Apakah memakan uang suap haram hukumnya?
Apakah hukumnya tergantung dengan lingkungan
dan tempat di mana kita hidup? Jika memang
haram, apa dalilnya?
Jawaban:
Suap dalam bahasa Arab disebut “rashwah” dari
akar kata “ra’ syin dan wauw” yang digunakan
denga fathah, kasrah dan dhammah ra’. Kata
itu adalah singular yang pluralnya adalah
“rusya” atau “risya” yang berarti “upah”.[1]
Dalam istilah, suap adalah membayar seseorang
dengan tujuan agar orang itu memenuhi apa
yang ia inginkan.[2]
Para ahli fiqih beralasan dengan empat dalil
dalam menyatakan haramnya suap: Al-Qur’an,
sunah, ijma’, dan akal.[3]
1. Al-Qur’an
Allah swt berfirman: “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:188)
Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat di
atas berkata: Dalam ayat di atas, Allah swt
menggambarkan orang yang menyuap seorang
hakim dengan ilustrasi yang sangat indah.
Diilustrasikan penyuap adalah seorang yang
menimba air dari dalam sumur. Air sumur itu
adalah hukum yang diinginkan oleh penyuap
tersebut. Sedangkan timba yang ia gunakan
adalah uang suap yang digunakan untuk
mengeluarkan air dari dalam sumur.[4]
Kelaziman diharamkannya menyuap, adalah tanda
diharamkannya menerima uang suap.[5]
2. Riwayat
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan
diharamkannya suap dan menyebutnya sebagai
bukti kekufuran. Misalnya, Rasulullah saw
bersabda: “Jauhilah suap, karena perbuatan
itu adalah kufur. Orang yang memakan uang
suap tidak akan mencium bau surga.” Imam
Shadiq as juga berkata: “Wahai Ammar, adapun
tentang suap, itu adalah mengkufuri Allah swt
dan utusan-Nya.”[6]
3. Ijma’
Dalil lain diharamkannya suap menurut para
ahli fiqih adalah adanya ijma’ dan
kesepakatan semua aliran Islam baik dari
kalangan Syiah maupun Ahlu Sunah.[7]
4. Akal
Suap membawa banyak kerugian bagi masyarakat.
Jika ada seseorang yang bisa mendapatkan
segala apa yang diinginkannya dengan
menggunakan uang, maka orang-orang yang tidak
memiliki uang dan bahkan tidak mau menyuap
bakal mengalami masalah untuk meraih hak-hak
mereka. Ketika semua pihak telah terbiasa
menerima suap, maka mereka tidak akan mau
menjalankan tugasnya dengan baik terhadap
orang-orang yang tidak membayar suap.
Akhirnya aturan dan peraturan bakal
berantakan. Oleh karena itu, sebagian faqih
seperti Muqaddas Ardabili menyatakan bahwa
akal adalah satu-satunya dalil yang sangat
jelas atas haramnya suap. Sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab Majma’ul Fa’idah wal
Burhan: “Alasan haramnya suap dapat difahami
dari akal, Qur’an, hadits dan ijma’.”[8]
Di akhir pembahasan ini, kami ingin
membawakan beberapa fatwa dari marja’-marja’
taqlid kita:
Para marja’ seperti Imam Khumaini, Ayatullah
Bahjat, Ima Khamene’i, Ayatullah Shafi,
Fadhil Lankarani, Makarim Syirazi, dan Nuri
Hamadani mengatakan: “Pembayaran uang atau
harta benda oleh seseorang kepada petugas
yang berkewajiban untuk memberikan layanan
kepada masyarakat akan menimbulkan kerusakan
dalam sistim manajemen, yang mana menurut
syariat adalah haram hukumnya. Menerima uang
suap seperti itu pun haram dan penerimanya
tidak berhak menggunakannya.[9]
Ayatullah Tabrizi, Sistani dan Wahid
Khurasani mengatakan: “Suap untuk mendapatkan
hak-hak dalam selain perkara kehakiman
(penadilan) boleh hukumnya. Namun jika suap
itu ditujukan kepada orang yang memang
berkewajiban untuk melayani kita dalam
mendapatkan hak-hak kita, maka tidak
boleh.”[10]
Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani mengatakan:
“Suap dalam fikih keuangan adalah uang atau
harta yang diterima oleh seorang hakim agar
ia memberikan hukum dan keputusan yang tidak
sesuai dengan kebenaran. Ini jelas-jelas
haram. Penggunaan istilah suap dalam
kehidupan kita sehari-hari, yang mana
seseorang membayar orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum dan aturan, itu pun juga haram. Hanya
saja, jika seandainya seseorang terpaksa
untuk membayar suap kepada seseorang agar ia
dapat meraih hak-haknya, maka tidak ada
masalah.” []
CATATAN :
[1] Majma’ul Bahrain, jil. 1, hal. 184.
[2] Ibnu Atsir, An-Nihayah, jil. 2, hal. 226.
[3] Syaikh Khu’i, Misbahul Faqahah, jil. 1,
hal. 256.
[4] Al-Mizan, jil. 2, hal. 52, tafsir surah
Al-Baqarah ayat 188.
[5] Misbahul Faqahah, jil. 1, hal. 234.
[6] Wasailus Syi’ah, jil. 12, hal. 63, bab 1,
hadits 1.
[7] Najafi, Jawahirul Kalam fi Syarhi
Syarai’il Islam, jil. 22, hal. 145 dan jil.
1, hal. 263.
[8] Muqaddas Ardabili, Majma’ul Fa’idah wal
Burhan fi Syarhi Irsyadil Adzhan, jil. 12,
hal. 49, Daftar e Entesharat e Eslami, Qom,
1403 H.
[9] Imam Khumaini, Tahrirul Wasilah, jil. 2,
kitab Qadha’; Ayatullah Fadhil, Jami’ul
Masa’il, jil. 1, pertanyaan 972; Ayatullah
Makarim Syirazi, Esteftaat, jil. 2,
pertanyaan 664 dan 665; Ayatullah Shafi,
Jami’ul Ahkam, jil. 2, pertanyaan 1540;
Ayatullah Khamene’i, Ajwibatul Istifta’at,
pertanyaan 1246 dan 1247; Ayatullah Bahjat,
Twodhihul Masael, Muftaraqat, pertanyaan 16.
[10] Ayatullah Tabrizi, Istiftaat, pertanyaan
999; Ayatullah Wahid Khurasani, Minhajus
Shalihin, jil. 3, pertanyaan 32; Ayatullah
Sistani, Sistani.org, pertanyaan tentang suap
dalam software Porseman.