Hamzah bin Abdul Mutthalib dengan gelar Asadullah, Asadur-Rasulullah dan Sayyidu Syuhada adalah paman Nabi dan merupakan salah seorang syahid perang Uhud. Hamzah adalah pendukung utama dakwah Nabi, bahkan diriwayatkan meskipun ia belum masuk Islam, ia selalu menjaga Nabi Saw dari gangguan kaum Musyrikin. Ia termasuk pembesar dan tokoh suku Quraisy. Oleh itu, setelah Hamzah masuk Islam, gangguan kepada Nabi Muhammad Saw yang dilancarkan oleh kaum musyrikin semakin berkurang.
Setelah memeluk Islam, Hamzah turut pula dalam peperangan dan gugur sebagai syahid di perang uhud. Kaum Musyrikin memotong-motong badannya. Nabi Muhammad Saw menangis melihat Hamzah berada dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Semenjak zaman itu, setiap kali wanita Anshar hendak menangisi orang yang meninggal, mmereka akan menangisi Hamzah terlebih dahulu. Nabi Saw memasukkan Hamzah ke bagian dari tujuh orang terbaik dari Bani Hasyim dan menilainya pula sebagai syahid terbaik.
Nama, Gelar dan Julukan
Hamzah bin Abdul Mutthalib, paman Nabi Muhammad Saw merupakan salah satu syuhada perang Uhud. Gelarnya adalah Abu ‘Amarah dan Abu Ya’la. [1] Ibunya Halah binti Uhaib (Wuhaib) bin Abdul Manaf bin Zuhrah. [2]
Ia dijuluki dengan Asadullah atau Asadur-Rasulullah. [3] Berdasarkan hadis dari Nabi Muhammad Saw, gelar ini mendapat sokongan Ilahi meskipun setelah zaman kesyahidannya dan ia terkenal dengan julukan sayidus syuhada. [4] atau orang yang pemahamannya tajam. [5] Kata Hamzah sendiri artinya adalah singa. [6]
Kelahiran
Berdasarkan riwayat yang ada mengatakan bahwa Tsuwaibah, budak Abu Lahab menyusui Nabi Muhammad Saw dan Hamzah, [7] dan juga penegasan Nabi Saw bahwa Hamzah adalah saudara susuannya. [8] Hamzah maksimal 2 tahun lebih besar dari umur Nabi Muhammad Saw. Sebagian menyebutkan bahwa perbedaan umur ini hingga 4 tahun[9] dengan didasarkan pada keraguan para peneliti tentang ibu susu Tsuwaibah terdapat Nabi Muhammad Saw, [10] bahkan boleh jadi lebih banyak. Oleh itu, kelahiran Hamzah kemungkinan 2 hingga 4 tahun sebelum Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Saw.
Sebelum Masuk Islam
Hamzah ikut serta pada perang Fihar dan Hilf al-Fudhul. Ia, Abu Thalib dan juga paman-paman Nabi yang lain juga hadir pada acara pertunangan Khadijah. Bahkan sebagian sumber mengatakan bahwa meskipun perbedaan usianya dengan Nabi Saw tidak begitu lama dan akad nikah dibacakan oleh Abu Thalib, namun dalam acara peminangan itu hanya disebutkan nama Hamzah. [11]
Pada tahun ketika Quraisy mengalami kekeringan yang sangat mencekik, dan karena mengikuti usulan Nabi Muhammad Saw untuk menolong Abu Thalib yang memiliki banyak anak, Hamzah bersedia menjadi orang tua asuh Ja’far. [12] Thabari menyebutkan nama Abbas sebagai ganti nama Hamzah. [13]
Hamzah adalah seorang pemburu dan rajin pergi berburu. .[14] Pada zaman jahiliyah ia adalah salah seorang anak Abdul Mutthalib yang menduduki kepala suku Quraisy dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga sebagian orang mengikat janji dengannya. [15]
Setelah Masuk Islam
Pada suatu hari ketika Nabi mengajak keluarga dekatnya untuk masuk Islam pada Yaumu Indzar, Hamzah juga hadir. [16]
Semenjak Hamzah belum masuk Islam, ia seperti Abu Thalib selalu menjaga Nabi Muhammad dari gangguan kaum musrik Quraisy. Berdasarkan sebagian nukilan sejarah, Hamzah membalas penghinaan Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad Saw. [17]
Memeluk Islam
Pada suatu hari, Abu Jahal berada di dekat gunung Shafa dan bertemu dengan Nabi Muhammad Saw kemudian mengatakan perkataan buruk kepada beliau. Nabi tidak membalas perkataan buruk itu. Ketika itu ada seorang pelayan disana dan melihat kejadian itu. Tak lama setelah itu, Hamzah datang ke Mekah sepulang dari berburu. Kebiasaan Hamzah adalah mentawafi Ka’bah ketika pulang kembali ke Mekah. Kemudian ia mendekati ke kumpulan orang-orang Quraisy dan berbincang-bincang dengan mereka. Orang Quraisy menyukai Hamzah karena ia adalah seorang ksatria. Pada saat Hamzah menemui orang-orang yang dikenalnya, pelayannya mendatanginya dan berkata: Tuan, ketika Anda tidak ada, tahukah yang dikatakan Abu Jahal kepada kemenakan Anda? Hamzah menghampiri Abu Jahal yang sedang duduk dengan beberapa pemuka orang Quraisy.
