Pendahuluan
Sekiranya ada seseorang berkisah kepada Anda, bahwa ia pernah menyaksikan setumpuk kayu di tepi laut. Kemudian secara tiba-tiba kayu-kayu tersebut berubah menjadi sebuah kapal besar yang sangat indah dengan sendirinya.
Sekiranya saya bercerita kepada Anda; pada suatu hari, saya menyaksikan setumpuk tanah, batu-bata dan beberapa sak semen di tanah kosong yang terletak di depan rumah saya. Kemudian bahan-bahan bangunan tersebut berubah menjadi sebuah apartemen pencakar langit yang megah dengan sendirinya; tanpa seorang pun yang membangunnya.
Mendengar kisah pertama dan kedua, apa komentar Anda?
Saya yakin, pasti Anda akan mengatakan kepada saya, bahwa kisah-kisah semacam itu hanya dibuat-buat dan fiktif belaka. Saya pun tidak merasa heran jika Anda mengatakan bahwa pembawa kisah tersebut kurang normal akal dan pikirannya. Karena siapapun yang berakal sehat -anak kecil sekalipun, bahkan setiap orang yang mengingkari eksistensi Tuhan sekalipun- akan mengatakan bahwa hal itu mustahil terjadi.
Ketika Anda melihat lukisan yang indah dan menarik, dapat dipastikan Anda akan berkomentar: “Oh, betapa indahnya lukisan ini, dan betapa pelukisnya mahir dalam menggoreskan berbagai cat yang berwarna-warni di atas kanvas”. Pasti tidak akan terlintas di benak siapapun yang menyaksikan lukisan indah tersebut, bahwa lukisan itu muncul dan menempel di dinding dengan sendirinya, tanpa seorang pun yang melukis dan menempelkannya di dinding tersebut. Karena fenomena semacam ini, merupakan persoalan yang sangat jelas dan gamblang, sehingga akal siapapun tidak akan mengingkari hal itu.
Ketika Anda melihat tatanan sebuah kota yang begitu rapih, indah dan teratur, yang belum pernah Anda saksikan sebelumnya, dengan spontan Anda akan mengatakan: “Alangkah pandainya bapak insinyur yang mengatur dan menata kota ini”.
Ungkapan Anda semacam itu menunjukkan, bahwa setiap insan yang berakal sehat -secara naluri dan di sepanjang sejarah kehidupan- meyakini wujud pencipta, pembuat dan pengatur atas segala yang mereka saksikan. Terutama ketika menyaksikan sesuatu yang indah yang belum pernah ia saksikan sama sekali sepanjang hidupnya.
Keteraturan Alam
Keteraturan dan keindahan alam raya yang kita saksikan ini, merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari oleh semua manusia. Karena mereka telah merasakan dan menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri akan keindahan alam semesta ini. Tidak logis dan mustahil, jika mereka mengatakan bahwa hal itu hanya fatamorgana belaka. Oleh karenanya, setiap orang yang mengamati penciptaan alam raya ini, tidak akan mengingkari atau menolak akan keteraturan dan kerapihannya.
Setelah dibuktikan bahwa alam semesta yang sangat teratur dan indah ini tidak muncul dan eksis dengan sendirinya, ketika itu hati nurani setiap insan yang berakal sehat akan bertanya-tanya: “Siapakah yang mengatur alam semesta ini, hari demi hari dan waktu demi waktu, ia bergerak sesuai dengan aturannya? Sebenarnya di balik pertanyaan tersebut terdapat sebuah keyakinan yang mendasar dan cukup urgen, bahwa alam semesta yang indah ini pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya.
Kami yakin bahwa Anda -selaku mahasiswa dan aktivis- pernah membaca sebuah buku yang cukup menarik bagi Anda. Dengan berdecak penuh kekaguman Anda membacanya, karena susunan kata-kata dan pembahasannya yang begitu menarik dan sistematik. Apa komentar Anda ketika itu? Pasti Anda akan mengatakan: “Alangkah pandainya penulis buku ini”. Atau, mungkinkah Anda akan mengatakan bahwa penulis buku itu adalah orang bodoh, atau buku itu muncul di hadapan Anda secara kebetulan dan dengan sendirinya? Tidak, tidak mungkin Anda mempunyai pikiran dan suara hati semacam itu. Karena hal itu mustahil terjadi di belahan dunia manapun.
Indahkah seandainya rembulan dan bintang-bintang yang bertebaran di langit yang tinggi itu muncul pada siang hari? Kira-kira apa yang akan terjadi apabila matahari, bumi dan planet-planet lainnya bergeser sedikit saja dari porosnya masing-masing?
Indahnya bulan purnama dan bintang-bintang gemerlap yang kita saksikan pada malam hari, dan teraturnya gerakan benda-benda langit tersebut sesuai dengan jalur dan jadwalnya masing-masing, menunjukkan kepada kita, bahwa semua itu tidak eksis dengan sendirinya, tidak muncul secara thafrah, shudfah ataupun spontanitas. Tetapi semua itu ada yang menciptakan dan mengaturnya.
Filosof Barat dan Tuhan Pencipta
David Hume, salah seorang filosof Idealis Barat menulis dalam bukunya sebagai berikut: “Setiap hasil karya manusia itu dihasilkan dan dibuat oleh manusia itu sendiri. Sebuah bangunan tidak mungkin ada tanpa ada yang membangunnya. Perahu tidak akan ada tanpa ada yang membuatnya.
