Yang dimaksud dengan konsep Mahdawiyat (Mahdiisme) adalah: Percaya terhadap keberadaan dan wujud Imam Mahdi Ajf sebagai Imam Keduabelas yang saat ini berada dalam tirai kegaiban karena maslahat dan atas perintah Ilahi. Beliau akan muncul pada suatu hari kelak setelah dunia dipenuhi oleh tirani untuk kemudian memenuhi dunia ini dengan keadilan dan kesejahteraan. Saat ini, para pengikut dan Syiahnya tengah menanti datangnya hari seperti ini.
Perawi berkata, aku bertanya kepada Imam Ridha As tentang penantian faraj (kemunculan Imam Mahdi Ajf), beliau bersabda, “Faraj merupakan salah satu dari pembuka, dan betapa indahnya bersabar dan menunggu kemunculan (Imam Mahdi Ajf).”[1]
Seluruh fenomena di alam memiliki kekurangan dan momok yang menjadi sumber bagi kerusakannya.[2] Oleh karena itu, untuk mempertahankan segala fenomena ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenal momok dan kekurangan ini, kemudian selanjutnya berupaya untuk menghilangkan dan melenyapkannya. Persoalan yang menjadi ancaman bagi konsep Mahdawiyat tak lain adalah momok yang mampu menjadi gangguan setiap fenomena, dan faktor-faktor ini sangatlah banyak, dimana kami hanya akan menyinggung tiga hal penting secara ringkas sebagaimana berikut.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali As bersabda, “Untuk segala sesuatu terdapat kekurangan, dan kekurangan dari kebaikan adalah teman yang buruk.”[3]
Jika hukum yang terbaik diletakkan di tangan para pembuat kriminal yang tak layak, atau jika barang yang berharga jatuh di cengkeraman tangan yang tak berhak, maka kita tidak akan pernah lagi mendengar tentang hukum yang terbaik tersebut, demikian juga dengan barang yang berharga. Konsep Mahdawiyat pun tak terkecualikan dari kaidah dan hukum ini, para pengklaim bohong, yang tak lain adalah orang-orang rusak, sesat dan tak berhak, telah bersandar pada mutiara Mahdawiyat sangat berharga ini dan meletakkannya dalam posisi yang terancam dengan klaim-klaim busuknya, mereka ini telah menjadikan konsep mulia ini sebagai sasaran empuk bagi para Wahabi dan musuh-musuh Syiah.
Tentunya, klaim-klaim itu sendiri merupakan dalil atas hakikat akidah ini, karena imitasi dan kepalsuan senantiasa mengekor hakikat dan realitas, dan jika tidak demikian, sebagaimana halnya uang kertas 7 ribuan yang tidak akan pernah dipalsukan (karena realitas uang kertas 7000 tidak ada), maka demikian pula (jika realitas Mahdawiyat tidak ada) tidak akan pernah ada klaim Mahdawiyat.
Jahil: salah satu hal yang selalu mengancam hakikat adalah kejahilan dan ketiadaan informasi pada saudara kita, dimana ini bisa menjadi sebuah persoalan yang membahayakan.
Imam Ali As bersabda, “Terdapat dua orang yang mematahkan punggungku: alim yang tidak memiliki ikatan, dan orang jahil yang senantiasa beribadah; yang satu membuka tirai akidah manusia dan merusaknya, sedangkan yang lain telah menipu manusia dengan ibadahnya yang bodoh.”[4]
Saat ini, dengan jelas kita bisa menyaksikan bahayanya saudara yang jahil dan tak memiliki pengetahuan, yang dengan mengatasnamakan penantian (intizhâr) telah sangat merugikan pemikiran Mahdawiyat, mereka yang hanya diam terbungkam dalam menghadapi kezaliman dan aniaya atas nama penantian. Atau mereka yang beberapa waktu sekali, menentukan tanggal kemunculan beliau dalam waktu dekat, dengan melihat beberapa tanda-tanda kemunculan, dimana penentuan ini sangat dicela dalam riwayat-riwayat kita, bahkan bisa menciptakan kebekuan dan keputus asaan bagi para penantinya.