Hamzah mencucukkan anak panahnya ke atas kepada Abu Jahal sehingga kepala Abu Jahal pun luka hingga darah mengalir dari kepalanya. Kemudian Hamzah berkata: Kau telah melaknat Muhammad, memangnya kau tidak tahu bahwa aku sudah memeluk agama yang dibawa Muhammad? Aku mengucapkan apa-apa yang ia ucapkan. Bani Mahzum berdiri untuk menolong Abu Jahal tapi Abu Jahal berkata: Biarkan Hamzah, karena aku telah melaknat kemenakannya. Inilah yang menjadikan Hamzah masuk Islam. Setelah mengetahui bahwa Muhammad memiliki pelindung yang kuat dan akan menjaganya dari bahaya seperti Hamzah, kaum Quraisy kurang menggangu Nabi. [18]
Berdasarkan riwayat dari Imam Sajad As, yang menjadikan Hamzah masuk Islam adalah karena ghirahnya ketika ia menyaksikan kaum Musyrikin melempar perut unta ke kepala Muhammad Saw. [19] Meskipun demikian, sebagian peneliti berkeyakinan bahwa ke-Islam-an Hamzah semenjak permulaan Islam datang dan hal itu berdasarkan pengetahuan dan ma’rifahnya. [20]
Ia memeluk Islam pada tahun ke-2 atau ke-6 Bi’tsah dan sebelum Abu Dzar masuk Islam. [21] Ke-Islaman Hamzah memiliki pengaruh positif bagi keluarga Bani Hasyim. [22] Pengetahuan kita tentang Hamzah setelah ia masuk Islam hingga hijrah tidak begitu banyak. Setelah Nabi Muhammad Saw memulai dakwah secara terang-terangan, Hamzah juga berdakwah secara terbuka. [23] Ia tetap berada di sisi Nabi Saw dalam berbagai kesempatan seperti ketika Nabi Saw tidak pindah ke Habasyah. [24] Selama dua atau tiga tahun kaum Musyrikin mengepung Bani Mutthalib dan Bani Hasyim di Syi’b Abu Thalib, Hamzah bersama dengan kaum Muslimin yang lainnya. [25]
Pada baiat Aqabah yang kedua, pada tahun ke-12 Bi’tsah, ketika masyarakat Madinah mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad Saw, Hamzah bersama dengan Ali bin Abi Thalib menjaga Nabi Saw sehingga kaum musyrikin tidak mengganggu Nabi. [26]
Hijrah ke Madinah
Hamzah pada perjanjian persaudaraan kaum Muslimin di Mekah, mengikat persaudaraan dengan Zaid bin Haritsah dan pada hari Uhud Zaid diangkat sebagai washinya. [27] Pada perjanjian Madinah, sebelum perang Badar ia mengikat perjanjian persaudaraan dengan Kultsum bin Hadam. [28] Nabi Muhammad memberikan panji perang pertama kali pada bulan Ramadhan tahun pertama Hijrah kepada Hamzah di Syria. Ia memimpin regu untuk melawan karawan perdagangan kaum Quraisy dari Syria ke Mekah. Hamzah bersama dengan 30 orang Muhajirin sampai di ‘Aish dipinggiran laut dan di sana berhadap-hadapan dengan 300 penunggang kuda yang dikomandani oleh Abu Jahlm. Dengan perantara Muhammad bin Amru dan Juhani yang mengadakan perjanjian perdamaian, maka peperangan urung terjadi dan kedua belah pihak kembali ke tempatnya masing-masing. [29] Hamzah juga sebagai pembawa panji perang dalam peperangan Abwa atau Waddan, Dzul ‘Usyairah dan Bani Qainuqa’. [30] Dalam perang Badar, Hamzah berada dalam front terdepan dalam menghadapi pasukan kaum Musyrikin. [31] Nabi Muhammad Saw mengirim Hamzah, Ali bin Abi Thalib As, Ubaidah bin Harist bin Abdul Mutthalib untuk menghadapi duel dengan pemuka kaum Musyrikin. Berdasarkan laporan sejarah yang berbeda-beda, Utaibah bin Rabi’ah atau Syaibah terbunuh ketika berduel dengan Hamzah. [32] Pada peristiwa Sadd Abwab, juga diisyaratkan nama Hamzah. Seolah-olah Hamzah adalah salah seorang yang juga memiliki pintu ke arah masjid Nabawi. Nabi memerintahkan semua