Mengapa dalam a-Quran iman kepada malaikat disebutkan terlebih dahulu dari pada iman kepada rasul? Apakah para malaikat lebih mulia dari para rasul?
Jawaban Global
Iman kepada para malaikat Allah merupakan salah satu bentuk iman kepada yang ghaib serta perwujudan dari penyembahan dan penghambaan kepada Allah Swt. Iman kepada para malaikat; yaitu pengakuan pada keberadaan, perbuatan, dan tindakan mereka yang dilakukan di dunia dan di akhirat.
Terdapat perbedaan pendapat di antara para teolog mengenai keutamaan dan kemuliaan para nabi atas para Malaikat. Sebagian dari teolog Asyʻariyah dan seluruh teolog syiʻah -dengan pertimbangan dalil naqli dan aqli- berpendapat bahwa para nabi lebih mulia dibanding para malaikat.
Namun jika pada sebagian ayat nama malaikat disebut sebelum para nabi, maka hal itu tidaklah menunjukkan lebih mulianya para malaikat; karena sebagaimana telah disebutkan bahwa para nabi lebih mulia dibanding para malaikat; mengingat kemuliaan tersebut tidak menyebabkan terbentangnya sekian jarak di antara mereka.
Demikian pula halnya pada penyebutan nama para malaikat seperti Jibril dan Mikail adalah di akhir dan setelah semua malaikat-malaikat disebut, padahal mereka adalah termasuk malaikat-malaikat Allah yang agung dan mulia.
Oleh itu, urutan penyebutan para malaikat dan nabi-nabi bukan merupakan alasan atas urutan tingkat dan posisi keberadaan mereka. Selain itu dalam kaedah bahasa Arab «waw» athaf tidak selalu menjelaskan urutan.
Jawaban Detil
Pada beberapa ayat dalam al-Quran, para malaikat disebutkan sebelum para nabi; seperti pada ayat:
«مَن کَانَ عَدُوًّا ِللهِ وَ مَلآئِکَتِهِ وَ رُسُلِهِ وَ جِبْرِیْلَ وَ مِیْکَالَ فَإِنَّ اللهَ عَدُوٌّ لِّلْکَافِرِیْنَ»
"Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir." (Qs. Al-Baqarah [2]:98)
Atau pada ayat lainnya:
«آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَیْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَ الْمُؤْمِنُوْنَ کُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَ مَلآئِکَتِهِ وَ کُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ
لاَ نُفَرِّقُ بَیْنَ أَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ وَ قَالُوْا سَمِعْنَا وَ أَطَعْنَا غُفْرَانَکَ رَبَّنَا وَ إِلَیْکَ الْمَصِیْرُ»
"Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), "Kami tidak membeda-bedakan seorangpun dari Rasul-rasul-Nya." Dan mereka berkata, "Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali." (Qs. Al-Baqarah [2]:98)
Supaya tafsir ayat-ayat yang telah disebutkan menjadi jelas, maka ada baiknya dua topik yang berkenaan dengan teologi dan kalam harus diuraikan terlebih dahulu: iman kepada para malaikat serta keutamaan dan kemuliaan para nabi atas para malaikat.
Iman kepada Para Malaikat
Iman kepada para malaikat Allah merupakan salah satu bentuk iman kepada yang ghaib serta perwujudan dari penyembahan dan penghambaan kepada Allah Swt. Iman kepada para malaikat; yaitu pengakuan pada keberadaan, perbuatan, dan tindakan mereka yang dilakukan di dunia dan di akhirat. Dan bahwa para Malaikat adalah salah satu ciptaan dari sekian makhluk-makhluk Allah, Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya di alam semesta. Dia mengirim mereka untuk memberlakukan aturan-aturan-Nya, dan mereka adalah makhluk-makhluk yang berasal dari alam ghaib[1] dimana kita tidak menyaksikan mereka dengan mata, namun kita beriman secara definitif (qathʻi) dan pasti kepada mereka serta tidak ada sama sekali jalan keraguan dan penolakan padanya; karena Allah dan Rasulullah SAW mengabarkan tentang mereka.
