku melihat turunnya Qoim as dan keluarganya di masjid Sahlah.”[5]
4. Almarhum Allamah Majlisi mengkhususkan satu pintu kepada para khalifah dan anak-anak Mahdi as.[6]
Selain hadis-hadis di atas, kita hanya punya satu hadis yang tampak bertentangan dengan hadis-hadis tadi. Hadis itu berbunyi: “Setiap Imam harus punya keturunan kecuali Imam Mahdi as yang tidak punya keturunan.”[7]
Mirza Nuri mengatakan: Maksud pernyataan Imam as: “…tidak punya anak,” adalah anak yang menjadi Imam, sebab beliau Khotamul Aushiya’ (penutup para washi).[8]
Syaikh Thusi setelah melihat hadis ini mengatakan: Setiap orang yang mengatakan bahwa Imam Mahdi as mempunyai anak yang berstatus imam, ucapannya batil, sebab jumlah imam akan menjadi tiga belas.[9]
Dalam doa-doa para imam as atau Nahiyah Moqoddasah yang dibaca di zaman ghaibah atau tempat-tempat suci, terdapat sebutan anak-anak Imam Zaman as, dimana para imam mendoakan mereka atau mengucapkan salam atas mereka. Ini bukti kuat untuk menetapkan keberadaan anak-anak beliau apalagi doa-doa tersebut doa Ma’tsur. Dalam doa-doa ini terdapat kosa kata jelas yang menetapkan keberadaan istri dan anak beliau seperti kata walad (anak), Dzurriyah (keturunan), ahli bait (keluarga) dan ali bait (keluarga).[10]
Akan tetapi mengutip pernyataan salah satu mujtahid, beliau mengatakan bahwa penghukuman secara pasti tentang kehidupan pribadi (istri dan anak) Imam Mahdi afs lepas dari tanggung jawab kita, sekalipun di situ ada bukti-bukti untuk menetapkan hal itu.
Wallahu A’lam
CATATAN :
[1] Najmu al-Saqib, hal. 224.
[2] Najmu al-Saqib, hal. 225.
[3] Jamalul Usbu’, hal. 512.
[4] Ghaibati Syaikh Thusi , hal. 103 dan Biharul Anwar, juz 52, hal. 153.
[5] Najmu al-Saqib, hal. 225.
[6] Biharul Anwar, juz 53, hal. 145.
[7] Ghaibati Syaikh Thusi, hal. 134.
[8] Najmu al-Saqib, hal. 226.
[9] Ghaibat, hal. 137.
[10] Jaziri-e Khodro’, hal. 37-40.