Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Ayat yang Membuat Nabi Merasa Lebih Tua

Ayat yang Membuat Nabi Merasa Lebih Tua



Dalam kitab Darsaha_e dar Qur’an (Pelajaran-pelajaran dalam Al-Qur’an) yang ditulisnya, Ayatullah Muhsin Qira’ati menukil sebuah riwayat yang menyebutkan Rasulullah saww pernah bersabda, “Dalam surah Hud, terdapat sebuah ayat yang membuat saya merasa berusia lanjut, dan ayat itu adalah, maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu…”

Ayat yang dimaksud Rasulullah Saw tersebut terdapat dalam surah Hud ayat 112. Kalau kita melirik sekilas bunyi teks ayat tersebut, …maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu… tampak tidak ada yang istimewa dari ayat tersebut. Sebab banyak ayat lain yang memerintahkan hal serupa. Perintah untuk bersabar dan tetap teguh berada di jalan yang benar adalah perintah Allah Swt yang tersebar dalam banyak ayat. Namun, ada yang membedakan antara ayat ini dengan ayat yang lain. Sesuatu yang istimewa, yang kata Rasululllah Saw membuatnya merasa berusia lanjut, merasa lebih tua dari usianya. Yang unik adalah frase kalimat, kama umirta, sebagaimana diperintahkan kepadamu.

Ayat ini mengisyaratkan, banyak orang yang bersabar untuk tetap berada di jalan kebenaran, namun bukan karena perintah Allah Swt. Ada motif lain yang lebih dominan. Bisa jadi karena khawatir terhadap omongan orang. Ia tidak ingin disebut lemah dalam berdakwah, ketegarannya karena ia malu jika disebut tidak punya pendirian. Karena itu kesabarannya menghadapi segala problema hidup dan kesulitan-kesulitan berada di jalan Allah yang dihadapinya lebih dimotivasi oleh keinginannya untuk dikenal sebagai orang yang teguh pendirian. Ia bertahan untuk memamerkan kekuatan dirinya. Dalam pandangan Allah swt, kesabaran dan keteguhan yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan pribadi semacam itu, tidak memiliki nilai sama sekali. Sebab kesabaran tersebut, telah menyimpang jauh dari tuntutan Ilahi.

Dalam ayat lain disebutkan, “Dan orang-orang yang bersabar karena mencari keridhaan Allah…”. Kesabaran yang terlahir dari keinginan tulus untuk mencari keridhaan Allah lah yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Bukan kesabaran yang dipaksakan demi popularitas, mencari pengaruh dan lebih khawatir terhadap singgungan orang lain.

Tetap berada dalam rel Ilahi memang sulit, bukan jalan yang bisa ditempuh dengan mudah. Terkadang banyak kepentingan-kepentingan pribadi yang turut menyusup untuk mengambil bagian dari setiap niat-niat kita. Karena itu, Nabi Saw sendiri tiba-tiba merasa lebih tua, ketika diingatkan oleh Allah swt, bahwa ketegaran hati dan kesabaranmu harus karena perintahKu. Tiga orang pertama yang dihempaskan ke dalam neraka, sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saww dalam salah satu sabdanya, adalah bukan mereka yang tidak melakukan amalan-amalan shalih, justru mereka yang ketika di dunia melakukannya. Ketiga orang tersebut adalah orang berilmu, orang yang dermawan dan orang yang gugur dalam peperangan melawan musuh Islam. Namun motif mereka melakukan amalan shalih tersebut bukan karena perintah Allah. Secara lahir iya, namun niat yang terpendam dalam hati-hati mereka bukan karena Allah, melainkan karena ingin disebut pemberani, demi popularitas, hasrat mencari pengaruh atau karena ingin balas dendam.

Dalam sebuah peperangan, Imam Ali As telah merobohkan salah seorang lawannya. Beliau telah berada dalam posisi yang menguntungkan, sekali mengayunkan pedang, leher musuh tersebut akan tertebas. Namun ketika beliau hendak mengayunkan pedang, sang musuh dengan tiba-tiba meludahi wajah Imam Ali As. Imam Ali terhenti seketika, mengusap wajahnya yang berlumuran ludah, dan kemudian berbalik meninggalkan musuhnya yang masih tergeletak tak berdaya. Sang musuh diliputi keheranan, ia menyempatkan diri teriak, “Wahai Ali, mengapa kau hentikan ayunan pedangmu, mengapa kau tak jadi membunuhku?”