Dalam al-Quran, Allah mewajibkan atas kita beriman kepada para malaikat. Allah Swt berfirman:
«لَّیْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَکُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ وَ لَکِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ
وَ الْیَوْمِ الْآخِرِ وَ الْمَلآئِکَةِ وَ الْکِتَابِ وَ النَّبِیِّیْنَ»
"Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi." (Qs. Al-Baqarah [2]:177)
Allah menempatkan iman kepada para malaikat dalam rangkaian iman kepada Tuhan dan kitab-kitab (samawi) serta para nabi.
Allah Swt berfirman:
«... وَ مَنْ یَکْفُرْ بِاللَّهِ وَ مَلائِکَتِهِ وَ کُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْیَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً بَعیداً»
"...Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh." (Qs. Al-Nisa [4]:136)
Tema tersebut, yaitu penempatan iman kepada para malaikat oleh Quran dalam rangkaian iman kepada Allah dan para nabi serta kitab-kitab (samawi), merupakan dalil akan pentingnya dan fundamentalnya masalah tersebut. Oleh itu, tidak diragukan lagi wujud para malaikat merupakan perkara-perkara ghaib yang untuk membuktikannya dengan sifat-sifat dan ciri khas tidak ada jalan kecuali dalil-dalil naqliyah,[2] dan ketentuan iman pada keghaiban mereka harus diterima.
Kemuliaan Para Nabi atas Para Malaikat
Terdapat perbedaan pendapat di antara para teolog mengenai keutamaan dan kemuliaan para nabi atas para Malaikat. Sebagian dari teolog Asyʻariyah dan seluruh teolog Syiah -dengan pertimbangan dalil naqli dan aqli- berpendapat bahwa para nabi lebih mulia dibanding para malaikat.[3] Muktazilah dan sebagian Asyʻariah yang lain; seperti Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani dan Abu Abdillah Hubla meyakini bahwa malaikat lebih utama dan lebih mulia dari para nabi.[4]
Tentang kemuliaan para nabi atas para malaikat dalil-dalil aqli dan naqli telah di ajukan; seperti mengenai malaikat yang sujud kepada Adam dan Adam mengajarkan nama-nama kepada malaikat serta pemilihan para nabi oleh Allah dari sekian makhluk dimana malaikat adalah termasuk di antaranya. Pada nabi sebagaimana merupakan seorang makhluk, mereka mampu melawan syahwat dan amarah, namun potensi ini tidak ada pada malaikat.[5]
Dengan kata lain; para nabi lebih baik dan lebih mulia dari para malaikat dan sebab lebih mulianya para nabi adalah mereka memiliki syahwat dan amarah serta kemampuan-kemampuan melawan potensi akal, dan akal membuat kemampuan-kemampuan tersebut patuh dan taat, dan tinggallah mereka (para nabi) menjadi maksum, tetapi para malaikat yang maksum tidak memiliki fakultas-fakultas seperti syahwat dan amarah. Kemaksuman para malaikat adalah seperti bayi-bayi tanpa dosa. Dan sementara kemaksuman para nabi adalah seperti remaja yang utuh dan bersih dengan (tetap memiliki potensi) syahwat dan amarah.[6]
Imam Ridha As menukil dari leluhurnya yang agung dan beliau (menukil) dari Rasulullah Saw yang bersabda: "Allah Swt tidak menciptakan suatu ciptaan yang lebih utama dan lebih mulia dari Aku." Imam Ali As bertanya, "Ya Rasulullah! Engkaukah yang lebih utama atau Jibril? Rasulullah berkata: "Ya Ali! Allah Swt berhak memberikan keutamaan dan memuliakan para nabi utusan-Nya dengan (kemuliaan) malaikat muqarrabin (terkemuka) dan Aku termasuk dari kumpulan para nabi -yang memiliki risalah atau tidak- yang Dia beri keutamaan. Ya Ali! Keutamaan, setelah aku adalah untukmu serta imam-imam sesudahmu dan Malaikat-malaikat pelayan kita dan pelayan-pelayan para pencinta kita.."[7]
Nabi Saw bersabda: "Aku lebih utama dan lebih mulia dari Jibril, Mikail, Israfil, serta dari seluruh malaikat muqarrab dan aku adalah manusia terbaik serta keturunan Adam yang termulia."[8]
