Barangsiapa berani mengganggu umat Islam di negeriku, akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorang pun di antara kalian.
Suatu ketika Makkah dalam kondisi kritis. Orang-orang kafir Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya para pengikut awal Rasulalllah Saw. atau yang biasa disebut assabiqunal-awwalun.
Mereka, orang-orang yang percaya pada kenabian Muhammad mendapat tekanan musyrikin Quraisy tanpa henti. Melihat ini, Rasul pun gusar dan memerintahkan mereka agar hijrah ke suatu negeri bernama Habasyah. Beliau berkata, “Wahai sahabatku, di negeri Habasyah ada seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya sampai Allah Swt. membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”
Maka, rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah sekitar 80 orang itu pun berangkat ke Habasyah dengan dipimpin Jafar bin Abi Talib, kakak Ali bin Abi Talib.
Hal berbeda mereka rasakan di negeri baru itu. Selain mendapat ketenangan dan rasa aman dalam beribadah, mereka pun bebas menikmati manisnya hidup dalam takwa.
Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Rupanya pihak Quraisy mengendus kabar hijrahnya mereka ke Habasyah. Mereka pun tak tinggal diam ketika mengetahui hal itu dan segera menyusun strategi untuk menghabisi kaum muhajirin itu atau menarik mereka kembali ke Makkah.
Akhirnya, mereka mengirimkan dua orang utusan kepada sang raja di Habasyah. Keduanya tentulah bukan orang sembarangan, yakni Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Dua manusia pilihan Makkah yang sangat diakui kepandaiannya dalam hal diplomasi.
Dengan tekad bulat, mereka pun berangkat sembari membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar. Tujuannya tak lain untuk menyuap sang raja dan para petinggi Habasyah yang memang cukup dikenal menyukai barang-barang mewah Makkah.
Sesampainya di negeri tujuan, terlebih dulu mereka menemui para pejabat Habasyah sambil menyodorkan barang-barang mewah yang dibawa. Amru bin Ash memulai aksinya untuk berdiplomasi, “Wahai para pejabat nan mulia, di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami,” ucapnya memprovokator.
“Betul wahai pejabat yang mulia. Karenanya, kami mohon nanti pada saat kami menghadap Raja dan membicarakan masalah ini, dukunglah kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa bertanya,” tambah Abdullah bin Abi Rabi’ah.
“Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.” Lanjutnya meyakinkan.
Setelah memilih waktu yang tepat, kedua utusan Makkah itu pun menemui sang raja. Tak lama kemudian, mereka menyampaikan maksudnya, “Tuan, di negeri Anda ada beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama mereka, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”
Sang Raja yang terkenal bijak itu menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Seperti apa yang sudah dipesankan utusan Makkah itu, mereka pun serempak membenarkan.
Namun, sang raja tak begitu saja percaya dengan ucapan dan nasihat semua orang-orang di ruangan itu. Ia pun berkata, “Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan langsung dari mulut mereka sendiri. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan kepada kalian. Tapi kalau mereka dalam kebenaran, maka aku akan melindungi dan memelihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini.”
Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil ke istana. Sesampainya di sana, mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Sementara uskup-uskup kerajaan duduk berkeliling memakai pakaian kebesaran mereka dengan ditemani kitab-kitab yang terbuka di tangan.
Setelah dipersilakan duduk, sang raja mulai menyelidik, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama Nasrani (Kristen).
Sang pemimpin rombongan Jafar menjawab: “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tapi Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju terang benderang,”
“Pada awalnya kami tidak lebih dari manusia yang hidup dalam kebodohan. Menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga dan yang kuat selalu menekan yang lemah,”
“Dalam kondisi demikian, Allah Swt. mengutus Rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percaya pada kejujurannya, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kepada Allah Swt. dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan kami untuk menegakkan salat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu,”
“Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung tali silaturohim, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan menghargai sesama makhluk hidup. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan apa yang beliau bawa,”
“Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, mengharamkan apa-apa yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa-apa yang dihalalkan. Tapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah patung-patung berhala. Karena itu kamu mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zalim di sini.”
Mendengar itu, sang raja berkata, “Coba tunjukkan pada kami, kebesaran apa kalian bawa untuk meyakinkan kami.”
Jafar kemudian membacakan surat Maryam ayat 19-32, yang berkisah tentang Isa putra Maryam.
Tampaklah sang raja meneteskan air mata haru. Demikian pula para uskup yang hadir di situ, hingga kitab-kitab di tangan mereka basah oleh air mata.
Sang raja berkata kepada utusan Quraisy tersebut: “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa As. berasal dari sumber yang sama. Karenanya, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.”
“Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barangsiapa berani mengganggu kalian akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorangpun di antara kalian.”
Raja kemudian bangkit dari singgasananya, dan pertemuan pun dibubarkan.
----
Konon, peristiwa ini terjadi sekitar tahun ke-7 Hijriah. Mendengar kabar baik itu, Rasul Saw. kemudian mengirimkan surat yang ditulis oleh Zaid bin Thabit sebagai ucapan terima kasih, dan permohonannya untuk mengutus kembali beberapa rombongan berikutnya.
Sang raja yang memiliki nama lengkap Najasyi Asham bin Abjar itu kembali menerima niat baik Nabi. Akhirnya, rombongan berikutnya menyusul, di antaranya ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari.
Dikabarkan pula, Raja Najasyi akhirnya memeluk Islam. Ia meninggal dan dimakamkan di sebuah tempat bernama Najash, Ethiopia.