Imam Ali As menjawab, “Saya khawatir niatku membunuhmu bukan karena perintah Allah melainkan karena kegeramanku akan ludahmu di wajahku.”

Melakukan amalan yang didasari semata-mata karena memenuhi perintah Allah Swt sebagaimana yang dilakukan imam Ali As tersebut di atas dinamakan ikhlas, pelakunya disebut mukhlis. Ikhlas adalah serapan dari bahasa Arab, akar katanya khalasha, khalushan, khalashan yang berarti jernih dan lenyap kotoran darinya. Kalimat akhlasha asy-syai’a berarti menjernihkan dan menyucikannya dari kotorannya. Dalam surah An Nahl, ayat 66 Allah swt berfirman,


وَ إِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعامِ لَعِبْرَةً نُسْقيكُمْ مِمَّا في بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَ دَمٍ لَبَناً خالِصاً سائِغاً لِلشَّارِبينَ
”Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagimu. Kami memberimu minum dari dalam perutnya (berupa) susu bersih (yang keluar) antara tahi dan darah, yang segar ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”

Khalishan dalam ayat tersebut menunjukkan sifat dari susu yang bersih dan murni, tidak tercampuri oleh tahi ataupun darah binatang ternak. Demikian pula keikhlasan dalam pengertian syar’i, tidak ada niat apapun yang mencampuri dan menodainya, murni segala perbuatannya karena Allah swt. Betapa melelahkannya melakukan sesuatu yang motifnya hal-hal yang bersifat duniawi dan material. Suami yang kelelahan sehabis bekerja di luar rumah, bisa saja akan menggerutu jika istrinya tidak memberi pelayanan sebagaimana yang diharapkannya. Ia merasa berhak mendapat pelayanan maksimal dari istrinya karena merasa kelelahannya mencari nafkah adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Rasulullah saww pernah bersabda bahwa seorang laki-laki yang pagi-pagi keluar rumah dengan niat untuk mencari nafkah yang dengan itu ia menjaga kelangsungan hidup istri dan anak-anaknya, maka ia tergolong mujahid di jalan Allah. Namun dengan syarat, faktor penggerak utamanya adalah karena Allah swt. Karena Allah swt telah memerintahkan demikian. Dia mengetahui bahwa hanya Allah yang akan memberi balasan atas segala amal-amalnya, dan tidak yang lain. Ia merasa tidak perlu menuntut penghargaan atau balasan dari anak dan istrinya. Dalam keyakinannya, istri dan anak adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dilindunginya.

Berbeda halnya dengan mereka yang bekerja murni karena sekedar untuk mencari nafkah, untuk sekedar terpenuhi kebutuhan hidup keluarganya atau untuk memperkaya diri. Maka dia akan selalu berharap balasan dan penghargaan dari orang lain atas apa yang telah diupayakannya. Ia merasa datangnya harta karena usahanya, sehingga merasa berhak atas penghargaan dan pelayanan dari keluarganya. Jika ia tidak mendapatkannya, maka ia akan marah, menggerutu, tidak tenang di rumah dan kemudian menjadi awal prahara keluarganya.

Marilah kita ikhlas dalam beramal, dalam berbuat kebaikan. Kita tak perlu menanti balasan dari siapapun selain Allah. Kita menunggu pembalasan dari Allah itu juga karena Dia yang menjajikan dan Dia Maha Pemenuh Janji. Allah membalas setiap kebaikan kita kepada orang lain, tidak melulu melalui orang yang telah kita bantu. Allah akan menggerakkan tangan, menggoda hati sebanyak-banyaknya hamba-Nya untuk meringankan segala persoalan mereka yang senantiasa memberikan bantuan, dengan ikhlas, tanpa pamrih.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Kemunculan Mazhab dalam Islam; Syiah dan Ahlusunnah wal Jamaah
Kidung di Senja Safar
Silaturahmi Hindari Benturan Sosial dan Gesekan Antarparpol
Perempuan Sebagai Pendidik
4. Doa Jawsyan Kabir
Apakah kisah fitnah dari arah timur (Najd) itu maksudnya adalah Irak dan Saudi Arabia?
Apakah boleh menonton film-film porno dengan maksud mempelajarinya guna memuaskan ...
Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Ukiran Cincin Rasulullah Saw dan Maksumin as
Akan terjadi kerusakan jika ada lebih dari satu Tuhan

 
user comment