rumah kecuali rumah Ali As untuk dikunci, Hamzah menanyakan sebabnya dan Nabi Muhammad Saw menjawab bahwa hal itu adalah perintah dari Allah Swt. [33] Meskipun dari sebagian riwayat kita memahami bahwa peristiwa ini berhubungan dengan masa setelah Fathu Makkah, namun riwayat pertama lebih kuat. [34] Menjelang perang Uhud pada tahun ke-3 Hijarh, Hamzah adalah diantara orang-orang yang mengusulkan supaya peperangan diadakan di luar Madinah hingga ia bersumpah tidak akan makan apa-apa sampai ia berperang dengan pihak lawan di luar Madinah. Ia adalah penanggung jawab inti pasukan Islam, ia berperang dengan menggunakan dua pedang dan menunjukkan keberaniannya yang luar biasa.[35]
Syahid
Perang Uhud meletus pada pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawal tahun ke-3 H. Pada peperangan ini, Hamzah syahid di tangan Wahsyi bin Harb, budak Habasyi, anak perempuan Harits bin Amar bin Naufal atau ghulam Jubair bin Muth’im. [36] Berdasarkan sebuah riwayat, anak perempuan Harits dengan menjanjikan kebebasan bagi Wahsyi, ingin supaya ia membalas dendam ayahnya yang terbunuh dalam perang Badar. Harits tewas ditangan Nabi Saw atau Ali As atau Hamzah. [37] Berdasarkan riwayat yang lainnya, Jubair bin Muth’im demi membalas dendam pamannya, Thu’amah yang terbunuh di Badar berjanji kepada Wahsyi untuk membebaskannya. [38] Namun tak diragukan lagi bahwa Hindun, anak perempua Utaibah dan istri Abu Sufyan yang lebih mendorong Wahsyi untuk melakukan pembunuhan terhadap Hamzah dari pada karena faktor Jubair maupun anak perempuan Harits. Hindun ingin membalas dendam karena ayah, saudara dan pamannya terbunuh dalam perang Badar. Berdasarkan beberapa nukilan, semenjak awal Hindun dengan menjanjikan harta kepada Wahsyi, mendorongnya untuk melakukan pembunuhan terhadap Hamzah. [39]
Dimutilasinya Badan Hamzah
Menurut riwayat, Hindun bernazar untuk dapat memakan hati Hamzah. [40] Wahsyi pada awalnya berjanji untuk membunuh Ali As. Namun di medan peperangan ia membunuh Hamzah dan membawakan hati Hamzah untuk Hindun. Hindun memberikan baju dan perhiasannya kepada Wahsyi dan berjanji akan memberian dinar di Mekah. Kemudian Hindun pergi ke arah jasad Hamzah dan memotong-motong badan Hamzah. [41] Dari jasad Hamzah, kemudian ia membuat anting, gelang dan kalung. Lalu membawa hati Hamzah ke Mekah. [42] Disebutkan juga bahwa Muawiyah bin Mughairah dan Abu Sufyan juga ikut memotong-motong atau mencabik-cabik tubuh Hamzah. [43] Karena jasad Hamzah sangat mengenaskan, sebagian sahabat[44] bersumpah akan memotong-motong tubuh pihak musuh sebanyak 30 bahkan lebih. Namun pada saat itu turun surah al-Nahl ayat 126 bahwa meskipun mereka diperbolehkan untuk membalas dengan perbuatan yang setimpal, tapi apabila mereka bersabar, maka hal itu adalah tindakan yang lebih baik.[45]
Pemakaman
Hamzah adalah syahid perang Uhud yang disolati oleh Nabi Muhammad Saw, kemudian syahid-syahid yang lainnya dibawa kehadapan Nabi beberapa kali untuk disalatkan dan meletakkan para syahid itu didekat jasad Hamzah, sehingga Nabi mensalati mayat-mayat mereka dan mayat Hamzah. Dengan demikian kira-kira Hamzah disalati sebanyak 70 kali baik secara sendiri maupun bersamaan dengan jenazah-jenazah yang lainnya. [46] Hamzah diletakkan dalam kain kafan yang dibawakan oleh saudarinya, Shafiyah karena kaum Musyrikin membiarkan Hamzah dalam keadaan telanjang.