Adapun alam semesta berbeda dengan hasil karya dan buatan manusia. Alam semesta ini ada secara natural, karena hasil karya manusia dan alam semesta ini adalah dua hal yang berbeda. Karenanya, kita tidak mungkin menyimpulkan dan menyandarkan hukum satu terhadap hukum yang lainnya.
Benar, bahwa kita dapat mengadakan analisa terhadap hasil karya manusia. Dari situ dapat disimpulkan, bahwa semuanya itu merupakan hasil karya orang-orang pandai di bidangnya masing-masing. Tetapi kita tidak dapat melakukan analisa terhadap keterciptaan alam semesta ini. Karena keberadaannya tidak terulang lagi, sehingga manusia tidak dapat menganalisa keberadaan penciptanya. Atas dasar ini, maka manusia tidak dapat menetapkan dan menyimpulakan bahwa alam semesta ini ada yang menciptakannya.
Sekarang, apa komentar Anda terhadap pernyataan Bung David tersebut? Yang menjadi persoalan adalah: apakah untuk membuktikan atau menetapkan bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan atau tidak, harus melalui proses analisa terlebih dahulu?
Ketika seseorang melihat sebuah bangunan megah, perahu besar, buku yang menarik atau lukisan yang indah, dengan spontan akal sehatnya menghukumi akan adanya orang pandai yang membangun, membuat, menulis atau melukisnya. Dan hal itu tanpa melalui proses analisa terlebih dahulu. Karena secara refleks benak dan hatinya akan bertanya-tanya: Siapakah pembuatnya? Jika demikian, mungkinkah alam semesta yang luas dan sangat teratur rapih ini, yang jauh mengungguli hasil karya manusia, ada secara natural, dengan sendirinya dan tanpa ada yang menciptakannya? Bagaimana mungkin akal sehat dapat menetapkan dan menghukumi bahwa setiap hasil karya manusia itu pasti manusia itu sendiri yang membuatnya. Sementara ia (akal sehat) tidak dapat menetapkan dan menghukumi adanya sang pencipta bagi alam semesta dan jagad raya ini?
Apakah keberadaan bintang-bintang yang indah di malam hari dan perputaran bumi ini, ada secara natural dan spontanitas? Apakah matahari yang selalu terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat, terjadi secara natural juga?
Tentu, akal sehat siapapun akan menolak ideologi semacam ini. Karena hal itu tidak logis.
Eksistensi Manusia
Sebagaimana alam semesta ini ada yang menciptakan, menjaga dan mengaturnya, dan tidak mungkin tercipta dengan sendirinya, maka eksistensi manusia pun tidak mungkin ada secara natural atau spontanitas, karena manusia adalah makhluk istimewa dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain di alam semesta ini.
Benar, bahwa manusia -secara fisikal- merupakan makhluk yang lebih kecil bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya di alam yang luas ini. Tetapi di dalam wujud manusia tersimpan berbagai keajaiban yang luar biasa. Manusia adalah makhlkuk sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dan kesempurnaannya itu karena akalnya, sehingga dengan akal manusia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk dan antara yang batil dan yang benar.
Seluruh anggota tubuh manusia, seperti jantung, hati, sel-sel, urat saraf, otak dan yang lainnya, semuanya itu memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, walaupun masing-masing anggota tersebut memiliki cara, fungsi dan aturan kerja yang berbeda-beda. Lebih dari itu bukankah para pakar biologi telah menganalisa sel-sel yang ada pada diri manusia? Apabila sel-sel itu disambung antara yang satu dengan yang lainnya, maka panjangannya bisa menjadi tiga kali lipat lingkaran bumi. Sungguh betapa manusia makhluk yang menakjubkan.
Ada anggapan bahwa penciptaan manusia berasal dari kera, kemudian ia berproses menjadi manusia, seperti kita sekarang ini. Bertapa sederhana dan dangkalnya pemikiran dan pandangan semacam ini. Bukankah manusia adalah makhluk yang memiliki akal, sehingga mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah? Bukankah manusia itu makhluk yang berbudaya? Pernahkah sejarah mencatat bahwa kera adalah makhluk yang berbudaya? Atau pernahkah sejarawan menemukan puing-puing bekas peninggalan kebudayaan kera? Tidakkah hakikat manusia berbeda dengan kera? Para ilmuan telah membuktikan bahwa kera merupakan makhluk yang sama sekali tidak berbudaya.
Dengan kebesaran dan keajaiban yang terdapat di dalam diri manusia, mungkinkah dapat dikatakan bahwa manusia itu ada dan eksis secara aksidental dan bersifat natural?
Tidak seorang pun yang ragu bahwa yang menciptakan manusia memiliki ilmu dan kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak dapat dijangkau oleh siapapun. Dia mampu menciptakan manusia yang sangat sempurna bila dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Kesempurnaan manusia itu terletak pada akalnya, sehingga dengan akal tersebut manusia dapat berpikir, bekerja dan menapaki langkah-langkah kemajuan teknologi mutakhir.
Sebenarnya tidak sebuah argumen apapun yang dapat menafikan eksistensi Sang Pencipta jagat raya ini. Namun kebanyakan umat manusia selalu berusaha mendustakan-Nya. Sementara di sekitarnya dan pada kehidupannya terdapat tanda-tanda Sang Pencipta sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Tuhan, betapa Engkau ada di sekitar kami. Bahkan Engkau lebih dekat dari urat leher kami.
source : Al-Hassanain