Sejatinya tidak sulit untuk mengenali Syiah, cukup kita menguji klaim mereka sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib As. Syiah sendiri secara etimologis berakar dari kata bahasa arab yang artinya “pengikut” dan secara terminologis merupakan sifat yang telah disematkan kepada golongan (orang-orang) yang menjadi pengikut Ali bin Abi Thalib As. Tentu saja, tela’ah dan kajian mengenai hal ini sudah cukup banyak dan dengan mudah dapat kita temui di pelbagai tulisan.
Seseorang dapat disebut Syiah manakala mengimani kepemimpinan (wilayah) Ali bin Abi Thalib As. sepeninggal Rasulullah Saw. Sebagaimana kita ketahui, iman (keyakinan) akan berkonsekuensi langsung dengan tindakan (amal perbuatan). Ketika kita mengikrarkan diri sebagai orang yang percaya dan mengimani imamah Ali bin Abi Thalib As maka sebagai konsekuensinya, kita niscaya mengikuti seluruh sikap, perbuatan serta perintah Ali bin Abi Thalib As lantaran setiap perbuatan dan tindakannya merupakan refleksi dari keyakinan dan keimanan beliau kepada Nabi Saw selaku utusan Allah Swt.
Jika Ali bin Abi Thalib As mengikuti dan meneladani Nabi Saw, berarti setiap orang yang mengikuti Ali bin Abi Thalib As sejatinya sedang mengikuti dan meneladani Nabi Saw. Bila seluruh hidup Ali bin Abi Thalib As adalah pengabdian dan penghambaan kepada Allah Swt, maka setiap orang yang mengklaim diri sebagai pengikut (Syiah) Ali bin Abi Thalib As niscaya akan menghamba dan mengabdikan pula dirinya kepada Allah Swt, jika tidak demikian lalu apa maknanya menyatakan diri sebagai pengikut? Namun demikian, tentu kita menyadari pula bahwa semua ini memerlukan proses dan waktu, mulai dari tahap yang paling standar hingga tahap paling ideal. Syaitan (Iblis) tidak akan pernah membiarkan semua itu berjalan lancar tanpa sandungan sedikit pun. Tetapi secara konsep, pengikut atau Syiah Ali mustahil bersikap dan melakukan perbuatan yang tidak dicontohkan dan dibenarkan oleh Ali bin Abi Thalib As, karena hal itulah “satu-satunya” jaminan untuk tidak keluar dari ke-Syiah-an itu sendiri.
Dengan logika yang sama, guna mengetahui sikap dan karakter seorang Syiah, cukup kita menanyakan; apakah Ali bin Abi Thalib As pernah mencerca? Apakah beliau perna mencaci? Apakah Ali bin Abi Thalib As pernah berbuat zalim? Dst… jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas dan yang semacamnya akan menentukan seperti apakah sikap dan karakter seorang Syiah!
Karakter dan sifat khas Syiah ini dapat pula kita lacak dan telusuri hingga keakar-akar akidah mereka. Sebagaimana maklum, akidah Syiah dirumuskan diatas perpaduan antara teks-teks religius (Al Quran dan Sunnah) dan rasionalitas (akal). Terdapat satu “kaidah” rasional yang cukup dikenal dalam dunia teologi Islam bernama “kebaikan dan keburukan rasional (al Husnu wal Qubkhu ‘Aqliyain)”.
Keadilan Tuhan yang menjadi salah satu ushul mazhab Syiah berpijak pula pada kaidah rasional ini, bahwa keadilan itu adalah sebuah realitas yang secara esensial baik dan terpahami oleh akal manusia, tak satupun manusia berakal (sehat akal) yang memahami keadilan itu buruk dan secara terbalik menyatakan baiknya kezaliman. Setiap manusia niscaya memahami dan mengafirmasi baiknya keadilan dan buruknya kezaliman. Begitupula dengan sederetan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan buruk dan baik lainnya. Apakah perbuatan dan perilaku mencaci dan mencerca itu baik atau buruk? Jika buruk maka mustahil Allah Swt memerintahkannya, dan bila Allah Swt tidak memerintahkannya maka mustahil Rasulullah Saw melakukannya sebab Nabi Swt adalah “Wa Maa yantiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyun yuhaa (dan tidaklah Ia berkata dari hawa nafsunya melainkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya)” (Q.S. An Najm : 3-4) dan jika Nabi Saw tidak melakukannya maka mustahil pula Ali bin Abi Thalib As berbuat dan mencontohkannya, lantaran Ali bin Abi Thalib As adalah diri Rasulullah Saw sebagaimana pengakuan Nabi Saw sendiri “…katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isterimu, diri-diri kami dan diri-dirimu…” (Q.S. Ali Imran : 61) – berdasarkan banyak riwayat dan kitab-kitab tafsir Ahlussunnah dan Syiah, dalam peristiwa itu Rasulullah Saw membawa Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az Zahra serta kedua putranya Hasan dan Husain As, dan yang dimaksud “Anfusana” dalam ayat itu adalah diri Nabi Saw dan Ali bin Abi Thalib As – dan jika Ali bin Abi Thalib As tidak pernah berbuat dan mencontohkannya maka mustahil pula para pengikut setianya melakukan apa yang tidak pernah dicontohkan oleh ikutan dan panutan mereka. Sebab, jika mereka melakukannya maka hal itu telah mengeluarkannya dari predikat “pengikut” atau “Syiah” Ali bin Abi Thalib As.
Olehnya itu, menjadi Syiah seharusnya merupakan kebanggaan dan cita-cita setiap Muslim! Syiah seharusnya dimuliakan dan dihormati mengikuti kemuliaan manusia-manusia suci yang menjadi ikutan dan panutan mereka, lantaran telah mengikuti dan meneladani Ali bin Abi Thalib As yang merupakan pengikut setia Rasulullah Saw. Dan mengikuti Nabi Saw berarti mengikuti kehendak dan perintah Allah Swt. dan sebaliknya, merendahkan dan membenci Syiah dapat menjerumuskan kita kepada dosa dan maksiat lantaran merendahkan manusia-manusia suci (Rasulullah Saw dan Ali bin Abi Thalib As) ikutan dan panutan para Syiah!
Semoga akal sehat masih senantiasa terawat baik dalam diri kita yang teramat lemah dan terbatas untuk memahami banyak hal. []