Menangisi Hamzah
Nabi Muhammad Saw menangis karena melihat jenazah Hamzah yang sangat memilukan. [47] Ketika Nabi Saw mendengar orang-orang Anshar menangisi para kerabatnya, Nabi berkata, “Tidak ada yang menangisi Hamzah.” Karena Sa’ad bin Mu’adz mendengar perkataan ini, maka ia membawa para wanita ke rumah Nabi untuk menangisi Hamzah. Semenjak saat itu, setiap wanita Anshar yang akan menangisi kerabatnya yang telah meniggal dunia, maka mereka akan menangisi Hamzah terlebih dahulu. [48] Dilaporkan bahwa Zainab binti Abu Salmah menangisi Hamzah selama tiga hari dan mengenakan pakaian duka. [49]
Kuburan Hamzah
Disebutkan bahwa Sayidah Fatimah As pergi berziarah ke pusara Hamzah dan meletakkan batu di atas makamnya. [50] Kaum Umawi dikarenakan memiliki rasa permusuhan dengan Nabi Muhammad Saw bertindak kurang ajar terhadap pemakaman Hamzah dan pemakaman-pemakaman yang lainnya. Diberitakan bahwa Abu Sufyan pada masa pemerintahan Utsman menendangkan kakinya di pusara Hamzah dan berkata kepadanya, apa yang pada masa lalu engkau jaga sehingga berperang dengan kami, maka pada masa sekarang menjadi alat permainan anak-anak muda kami. [51] Muawiyah kira-kira 40 tahun setelah meletusnya perang Uhud, dengan maksud mengalirkan mata air dan kanal di Uhud, dan nampaknya karena rasa permusuhannya dengan keluarga Nabi Saw, memerintahkan untuk membongkar makam para syuhada Uhud termasuk pusara Hamzah dan memindahkan kuburan mereka ke tempat lain. Kelihatannya, beberapa makam para syuhada, termasuk makam Hamzah dipindah. [52] Semenjak dahulu, terdapat masjid dan kubah di atas kuburan Hamzah. Namun setelah Wahabi menguasai kerajaan Arab Saudi di Hijaz, kubah yang menaungi pusara Hamzah itu dirusah pada tahun 1344. [53] Demikian juga masjid Hamzah, masjid lain yaitu yang dikenal dengan masjid Uhud, masjid Ali dan masjid Hamzah yang dibangun di sebelah barat pusara syuhada Uhud juga dirusak. [54] Pusara Hazah semenjak dahulu telah menjadi perhatian para ziarah, khususnya peziarah Syiah termasuk orang-orang Iran yang pergi ziarah ke Madinah.
Kedudukan Hamzah
Contoh pengaruh mendalam dari kepribadian Hamzah dan kecintaannya terhadap Hamzah adalah setelah ia syahid sebagian sahabat-sahabat memberikan nama anaknya dengan nama Hamzah. [55] kesyahidan Hamzah dan Ja’far bin Abu Thalib mengurangi kekuatan Bani Hasyim dalam menghadapi kaum Quraisy dan menjadi salah satu sebab bagi Imam Ali As tidak menjadi khalifah sepeninggal Nabi Muhammad Saw.[56]
Keutamaan Hamzah dalam Riwayat
Imam Ali As dan para Imam yang lainnya dalam berargumen dengan orang-orang yang menentangnya, membanggakan keluarganya yaitu dengan menyebut nama-nama Hamzah dan Ja’far. [57] Mengenai kemuliaan dan karamah Hamzah dalam riwayat[58] disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa Hamzah, Ja’far bin Abi Thalib dan Ali adalah sebaik-baik orang[59] dan merupakan bagian dari tujuh orang terbaik dari keturunan Bani Hasyim. [60] dan juga menyebut Ali As, Ja’far dan Hamzah sebagai syuhadah terbaik. [61] Rasulullah bersabda bahwa Hamzah memperhatikan syarat-syarat kekeluargaan dan berperilaku baik. [62] Isyarat kepada kuda Hamzah yang bernama Ward dan pedangnya, Liyah[63] dan segala sesuatu yang merupakan kepemilikannya menandakan akan perhatian kedudukan maknawinya yang terus berlangsung hingga abad-abad selanjutnya.
