Al-Qur’an menyatatakan, “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Qs. Yunus [10]:3); “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa.” (Qs. Al-Furqan [25]:59); “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Qs. Al-Hud [11]:7) Ayat-ayat di atas dengan lugas dan tegas menyatakan bahwa Allah Swt menciptakan langit-langit dan bumi dalam masa enam hari. Namun menurut ayat-ayat lainnya, “Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Dzat yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Fushshilat [41]:9); “Dan Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.” (Qs. Fusshilat [41]:10) “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datang (dan berbentuklah) kamu dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang (dan berbentuk) dengan suka hati.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Fusshilat [41]:11-12) Sekarang mari kita kalkulasi dua (2) hari (untuk penciptaan bumi) + 4 hari (penciptaan pelbagai keberkahan) + 2 hari (untuk penciptaan tujuh petala langit) maka hasilnya akan menjadi 8 hari bukan 6 hari. Masalahnya dimana? Kok tidak ketemu hasilnya? Apakah masalahnya bersumber dari mukjizat Muhammad atau Matematika?
Jawaban Global
Allah Swt menggunakan terminologi “qaddara” (penentuan) terkait dengan hari. Sementara sehubungan dengan penciptan langit dan bumi, Allah Swt menggunakan terminologi khalqa (penciptaan); artinya empat hari pada ayat yang dimaksud adalah terkait dengan penentuan seluruh rezeki bukan penciptaannya.
Dengan demikian boleh jadi inti persoalan akan dapat terjawab dengan tuntas. Karena masalahnya muncul karena kita menempatkan hari-hari penentuan hari sejajar dan sederetan dengan penciptaan. Kalau tidak demikian maka inti persoalan akan dapat terselesaikan.
Jawaban Detil
Pertama-tama untuk menjawab pertanyaan Anda, pantas kiranya apabila kita melayangkan perhatian kita pada ayat-ayat yang menjadi obyek bahasan:
“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy (Dia mengatur seluruh alam semesta).” (Qs. Al-A’raf [7]:54)
“Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Dzat yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?” (Qs. Al-Fushshilat [41]:9)
“Dan Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:10) “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:11-12)
Hari dalam Pandangan al-Qur’an
Yang dimaksud dengan hari (yaum) pada ayat yang menjadi obyek bahasan adalah penggalan dari masa bukan hari dalam artian umum dan yang galib terlintas dalam benak kita. Karena hari dalam pandangan kita sebagai penghuni bumi adalah satuan gerakan planet bumi yang berputar mengelilingi dirinya yang satu kali putarannya disebut sebagai satu hari. Atau dengan kata lain, kita menyebutnya sebagai sehari dan semalam. Penyebutan hari bagi sepenggalan waktu sangat umum digunakan. Di antaranya adalah firman Allah Swt yang menyatakan, “Kami mempergilirkan hari-hari di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (Qs. Ali Imran [3]:140) Dan juga berfirman, “Lantas apakah mereka tidak menunggu-nunggu hari-hari yang sama dengan kejadian dan balasan (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka.” (Qs. Yunus [10]:102) Dan semisalnya yang menyebut hari sebagai satu penggalan dari masa.[1]
Namun harap diperhatikan bahwa kendati hari bermakna sedemikian namun persoalannya tidak akan selesai begitu saja. Karena itu kita harus menjawab pertanyaan ini.
Penentuan Rezeki Bumi dalam masa Empat Hari
Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana ayat-ayat di atas (surah al-Fusshilat) menyebutkan penciptaan bumi dalam masa dua hari, gunung-gunung, pelbagai keberkahan, makanan dalam empat hari dan sebagai ikutan ayat-ayat ini, penciptaan bumi juga terjadi dalam masa dua hari yang secara keseluruhan totalnya menjadi delapan hari?
