Hisyam bin Hakam merupakan sahabat hebat dan dekat dengan Imam Shadiq as. Suatu hari Hisyam bin Hakam bertemu dengan seorang ateis bernama Abdullah Deishani. Ia bertanya kepada Hisyam, "Apakah engkau memiliki Tuhan?"
Hisyam menjawab, "Iya."
Abdullah, "Apakah Tuhanmu itu maha kuasa?"
Hisyam, "Iya. Tuhahku selain Maha Kuasa juga menguasai segala sesuatu."
Abdullah, "Apakah Tuhanmu dapat memasukkan seluruh dunia ini dalam sebuah telur ayam, tanpa mengecilkan dunia dan membesarkan telur ayam?"
Hisyam berkata, "Tolong beri saya waktu untuk menjawab pertanyaanmu ini."
Abdullah mengatakan, "Saya memberimu waktu selama setahun untuk dapat menjawab pertanyaan ini."
Hisyam kemudian pergi menemui Imam Shadiq as. Sesampainya di hadapan Imam Shadiq as ia mengatakan, "Wahai putra Rasulullah Saw. Aku bertemu dengan Abdullah Deishani dan ia mengajukan pertanyaan kepada saya. Untuk menjawab pertanyaannya, saya tidak punya tempat untuk bersandar kecuali kepada Allah Swt dan Anda."
Imam Shadiq as bertanya, "Memangnya apa yang ditanyakannya kepadamu?"
Hisyam berkata, "Ia bertanya, ‘Apakah Allah mampu meletakkan dunia yang sebesar ini ke dalam telur ayam tanpa mengecilkan dunia dan membesarkan telur?"
Imam berkata, "Wahai Hisyam! Engaku memiliki berapa indera?"
Hisyam, "Saya memiliki lima indera; penglihatan, perasa, pendengaran, pembau dan peraba."
"Yang mana dari panca indera ini yang paling kecil," tanya Imam.
"Indera penglihatan," jawab Hisyam.
"Memangnya seberapa besar hitamnya mata?" Imam kembali bertanya.
"Hanya seukuran biji kacang atau lebih kecil dari itu," jawab Hisyam.
Imam kemudian berkata, "Wahai Hisyam! Sekarang lihatlah ke depan dan atas kepalamu. Katakan kepadaku apa saja yang engkau lihat?"
Hisyam menengadahkan kepalanya dan berkata, "Saya melihat langit, bumi, rumah, istana, padang pasir dan sungai."
Imam melanjutkan, "Allah yang Maha Kuasa menciptakan semua dengan ukuran yang sebesar itu berada di matamu. Oleh karenanya, Allah mampu meletakkan dunia ini ke dalam telur, tanpa harus mengecilkan dunia dan membesarkan telur ayam.
Saat itu juga Hisyam tunduk sebagai penghormatan kepada Imam Shadiq as dan langsung mencium tangan beliau. Ia berkata, "Wahai putra Rasulullah ! Jawaban ini sudah cukup bagi saya."
Hisyam kemudian kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya Abdullah menemui Hisyam dan berkata, "Aku datang hanya ingin mengucapkan salam kepadamu, bukan untuk mengetahui apa jawaban dari pertanyaanku itu."
Hisyam menjawab, "Bila engkau menginginkan jawaban dari pertanyaanmu, maka ini jawabannya."
Kemudian Hisyam menjelaskan sesuai dengan yang dijelaskan oleh Imam Shadiq as.
Mendengar jawaban itu, Abdullah Deishani tidak puas dan ingin menemui sendiri Imam Shadiq as dan menyampaikan pertanyaannya. Ia kemudian pergi ke rumah Imam Shadiq dan meminta agar diizinkan masuk ke rumah. Ia akhirnya mengantongi izini dan langsung berjalan ke dalam dan duduk di dekat Imam. Ia berkata, "Wahai Jakfar bin Muhammad! Tolong tuntun aku menuju sesuatu yang aku sembah!"
Imam berkata, "Siapa namamu?"
Abdullah tidak mengucapkan namanya, tapi malah keluar dari rumah. Beberapa temannya heran menyaksikan sikapnya dan bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak mengatakan siapa namamu?"
Ia menjelaskan, "Bila aku mengatakan namaku adalah Abdullah yang berarti hamba Allah, maka saya dapat menebak pertanyaan selanjutnya Imam Shadiq adalah siapa yang engkau sembah."
Teman-temannya memintanya untuk kembali kepada Imam dan katakan kepadanya, "Tolong tuntun aku menuju sesuatu yang aku sembah, tapi jangan tanya namaku!"
Abdullah akhirnya kembali dan berkata kepada Imam Shadiq as, "Tolong tuntun aku menuju sesuatu yang aku sembah, tapi jangan tanya namaku!"
Imam Shadiq as kemudian mengisyaratkan kepadanya dan berkata, "Duduklah di sana."
Abdullah kemudian duduk. Pada waktu itu, seorang dari anak Imam Shadiq as sedang memegang memegang telur dan memainkannya sambil berjalan ke tempat duduk Abdullah.
Imam kemudian berkata kepada anakanya, "Berikan telur itu kepadaku."
Anaknya memberikan telur yang ada di tangannya kepada ayahnya dan Imam mengambilnya. Imam lalu menghadap Abdullah dan berkata:
"Wahai Deishani! Lihatlah telur ini yang dilindungi oleh:
1. Kulit yang keras.
2. Di balik kulit yang keras itu terdapat kulit yang lembut.
3. Di balik kulit yang lembut itu ada putih telur
4. Setelah itu adalah kuning telur yang berkumpul dengan putih telur tanpa bercampur satu dengan lainnya. Mereka tetap dalam kondisinya sejak awal. Tidak ada pihak ketiga dari luar yang menyusun mereka sedemikian rupa, sehingga dapat mengaku bahwa saya yang melakukannya. Begitu juga tidak ada perusak dari luar yang masuk ke dalam dan mengakatakan bahwa saya yang merusaknya. Tidak juga jelas apakah yang akan dihasilkan adalah anak jantan atau betina. Karena tiba-tiba telur ini pecah dan burung seperti merak yang berwarna-warni keluar dari telur itu.
Apakah menurutmu susunan yang begitu indah ini tidak memiliki pengatur?"
Abdullah Deishani tidak menjawab apa-apa. Kepalanya hanya bisa melihat ke bawah untuk beberapa saat. Setelah itu ia mengangkat kepalanya, sementara hatinya telah dipenuhi cahaya keimanan. Ia berkata, "Saya bersumpah "Laa Ilaaha Illallah", "Muhammad Rasulullah" dan Anda adalah hujjah Allah di tengah masyarakat. Saya bertaubat atas akidah batil yang saya yakini dahulu dan saya sangat menyesal. (IRIB Indonesia)
Sumber: Dastanha-ye Usul Kafi, Mohammad Mohammadi Eshtehardi, 1371Hs, jilid 1.
source : http://indonesian.irib.ir/