Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan

Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan

Apa garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan (termasuk bentuknya yang teoretis dan praktis?) Mana pandangan yang tauhid dan mana pandangan yang musyrik? Perbuatan seperti apa yang dapat disebut Tauhid praktis, dan yang dapat disebut kemusyrikan praktis? Apakah musyrik kalau mempercayai eksistensi apa pun selain Allah? Apakah Tauhid Zat-Nya menuntut kita untuk tidak mem‌percayai eksistensi sesuatu dalam bentuk apa pun di samping Dia, yang bahkan bukan ciptaan-Nya (semacam monoisme ontologis”).

Jelaslah bahwa segala ciptaan adalah pekerjaan Allah. Tidak dapat dipandang sebagai tandingan-Nya. Ciptaan Allah merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya. Mempercayai eksistensi suatu ciptaan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah, tidak bertentangan dengan tauhid. Akan tetapi justru melengkapi tauhid. Karena itu, garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan bukanlah ada atau tidak adanya sesuatu selain Allah.

Apakah mempercayai sebab-akibat segala ciptaan sama dengan kemusyrikan atau pluralitas pencipta? Apakah mempercayai tauhid perbuatan Allah berarti kita juga menolak sistem sebab-akibat, dan beraiti kita juga menganggap bahwa setiap akibat tentu penyebabnya adalah Allah langsung? Misal, apakah kita percaya bahwa api sama sekali tak punya peran dalam pembakaran, air sama sekali tak punya peran dalam menghilangkan dahaga, hujan sama sekali tak punya peran dalam menumbuhkan tanaman, dan obat sama sekali tak punya peran dalam penyembuhan, dan bahwa Allah langsung yang membakar, langsung yang menghilangkan dahaga, langsung yang menumbuhkan tanaman, dan langsung yang menyembuhkan penyakit Benarkah ada atau tak adanya faktor-foktor lain sama saja? Paling banter dapat dikatakan bahwa Allah biasanya berbuat bila ada faktor-faktor tertentu. Jika seseorang biasa memakai topi di kepalanya bila dia mau menulis surat, maka tidak dapat dikatakan bahwa ada atau tak adanya topi mengakibatkan dia menulis surat. Yang jelas adalah bahwa dia tak suka menulis surat tanpa mengenakan topi di kepalanya. Menurut pandangan ini, seperti itulah karakter dan ada dan tidak adanya segala sesuatu yang disebut sebab dan faktor. Kalau kita mempercayai sebaliknya, berarti kita menganggap bahwa Allah ada sekutu-Nya dalam berbuat. Itulah pandangan kaum Asya’irah dan kaum Jabariah.

Sekali lagi pandangan ini salah. Karena mempercayai eksistensi sesuatu ciptaan tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas Zat Tuhan, tetapi justru melengkapi kepercayaan akan keesaan Allah, maka mempercayai sistem sebab-akibat tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas pencipta. Karena eksistensi segala ciptaan itu bukan dengan sendirinya, maka efektivitas mereka juga bergantung. Karena eksistensi dan efektivitas segala yang ada bergantung pada Allah, maka tak ada soal pluralitas pencipta. Mempercayai sistem sebab-akibat sesungguhnya melengkapi kepercayaan akan kepenciptaan Allah. Tentu saja sama dengan kemusyrikan kalau kita percaya bahwa segala ciptaan ada sendiri, atau percaya bahwa hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan pabrikan dan produk. Mobil pada mulanya membutuhkan pabrikan agar mobil itu ada, namun setelah ada mobil itu berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri. Meskipun pabrikannya mati, mobil itu tetap dapat jalan. Kalau kita beranggapan bahwa hubungan faktor alamiah, seperti air, hujan, energi, panas, bumi, tumbuhan dan manusia dengan Allah seperti itu, seperti terkadang cenderung jadi pandangan kaum Mu’tazilah, maka pandangan seperti itu tentu saja membawa ke kemusyrikan.

Efektivitas segala ciptaan bergantung pada Pencipta mereka, karena asal-usul, eksistensi dan kelangsungan mereka bergantung pada-Nya. Alam semesta adalah ciptaan-Nva dan merupakan rahmat dari-Nya. Alam semesta sepenuhnya bergantung pada-Nya. Karena itu, efektivitas segala ciptaan sesungguhnya merupakan efektivitas Allah, dan kreativitas mereka merupakan kreativitas-Nya dan perpanjangan pekerjaan-Nya. Bahkan dapat dikatakan bahwa memandang musyrik keyakinan akan adanya peran makhluk dalam urusan dunia itu sendiri adalah pikiran musyrik, karena pikiran seperti itu menunjukkan secara tidak sadar mempercayai kemandirian segala yang ada, seperti ditunjukkan oleh anggapan bahwa mempercayai efektivitas segala yang ada berarti sama dengan mempercayai adanya dua pusat. Namun demikian, mempercayai atau mengingkari sebab-akibat segala ciptaan di samping Allah bukanlah garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan.