Anak-anak
Hamzah memiliki 3 orang putra: ‘Amarah, Ya’la dan Amir. [64] ‘Amarah (putra tertua Hamzah) ikut serta dalam perang Fatah di Irak. [65] Ya’la memiliki 5 anak laki-laki. [66] Meskipun tidak banyak referensi-referensi yang menyebutkan keturunan Hamzah, [67] namun pada abad ke-10 sebagian orang-orang mengetahui keturunannya. [68] Terdapat banyak nama bagi anak-anak perempuan Hamzah yang disebutkan dalam sumber-sumber sejarah. Menurut keterangan dari kebanyakan literatur-literatur yang ada menyebutkan nama Murajjah atau Umamah[69] Nama Umamah termasuk salah seorang perawi hadis Ghadir Khum.[70]
Catatan Kaki
1. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 8; Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 3, hlm. 282.
2. Ibnu Kalbi, Jumhurah al-Nasab, jld. 1, hlm. 28; Ibnu Hisyam, Al-Sirah 3. al-Nabawiyah, bag. 1, hlm. 109.
3. Silahkan lihat: Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 68; Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 8.
4. Silahkan lihat: Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 290; Nahj al-Balāghah, surat ke-28.
5. Ibnu Duraid, Kitāb al-Isytiqāq, jld. 1, hlm. 45-46.
6. Silahkan lihat: Zubaidi, Tāj al-’Arus, jld. 8, hlm. 53.
7. Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 9.
8. Silahkan lihat: Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 108-110; Kulaini, Al-Kāfi, jld. 5, hlm. 437.
9. Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 70; Ibnu Abdul Barr, Al-Isti’āb, jld. 1, hlm. 369.
10. Silahkan lihat: Al-Shahih min Sirah al-Nabi, jld. 2, hlm. 71-78.
11. Silahkan lihat: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98, 100, 103; jld. 2, 15; Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 20; Ibnu Ishaq, Kitab Sair wa al-Maghāzi, hlm. 82; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 1, hlm. 189-190.
12. Silahkan lihat: Abul Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibin, hlm. 26.
13. Thabari, Tārikh, jld. 2, hlm. 313.
14. Ibnu Habib, Kitāb al-Munammaq, hlm. 243.
15. Silahkan lihat: Ibnu Habib, Kitab al-Muhabbar, hlm. 164-165; Ibid, Kitab al-Munammaq; Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 153.
16. Ibnu Ishaq, Kitab al-Sair wa al-Maghāzi, hlm. 145-146; Thabari, Tarikh, jld. 2, hlm. 319-320.
17. Silahkan lihat: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 131; Kulaini, Al-Kāfi, jld. 1, hlm. 449.
18. Syahidi, Tārikh Tahlili Islam, hlm. 45; Ibnu Ishaq, Kitab al-Seir wa al-Maghāzi, hlm. 171-172; Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 1, hlm. 291-292.
19. Silahkan lihat: Kulaini, Al-Kāfi, jld. 1, hlm. 449, jld. 2, hlm. 308.
20. Amili, Al-Sahih min Sirah al-Nabi, jld. 3, hlm. 153-154.
21. Ibnu Abdul Barr, Al-Isti’ab, jld. 1, hlm. 369; Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 9; Kulaini, al-Kāfi, jld. 8, hlm. 298.
22. Silahkan lihat: Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, hlm. 123.
23. Silahkan lihat: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 123.
24. Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 1, hlm. 243-244.
25. Silahkan lihat: Ibnu Ishaq, hlm. 160-161.
26. Ali bin Ibrahim al-Qumi, Tafsir al-Qumi, Qs al-Anfal: 30.
27. Silahkan lihat: Ibnu Hubaib, Kitab al-Munammaq, hlm. 70; Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 1, hlm. 505.
28. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 270.
29. Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 9; Ibnu Hisyam Al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 1, hlm. 596-599; Ibnu Sa’ad Al-Thabaqāt, jld. 2, hlm. 6.
30. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 2, hlm. 8-9, jld. 3, hlm. 10.
31. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 12.
32. Silahkan lihat: Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 68-69; Thabari, Tarikh, jld. 2, hlm. 445.
33. Samhudi, Wafā al-Wafā, jld. 2, hlm. 477-479.
34. Silahkan lihat: Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi, jld. 5, hlm. 342 dst.
35. Silahkan lihat: Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 211; Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 12; Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 76, 83, 259 dan 290.
36. Ibnu Ishaq, Kitab al-Sirah al-Maghāzi, hlm. 323; Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 10; Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 285.
37. Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 285.
38. Ibnu Ishaq, Kitab al-Seir wa al-Maghāzi, hlm. 323, 329; Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 2, hlm. 70-72.
39. Silahkan lihat: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 286-287; Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir al-Qumi, jld. 1, hlm. 116.
40. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 12.
41. Dengan memotong telinga atau bibis, seseorang yang menyiksa orang lain, Farhang Lughat Amid.
42. Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 285-286.
43. Silahkan lihat: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 338; Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, bag. 2, hlm. 93.
44. Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir al-Qumi, Thusi, Al-Tibyan, Qs Al-Nahl: 126
45. Ibnu Ishaq, Kitab al-Seir wa al-Maghāzi, hlm. 335.
46. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 11, bandingkan dengan jld. 3, hlm. 16; Silahkan lihat: Nahj al-Balāghah, surat ke-28; Kulaini, Al-Kāfi, jld. 3, hlm. 186. 70 takbir.
47. Ibnu Abdul Barr, Al-Isti’ab, jld. 1, hlm. 374.
48. Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 315-317; Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 11, jld. 3, hlm. 17.
49. Ibnu Atsir, Al-Nihāyah, jld. 5, hlm. 68.
50. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 19; Ibnu Syabbah Numairi, Kitab Tarikh al-Madinah al-Munawarah, jld. 1, hlm. 132.
51. Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hlm. 136.
52. Waqidi, Kitab al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 267-268; Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 11; Ibnu Syabbah Numairi, Kitāb al-Tārikh al-Madinah al-Munawarah, jld. 1, hlm. 133; Muhammad Baqir Najafi, Madinah Syenasi, jld. 2, hlm. 275.
53. Ja’far Khayath, Al-Madinah al-Munawarah fi al-Maraji’ al-Gharibah, hlm. 245; Najmi, Hamzah Sayyidus Syuhada, hlm. 191, 212.
54. Qaidan, Tārikh wa Atsar Islāmi Makah wa Madinah al-Mukaramah, hlm. 332.
55. Silahkan lihat: Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 5, hlm. 186; Kulaini, Al-Kāfi, jld. 6, hlm. 19; Hakim Nisyaburi, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld. 3, hlm. 196.
56. Kulaini, Al-Kāfi, jld. 8, hlm. 189-190; Silahkan lihat juga: Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 11, hlm. 111, 115, 116.
57. Silahkan lihat: Nahj al-Balāghah, surat ke-28; Thabari, Tarikh, jld. 5, hlm. 424; Najmi, Hamzah Sayyidus Syuhada, hlm. 37-50.
58. Silahkan lihat: Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 12; Najmi Hamzah Sayyidus Syuhada, hlm. 21-35.
59.Silahkan lihat: Abul Faraj Isfahani, Maqatil al-Thalibin, hlm. 17.
60. Kulaini, Al-Kāfi, jld. 8, hlm. 50.
61. Al-Kulaini, jld. 1, hlm. 450.
62. Silahkan lihat: Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 13-14.
63. Ibnu Hubaib, Kitab al-Munammaq, hlm. 407-411.
64. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 8.
65. Baladzuri, Insāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 288-289.
66. Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 9.
67. Silahkan lihat: Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 9, Ibnu Qudamah, Al-Tabyin fi Ansab al-Qurasyiyin, hlm. 147.
68. Silahkan lihat: Agha Buzurg Tehrani, Al-Dzari’ah, jld. 26, hlm. 96.
69. Silahkan lihat: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 283; Ibnu Atsir, jld. 6, hlm. 21, 147, 199, 219, 378.
70. Amini, Al-Ghadir, jld. 1, hlm. 139.