Imam Hasan Askari As bersabda, "Orang-orang munafik bertanya kepada Nabi Saw, "Apakah Ali lebih utama atau malaikat terkemuka (muqarrab) Allah?" Nabi Saw bersabda, "Tidakkah demikian bahwa malaikat, menjadi muhtaram (terhormat) dan muqarrab kecuali (jika) melalui kecintaan terhadap Muhammad dan Ali serta menerima wilâyat (otoritas) keduanya? Setiap dari para pencinta Ali akan bersih hatinya dari noda yang tak disadari, ketidakjujuran, tipuan, dan kotoran dosa, mereka lebih bersih dan lebih utama dari malaikat. Apakah bukan karena malaikat menganggap diri mereka lebih baik dari Adam sehingga mereka diperintahkan untuk bersujud kepadanya dan siapapun yang datang mereka menganggap diri mereka lebih mulia darinya pada aspek keutamaan keagamaan dan pengetahuan tentang Tuhan serta pengetahuan-pengetahuan keagamaan. Allah ingin memahamkan pada mereka bahwa mereka keliru pada anggapan tersebut, Dia menciptakan Adam dan mengajarkan kepadanya seluruh nama-nama kemudian mengajukan (pertanyaan) pada malaikat dan mereka (malaikat) tidak dapat menjawab, Dia memerintahkan Adam untuk mengajarkan dan memahamkan pada mereka bahwa dalam ilmu ia lebih mulia dari pada Malaikat. Kemudian dari sulbi Adam keluarlah benih yang sebagian dari mereka adalah para nabi, para rasul, hamba-hamba mulia Allah, yang terbaik dari mereka adalah Muhammad dan setelah beliau adalah keluarganya beserta pribadi-pribadi menonjol di antara para sahabat Muhammad dan individu-individu yang cakap dari umatnya."[9]
Syaikh Shaduq berkata bahwa keyakinan kita pada kemuliaan para nabi dan para rasul serta para hujjatullah adalah bahwa mereka lebih mulia dari malaikat. Dan, adalah ketika Allah berfirman kepada Malaikat:
«وَ إِذْ قالَ رَبُّکَ لِلْمَلائِکَةِ إِنِّی جاعِلٌ فِی الْأَرْضِ خَلِیفَةً قالُوا أَ تَجْعَلُ فِیها مَنْ یُفْسِدُ فِیها
وَ یَسْفِکُ الدِّماءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ قالَ إِنِّی أَعْلَمُ ما لا تَعْلَمُونَ»
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan) khalifah (di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau." (Qs. Al-Baqarah [2]:28)
Secara singkat hal yang di cari para malaikat adalah mengharapkan posisi dan kedudukan Adam As dan adalah jelas bahwa mereka tidak dapat memiliki kedudukan dan posisi (tersebut) kecuali kedudukan yang lebih mulia dari kedudukan mereka sendiri![10]
«وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ کُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِکَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِیْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ کُنْتُمْ صَادِقِیْنَ. قَالُوْا سُبْحَانَکَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّکَ أَنْتَ الْعَلِیْمُ الْحَکِیْمُ.
قَالَ یَا آدَمُ أَنبِئْهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَّکُمْ إِنِّیْ أَعْلَمُ غَیْبَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ أَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَ مَا کُنْتُمْ تَکْتُمُوْنَ»
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama) benda-benda (seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:" Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab:" Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman:" Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:" Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan!" (Qs. Al-Baqarah [2]:31-33)
Seluruh hal tersebut adalah sebab keutamaan dan kemuliaan Adam As atas malaikat; dengan dalil bahwa Allah berfirman, "Hai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini."[11]
Di antara dalil-dalil yang membuktikan kemuliaan Adam As atas malaikat adalah bahwa Allah Swt memerintahkan malaikat sujud kepada Adam dan jelas Allah tidak memerintahkan untuk bersujud kecuali yang kedudukannya lebih tinggi darinya dan sujud yang disebutkan adalah penghambaan malaikat kepada Allah Swt dan penghormatan terhadap Nabi Adam As karena dari sulbi Adam keluarlah benih yang sebagian dari mereka adalah Nabi Saw dan para imam maksum As.[12]
Kesimpulan:
Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat diambil dua kesimpulan sebagaimana berikut:
Menurut teolog Syiah para nabi dan para maksum memiliki kedudukan lebih tinggi dari para Malaikat.