Apakah mempercayai kekuatan supranatural dari sesuatu yang eksis, apakah itu malaikat atau manusia seperti nabi atau imam, itu musyrik, padahal mempercayai kekuatan dan efektivitas nabi atau imam dan seterusnva dalam batas-batas normal tidak musyrik? Begitu pula, apakah dapat disebut berpikiran musyrik kalau mempercayai kekuatan dan efektivitas seseorang yang sudah mati, mengingat orang yang sudah mati itu nampaknya hanyalah sebuah benda inorganis. Jelaslah, dari sudut pandang hukum alam, benda inorganis tak memiliki kesadaran, tak memiliki daya, tak memiliki kehendak. Karena itu, percaya bahwa orang yang sudah mati bisa melihat, atau menghormati orang yang sudah mati, dan meminta sesuatu dari orang yang sudah mati, semuanya itu merupakan perbuatan musyrik, karena dengan berbuat begitu berarti menganggap bahwa yang punya kekuatan supranatural bukan saja Allah tetapi juga makhluk.

Begitu pula, tentu saja musyrik kalau percaya bahwa tanah di tempat tertentu bisa untuk menyembuhkan penyakit, atau bahwa berdoa di tempat tertentu pasti dikabulkan, karena kepercayaan seperti itu sama saja dengan mempercayai bahwa benda tak ber-nyawa memiliki kekuatan supranatural. Mengingat semua itu alamiah, dapat diidentifikasi, dapat dialami, dan dapat dilihat, maka bukanlah musyrik, seperti anggapan kaum Asya’irah, kalau mem‌percayai efektivitas hal-hal itu. Namun tentu saja musyrik kalau percaya bahwa makhluk memiliki kekuatan supranatural.

Eksistensi memiliki dua segi: fisis dan metafisis. Segi metafisis merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan segi fisis merupakan wilayah khusus makhluk, atau merupakan wilayah bersama antara Allah dan makhluk. Sejumlah fungsi yang memiliki segi metafisis, seperti menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, dan seterusnya, bersama beberapa fungsi normal dan biasa, merupakan wilayah khusus Allah. Sejauh menyangkut Tauhid Teoretis, begitulah posisinya. Adapun Tauhid praktis, maka memberikan perhatian kepada makhluk dengan maksud membina hubungan spiritual dengan makhluk tersebut, agar makhluk tersebut memberikan perhatian kepada kita, atau agar makhluk tersebut memberikan tanggapan kepada kita, maka itu semua merupakan kemusyrikan, dan sama saja dengan menyembah makhluk tersebut. Karena menyembah selain Allah itu tidak dibolehkan oleh akal dan juga oleh syariat Islam, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut keluar dari Islam. Kemudian, karakter ritus yang membutuhkan adanya perhatian semacam itu, tak beda dengan karakter ritus yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala. Kalau orang melakukan ritus seperti itu, maka artinya dia menganggap sosok yang jadi objek ritus tersebut memiliki kekuatan metafisis (misalnya Imam atau Nabi saw). Itulah pandangan kaum Wahabi dan kaum semi-Wahabi di zaman ini.

Di zaman ini pandangan seperti ini banyak dianut, dan di kalangan-kalangan tertentu malah dianggap sebagai tanda berpikir jemih. Namun dari sudut pandang tauhid, teori kaum Asya’irah itu termasuk musyrik. Sesungguhnya teori tersebut merupakan seburuk-buruk teori, bila dilihat dari sudut pandang tauhid kepenciptaan dan tauhid perbuatan Tuhan.

Dalam kesempatan menunjukkan kekeliruan teori kaum Asya’irah, sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa mereka menafikan sistem sebab-akibat, dengan alasan bahwa kalau orang mempercayai efektivitas dan sebab-akibat makhluk berarti dia mempercayai adanya beberapa sumber lain selain Allah. Sudah kami kemukakan bahwa sesuatu dapat menjadi sumber kalau eksistensi sesuatu tersebut terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu tersebut tidak bergantung pada Allah. Kaum Asya’irah rupanya secara tidak sadar mempercayai independensi makhluk. Kepercayaan ini jelasjelas musyrik, karena sama saja dengan menyangkal Tauhid Zat Allah. Namun demikian, mereka tidak menyadari konsekuensi teori mereka. Mereka ingin menegaskan tauhid kepenciptaan, namun secara tak sadar justru ujungnya malah mendukung pluralitas Zat Tuhan.

