1.2. Rumusan Masalah
Tulisan/Penelitian ini akan menjawab beberapa pokok persoalan berikut:
Bagaimana diskursus jihad berkembang dalam literatur Islam kontemporer?
Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya IslamBagaimana gerakan Hizbullah mengembangkan konsep dan praktik jihad dalam segenap aspeknya di Lebanon?
Bagaimana Hizbullah menjalankan roda organisasi dan melahirkan sikap-sikap politiknya berdasarkan konsep jihad yang dianutnya?
1.3. Kerangka Konsep
1.3.1 Konsep Jihad
Menurut Hussein Fadhlallah (1996, hal. 12), kata jihād berarti “juang.”
Kata jihad dalam berbagai derivatnya kerap dipakai dalam Al-Qur’an dan sering digunakan dalam ungkapan “berjuang di jalan (jihad fi sabil Allah).” Kemudian pribadi yang melakukan jihad disebut mujahid.
Secara umum, jihad adalah konsep yang memiliki makna, cakupan dan dimensi yang sangat luas dan bertingkat dalam Al-Qur’an.
Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan makna jihad.
Firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 41: Artinya: Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Dalam surah Al-Hajj ayat 78, Allah berfirman: “Artinya : dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar- benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Lalu dalam surah Al-Insyiqaq ayat 6, Allah berfirman: “Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh- sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya.”
Bagaimanapun, Al-Qur’an tidak pernah membatasi makna dan cakupan jihad pada satu dimensi semata-mata, melainkan selalu membuka seluruh dimensi dalam berjihad.
Jihad dalam arti berperang di jalan Allah diungkapkan secara khusus dengan istilah qital. (Hussein Fadhlallah, 1996, hal. 12).
Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal disebutkan bahwa suatu ketika Rasul Saw. melihat pasukan kembali dari sebuah peperangan. Kemudian beliau bersabda, “Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil dan masih tersisa bagi mereka jihad akbar.” Ketika orang-orang bertanya tentang makna jihad akbar itu, Rasul Saw. menjawab, “Jihad melawan diri sendiri (jihâd al-nafs).”
Berpijak pada hadis ini, literatur spiritual Islam membahas jihâd al-nafs (jihad di dalam diri) sebagai dimensi spiritual dan moral dari jihad yang lebih besar daripada dimensi fisik dan militernya.
Berdasarkan hadis ini, Ayatullah Khomeini (2009, hal. 1-32) membangun paradigma jihad yang sangat luas, mencakup aspek batin dan lahirian manusia. Tulisnya, “jihâd al-nafs adalah jihad akbar yang lebih unggul dibandingkan dengan jihad berperang (jihad militeristik) di jalan Allah. Dalam tahap ini, jihad akbar berarti usaha manusia untuk mengendalikan seluruh daya dan kekuatan fisiknya untuk patuh pada semua perintah Allah dan membersihkannya dari seluruh unsur dan pengaruh setan dalam diri kita.
Ibn Rusyd, dalam Muqaddimāt (Morgan, Diane, 2010, hal. 55), membagi jihad dalam empat jenis: “Jihad dengan hati; dengan lidah; dengan tangan dan dengan pedang.” Pembagian ini juga disebutkan dalam sebuah hadis saat berbicara tentang amar makruf nahi munkar, dengan menyebut jihad hati sebagai selemah-lemahnya iman.
Muhammad Husein Al-Thabathaba’i (2001, Vol. 3, hal. 126), seorang mufasir Al-Qur’an, menyatakan bahwa “Hakikat jihad yang diperintahkan oleh Allah di sini memiliki pengertian yang luas.”
Husein Fadhlallah (1996), ideolog dan pemimpin spiritual Hizbullah, menyatakan bahwa Islam adalah “agama jihad yang terus berlangsung di semua medan. Ia berupaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip kejayaan, kemuliaan, dan kebebasan (Muslim) dari segenap jenis imperialisme dan perbudakan.”
Dengan demikian, jihad bukanlah semata-mata perjuangan militeristik sebagaimana yang diklaim oleh Bernard Lewis dalam karya klasiknya, The Political Language of Islam. (1988).