Sementara banyak ayat dalam al-Qur’an menyebutkan penciptaan tujuh petala langit dan bumi secara keseluruhan terjadi dalam tempo enam hari atau dengan ungkapan lain terjadi selama enam masa.[2]
Para penafsir al-Qur’an mengemukakan beberapa jalan dalam menjawab pertanyaan ini:
Jalan pertama yang masyhur dan dikenal banyak orang adalah bahwa redaksi ayat yang menyebutkan “arba’at ayyam” (empat hari) maksudnya adalah sempurnanya empat hari. Hal itu terjadi sebagaimana berikut, pada dua hari pertama dari empat hari ini bumi diciptakan. Pada dua hari kedua, pelbagai tipologi bumi lainnya di tambah penciptaan tujuh petala langit selama dua hari yang total keseluruhannya menjadi enam hari (enam masa).
Contoh ungkapan seperti ini terdapat pada bahasa Arab dan Persia yang sebagai contoh disebutkan bahwa, “Dari tempat ini ke Mekkah memakan jarak selama sepuluh hari, hingga Madinah selama lima belas hari. Artinya terdapat jarak lima hari antara Mekkah dan Madinah. Dan sepuluh hari jarak dari sini ke Mekkah. Namun apabila ayat-ayat tidak menyebutkan penciptaan terjadi selama enam hari maka penafsiran seperti ini tidak dapat diterima. Mengingat ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat lainnya dan menjadi indikasi bagi yang lainnya, maka penafsiran di atas dapat diterima dengan baik.
Jalan lainnya yang disokong oleh sebagian kecil penafsir: Arba’at ayyam (empat hari) tidak berhubungan dengan awal penciptaan melainkan tengah menyinggung empat musim setiap tahunnya yang menjadi sumber munculnya rezeki dan pengembangan bahan-bahan makanan manusia dan hewan.[3]
Jalan ketiga, terkait dengan rezeki maka yang digunakan adalah redaksi “qaddara.” Sementara sehubungan dengan penciptaan langit dan bumi digunakan redaksi “khalaqa.” Artinya empat hari ini adalah penentuan rezeki-rezeki bukan penciptaannya. Dengan penjelasan ini boleh jadi persoalan utamanya sudah terjawab dengan tuntas; karena persoalan yang dapat dilontarakan di sini adalah manakala hari-hari penentuan rezeki kita dudukan sejajar dengan penciptaannya (sebagaimana yang telah lakukan oleh Pengguna Yang Budiman). Selain itu, inti persoalan telah terjawab dengan tuntas.
Dengan memperhatikan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, “Hari-hari yang disebutkan pada ayat-ayat ini bertautan dengan penciptaan langit-langit dan bumi adalah empat hari. Dua hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk menegakkan tujuh petala langit, setelah itu sebelumnya berupa asap. Namun hari-hari setelah kejadian penciptaan bumi dan tujuh petala langit adalah hari-hari penentuan (rezeki) bukan penciptaan rezeki. Dan apa yang dinyatakan dalam firman Allah Swt secara berulang adalah bahwa Allah Swt menciptakan tujuh petala langit dan bumi dalam masa enam hari, bukan kumpulan penciptaan dan penentuan rezeki. Karena itu yang benar bahwa zharf (adverb of time, keterangan waktu) hanyalah qaid untuk kalimat berikutnya sehingga tidak lagi memerlukan pembuangan (hadzf) dan juga tidak perlu dipandang sebagai kalimat taqdiri (perkiraan). Dan yang dimaksud dengan penentuan rezeki-rezeki bumi adalah (pembagian rezeki) pada empat musim dalam setahun.”[4]
Dengan demikian, tidak terdapat masalah pada mukjizat Rasulullah Saw juga pada ilmu Matematika! Masalahnya adalah terletak pada kita yang tanpa memiliki keahlian dan tanpa merujuk kepada ahlinya kita telah memberikan penilaian atasnya. [IQuest]
[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tarjemeh Qur’ân (Makarim), Dar al-Qur’an al-Karim, (Daftar Muthala’at Tarikh wa Ma’arif Islami), Qum, Cetakan Kedua, 1373 S.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 362 dan 363, Daftar Intisyarat-e Islami, Jami’at al-Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
[3]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 20, hal. 225.
[4]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 363 dan 364.