Kritik yang sama juga tertuju kepada kaum semi-Wahabi. Secara tak sadar mereka pun setuju dengan semacam independensi-diri makhluk, karena mereka beranggapan bahwa mempercayai faktor supranatural sama saja dengan mempercayai kekuatan lain selain kekuatan Allah. Mereka ini mengabaikan fakta bahwa kalau satu makhluk dapat melakukan perbuatan supranatural, dan segenap eksistensi makhluk tersebut bergantung pada Allah, dan yang statusnya sendiri tidak mandiri, maka sebenarnya kualitas untuk melakukan perbuatan tersebut berasal dari Allah yang diberikan kepadanya. Makhluk tersebut hanyalah sarana untuk menyampaikan rahmat Allah. Apakah musyrik kalau orang percaya bahwa Malaikat Jibril merupakan perantara yang digunakan untuk menyampaikan wahyu dan ilmu, Malaikat Mikail merupakan perantara untuk memberikan sarana hidup, Malaikat Israfil merupakan perantara untuk Kebangkitan, dan Malaikat Izrail merupakan perantara untuk mencabut nyawa?

Dari sudut pandang tauhid, teori ini berakibat seburuk-buruk kemusyrikan, karena mempercayainya sama saja dengan semacam membagi kerja antara Pencipta (Allah SWT) dan makhluk. Menurut teori ini, perbuatan supranatural merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan perbuatan alamiah merupakan wilayah khusus makhluk atau wilayah bersama antara Pencipta dan makhluk. Mempercayai wilayah khusus makhluk, berarti mempercayai pluralitas kerja yang merupakan gagasan musyrik. Begitu pula, mempercayaiwilayah bersama juga merupakan kemusyrikan.

Bertentangan dengan konsepsi tauhid, Wahabisme bukan saja merupakan sebuah doktrin yang bertentangan dengan imamiah, namun juga bertentangan dengan tauhid dan kemanusiaan. Doktrin Wahabi ini anti-tauhid, karena doktrin ini mempercayai adanya pembagian kerja. Seperti sudah dijelaskan di atas, Wahabisme merupakan semacam kemusyrikan terselubung. Juga anti-kemanusiaan, dalam pengertian tidak menghargai bakat dan kemampuan manusia, dua hal yang membuat manusia lebih unggul daripada malaikat sekalipun. Dengan jelas Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah, dan malaikat diperintahkan untuk sujud di hadapan manusia. Namun Wahabisme masih saja berkeinginan menurunkan maitabat manusia sampai ke tingkat binatang buas.

Lalu, membedakan antara yang hidup dan yang mad, seperti katakanlah bahwa yang mad itu tidak akan hidup lagi meski di akhirat sekalipun, dan bahwa segenap kepribadian manusia itu terletak pada raganya, dan raga ini kemudian berubah menjadi barang inorganis setelah manusia tersebut mati, merupakan gagasan materialistic dan keji. Masalah ini akan kami bahas nand, yaitu ketika membahas Han Kiamat.

Yang juga musyrik adalah, apabila membedakan antara efek sesuatu yang bersifat supranatural dan tak dapat dimengerti (efek pertama) dan yang bersifat dapat dimengerti (efek kedua), dan memandang efek pertama sebagai efek metafisis yang bertentangan dengan efek kedua. Sekarang dapat dimengerti apa maksud Nabi Suci saw ketika bersabda bahwa kemusyrikan begitu diam-diam, dan tak kelihatan ketika menyusup masuk ke dalam iman, bagaikan semut yang berjalan di atas batu pada kegelapan malam.

Faktanya adalah bahwa garis pemisah antara tauhid dan syirik adalah hubungan antara Allah di satu pihak, dan manusia serta alam semesta di pihak lain. Hubungan ini adalah hubungan “dari-Nya” dan “kepada-Nya”. Dalam tauhid teoretis, garis pembatas tersebut adalah “dari-Nya”. “Kita semua dari Allah”. Dari sudut pandang tauhid, sikap kita baru benar kalau kita memandang bahwa hakikat, sifat dan efekdvitas kualitas eksistensi pada sedap kebenaran dan setiap sesuatu yang ada itu dari Allah. Apakah efeknya tunggal, beberapa, atau tak berefek sama sekali, dan apakah punya efek supranatural atau tidak, itu tak penting. Allah bukan Tuhannya dunia metafisis saja. Allah adalah Tuhan alam semesta. Dekatnya Dia dengan dunia fisis, sama dengan dekatnya Dia dengan dunia metafisis. Dia bersama segala sesuatu, dan rezeki untuk segala sesuatu’ tersebut adalah dari-Nya. Kalau sesuatu memiliki segi metafisis, itu berarti bahwa sesuatu tersebut memiliki segi ketuhanan. Seperti sudah kami kemukakan sebelumnya, menurut konsepsi Islam, karakter wujud yang dimiliki alam ini adalah “dari-Nya”. Dalam banyak ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa para nabi memiliki mukjizat, seperti dapat menghidupkan sesuatu yang sudah mati, dan mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir.

