Oleh:Haidar Bagir
"Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatul-lah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturrahim). Dan silaturrahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati sesama."
Rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari tersebut bukan saja mengandung konsep cinta (dalam hadis di atas terungkap dalam gagasan tentang rahmah, kasih-sayang), namun juga kebahagiaan (yang dalam versi Bahasa Arab hadis tersebut terungkap dalam kata surur, salah satu kata yang dipakai al-Qur’an untuk mengungkapkan gagasan tentang kegembiraan atau kebahagiaan, di samping farah dan, yang lebih mendasar lagi, sa’adah, thabah, serta falah).
Memang, pada kenyataannya, gagasan tentang kebahagiaan sangat terkait dengan cinta dan kasih-sayang. Bahkan, kita dapat menyatakan bahwa memberi dan memberikan kebahagiaan adalah hakikat dari cinta itu sendiri. Cinta tak lain dan tak bukan adalah sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan – yang mendatangkan kebahagiaan -- kepada yang dicintai. Sebagian ulama mendeskripsikan cinta sebagai dorongan untuk selalu memberi. Mencintai adalah sebuah prinsip menempatkan kebutuhan dan kepentingan kita di bawah (atau setelah) kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Karena cinta, kita rela mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita demi terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Inilah filosofi dasar cinta dan kasih sayang. Dan ini berlaku bagi siapa pun, bahkan bukan hanya terbatas pada makhluk yang bernama manusia, melainkan juga hewan, tumbuhan, benda-benda “mati”, tak terkecuali juga Allah, Tuhan semesta alam.
Meski tak memiliki karsa bebas sendiri, sesungguhnya hewan, tumbuhan, bahkan benda-benda “mati” ber-ada di alam semesta, tumbuh, dan beraktivitas, dalam rangka mengejar kesempurnaan, mengejar kebaikan puncak yang mungkin dicapainya sesuai dengan potensi (qadr, kadar)-nya masing-masing. Dengan kata lain, mereka ber-ada dalam suatu cara sedemikian, sehingga keberadaan mereka dapat memberikan manfaat maksimum bagi semesta. Kenyataannya, sudah merupakan suatu fakta ilmiah bahwa alam secara ekologis berfungsi dalam keseimbangan-maksimumnya. Bahwa, jika keseimbangannya tak diganggu – oleh berbagai ulah perusakan – alam akan memberikan manfaat atau kebaikan maksimum (cinta) kepada penghuninya:
“... Tak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Maka, lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu kekurangan di dalamnya? (QS. 67 : 3) ***
source : www.ahlulbaitindonesia.org