Fadhl bin Yasar mengatakan, aku bertanya kepada Imam Baqir As, Adakah waktu yang tertentu untuk hal (kemunculam Imam Zaman) ini? Beliau menjawab, “Waktu yang mereka tentukan adalah bohong –saya ulang lagi- waktu yang mereka tentukan adalah bohong. Dahulu Musa As keluar dari kaumnya untuk ajakan Tuhan dan menjanjikan tiga puluh hari kepada mereka, namun ketika Tuhan menambahkan sepuluh hari atasnya, para kaumnya mengatakan, “Apa yang dijanjikan oleh Musa kepada kita telah mengalami penyimpangan “, lalu mereka pun melakukan apa yang telah mereka lakukan.”[5]
Materialis atau menyembah dunia: Tak diragukan lagi bahwa pecinta yang hakiki, tidak saja tidak akan asing dari yang dicintanya, bahkan sangat pasti ia akan menyesuaikan diri dan menyerupakan diri dengannya.[6] Oleh karena itu sehingga dikatakan bahwa penanti Mushlih (Sang Refomer Agung yang Saleh), haruslah orang yang saleh.
Penantian, biasanya dikatakan pada kondisi seseorang yang sedih dan tak nyaman dengan keadaan yang ada dan berupaya untuk membuat kondisi yang lebih baik, misalnya seorang pasien atau penderita penyakit yang tengah menunggu kesembuhannya, atau seorang ayah yang tengah menunggu kepulangan putranya dari perjalanan, maka mereka ini akan sedih dengan penyakitnya dan keterpisahannya dari sang anak dan berupaya untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.
Demikian juga seorang pedagang yang sedih dengan keadaan pasar dan tengah menunggu tenangnya kembali krisis ekonomi, maka ia akan memiliki kedua keadaan ini, yaitu “kekhawatiran dengan kondisi yang ada” dan “upaya untuk membuat kondisi lebih baik”.
Oleh itu, masalah penantian terhadap pemerintahan Mahdi yang hak dan adil, demikian juga penantian terhadap bangkitnya reformer dunia, pada dasarnya merupakan gabungan dari dua unsur: unsur penafian dan unsur pembuktian. Unsur penafian tak lain adalah kekhawatiran dengan kondisi yang ada, sedangkan unsur pembuktiannya adalah keinginan untuk membuat kondisi menjadi lebih baik. Dan jika kedua dimensi ini telah menyatu dalam ruh insan secara mengakar, maka hal ini akan menjadi dua sumber perilaku yang mengakar pula. Kedua akar perilaku ini adalah meninggalkan segala bentuk kerjasama dan harmonisasi dengan unsur-unsur kezaliman, kerusakan dan bahkan melawan dan berseteru dengan mereka, ini dari satu sisi, sementara memperbaiki diri, meningkatkan solidaritas dan mempersiapkan kesiapan jasmani, ruhani, materi dan maknawi untuk terciptanya pemerintahan tunggal dunia, merupakan sisi yang lain.
Jika kita cermati, akan kita lihat bahwa kedua dimensi di atas adalah konstruktif dan bisa menjadi faktor penggerak dan motivator bagi kesadaran dan kebangkitan.[7] [iQuest]
[1]. Sayyid Muhammad Ibrahim Burujerdi, Tafsîr Jâmi’, jil. 3, hal. 293 dan 294, Intisyarat-e Shadr, Teheran, Cetakan Keenam, 1366 S.
[2]. Abu al-Qasim Paibandeh, Nahj al-Fashâhah, Majmu-e Kalimâte Qishâr Hadhrat Rasûl Saw, hal. 623, Hadis 2255, Nasyr Dunyaye Donesh, Teheran, Cetakan Keempat , 1382 S.
[3]. Abdulwahid bin Muhammad Tamimi Amadi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, hal. 431, 9843, Intisyarate Daftar Tablighat, Qo, 1366 S.
[4]. Abu Al-Fatah Karajaki, Ma’danu al-Jawâhir, hal. 26, Kitabkhaneh Murtadhawiyah, Teheran, 1394 S.
[5]. Sayyid Ahmad Fahri Zanjani, Ghaibat Nu’mâni, hal. 346 dan 347, Nasyr Dar al- Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan Keempat 4, 1362 S.
[6]. Terdapat sebuah syair yang dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, demikian
لو کان حبّک صادقاً لأطعته لأنّ المحبّ لمن یحبّ مطیع.
[7]. Makarim Syirazi, Nashir, Tafsîr Nemune, jil. 7, hal. 381 dan 382, Nasyr Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, cet. 1, 1374 S.