Namun demikian, selalu ada tambahannya, yaitu “dengan kehendak-Nya”. Frase “dengan kehendak-Nya” ini menunjukkan karakter mukjizat tersebut, dan memperlihatkan bahwa mukjizat ini berasal dari-Nya. Orang tak boleh beranggapan bahwa para nabi itu independen (dalam hal mukjizat—pen.). Yang juga termasuk musyrik adalah kalau mempercayai adanya eksistensi yang bukan “dari Allah”. Juga, kalau percaya bahwa efektivitas sesuatu yang ada itu bukan “dari-Nya”, maka itu adalah musyrik. Apakah efeknya bersifat supranatural seperti menciptakan bumi dan langit, atau apakah efeknya begitu remeh seperti membalikkan daun, itu tak penting.

Kalau dalam tauhid praktis, maka garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan adalah “kepada-Nya”. “Kita semua akan kembali kepada-Nya”, seperti dikatakan Al-Qur’an Suci. Kalau kita memberikan perhatian kepada sesuatu yang ada, baik perhatian itu bersifat spiritual atau bukan, dengan maksud untuk sampai kepada Allah, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri, maka perbuatan kita ini sama dengan memberikan perhatian kepada Allah. Segala yang ada supaya dipandang hanya sebagai tanda untuk menuju ke Allah. Hanya Allah sajalah tujuannya.

Para nabi dan para imam digambarkan sebagai “rule utama dan jalan lurus, papan penunjuk jalan bagi manusia, mercusuar di darat, pemandu ke jalan Allah, penyampai risalah-Nya dan penyingkap kehendak-Nya.” (Ziyârah Jâmi’ah). Karena itu, masalahnya bukanlah kalau ber-wasîlah (menjadikan sebagai perantara) kepada imam, memohon atau berharap agar imam berbuat mukjizat, maka itu musyrik. Bukan ini masalahnya. Sesungguhnya masalahnya adalah sesuatu yang lain.

Pertama, kita harus yakin apakah para nabi dan imam itu memang sedemikian dekat dengan Allah, sehingga mereka dianugerahi kekuatan dan kualitas supranatural. Al-Qur’an Suci menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan posisi seperti itu kepada sebagian orang. Kedua, apakah kalau orang ber-wasîlah kepada imam dan wali, ziarah ke makam mereka dan memohon kepada mereka, dari sudut pandang tauhid, memiliki pengertian yang benar mengenai apa yang dilakukannya atau tidak. Apakah dalam benaknya ada “kepada-Nya”, ketika mereka ke makam? Ataukah dia lalai akan Dia dan menganggap imam atau wali, yang makam mereka dia ziarahl, sebagai tujuan itu sendiri. Tak syak lagi, sebagian besar orang secara naluriah dalam benak mereka ada Allah. Sebagian orang mungkin benar-benar tak memiliki pandangan tauhid. Mereka harus diingatkan tentang pandangan tauhid ini. Namun demikian, tak ada alasan untuk menyebut musyrik terhadap ziarah ke makam. Ketiga, bahwa juga musyrik kalau memuliakan dan memuji makhluk sedemikian seakan makhluk tersebut benar-benar sempurna dan eksis sendiri. Hanya Allah sajalah yang benar-benar sempurna. Hanya Dia sajalah yang pantas mendapat segala pujian. Hanya Dia sajalah yang Mahakuasa. Menganggap makhluk memiliki sifat-sifat sempurna seperti itu, baik anggapan tersebut dilakukan dalam bentuk kata maupun perbuatan, maka hal yang demikian itu adalah musyrik. Sudah kami bahas sebelumnya perbuatan-perbuatan yang bisa disebut ibadah dan memuja.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Kemunculan Mazhab dalam Islam; Syiah dan Ahlusunnah wal Jamaah
Kidung di Senja Safar
Silaturahmi Hindari Benturan Sosial dan Gesekan Antarparpol
Perempuan Sebagai Pendidik
4. Doa Jawsyan Kabir
Apakah kisah fitnah dari arah timur (Najd) itu maksudnya adalah Irak dan Saudi Arabia?
Apakah boleh menonton film-film porno dengan maksud mempelajarinya guna memuaskan ...
Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Ukiran Cincin Rasulullah Saw dan Maksumin as
Akan terjadi kerusakan jika ada lebih dari satu Tuhan

 
user comment