Namun, adalah pada sebagian ayat nama malaikat disebut sebelum para nabi, tidaklah menunjukkan lebih mulianya para malaikat; karena sebagaimana telah disebutkan bahwa para nabi lebih mulia dibanding para malaikat; mengingat kemuliaan tersebut tidak menyebabkan terbentangnya sekian jarak di antara mereka.[13] Demikian pula halnya pada penyebutan nama para malaikat seperti Jibril dan Mikail adalah di akhir dan setelah semua malaikat-malaikat disebut, padahal mereka adalah termasuk malaikat-malaikat Allah yang agung. Oleh itu, urutan penyebutan para malaikat dan nabi-nabi bukan merupakan alasan atas urutan tingkat dan posisi keberadaan mereka. [14] Selain itu dalam kaedah bahasa Arab «waw» athaf tidak selalu menjelaskan urutan. [iQuest]
[1]. Nasir Makarim Syirazi, al-Amtsal fi Tafsir Kitabullâh al-Munzal, jil. 14, hal. 16, Madrasah Imam Ali Bin Abi Thalib AS, Qom, Cet. Pertama, 1421 H; Indeks: "Alam Malaikat dan Iman kepada Mereka," Pertanyaan 17523.
[2]. Tentang sifat-sifat, karakteristik, dan tugas-tugas para malaikat silahkan lihat, Qs. al-Anbiya (21):26; Qs. Al-Haqqah (69): 17; Qs. Al-Naziyat (79): 5; Qs. Al-A'raf (7): 37; Qs. Al-Infithar (82): 10-13; Qs. Al-An'am (6): 61; Qs. Hud (11): 77; Qs. Al-Ahzab (33): 9; Qs. Al-Nahl (16): 2; Qs. Al-Syura (42): 5; Qs. Al-Shaffaat (37): 164-166.
[3]. Fayyadh Lahidji, Gauhar Murâd, hal. 427, Nasyr Soye, Tehran, Cet. Pertama, 1383 S.
[4]. Ibid, hal. 427.
[5]. Ibid, hal. 427; Sa'duddin Taftazani, Syarh al-Maqâsid, Muqaddima, peneliti dan edit, Abdul Rahman Amirah, jil. 5, hal. 65-66, al-Syarif al-Ridha, Afsat, Qom, Cet. Pertama, 1409 H; Muhammad bin Hasan Syaikh Tusi, al-Tibyân fi Tafsir al-Qur'ân, kata pengantar oleh Syaikh Agha Buzurg Tehrani, riset oleh Ahmad Qashir Amuli, jil. 1, hal. 150, Dar Ihya al-Turats al- Arabi, Beirut.
[6]. Abul Hasan Sya'rani, Syarh Farsi Tajrid al-I'tiqâd, hal. 506, Nasyr Islamiyah, Tehran.
[7]. Syaikh Shaduq, ‘Uyun Akhbâr al-Ridhâ As, Riset dan edit oleh Mahdi Lazuardi, jil. 1, hal. 262, Intisyarat Jahan, Tehran, Cet. Pertama, 1378 S.
[8]. Syaikh Shaduq, al-I'tiqâd, hal. 90, al-Mu'tamar al-Alami li Syaikh al-Mufid, Qom, Cet. Kedua, 1414 H.
[9]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal. 136-137, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, Cet. Kedua, 1403 H.
[10]. Al-I'tiqâdât, Hal. 89.
[11]. Ibid, hal. 89-90.
[12]. Ibid, hal.90
[13]. Fadhl bin Hasan Thabarsi,, Majma' al-Bayân fi Tafsir al-Qur'ân, pengantar: Muhammad Jawad Balaghi, jil. 3, hal. 225, Nashir Khusru, Tehran, Cet. Ketiga, 1372 S.
[14]. Salahuddin Abu Sa'id Khalil bin Keykildi Dimasyqi ‘Ala'i, al-Fushul al-Mufidah fi al-Wâw al-Mazidah, hal. 85, Dar al-Bashir, Oman, Cet. Pertama, 1410 H.
source : www.islamquest.net