Ulu albâb artinya empu akal, pemikiran, pemahaman dan pemilik pandangan batin. Sebagai lawannya adalah orang bodoh, dungu, buta hati dalam menerima kebenaran. Berdasarkan sebuah riwayat yang dikutip dari Imam Shadiq As, personifikasi jelas dan terang ulu albâb adalah orang-orang Syiah yang beriman kepada wilâyah para imam secara umum dan Imam Ali secara khusus serta berbaiat dan tetap setiap dengan baiatnya.
Ulû albâb terdiri dari kata ulul yang merupakan kata benda jamak; yaitu kata tunggal yang bermakna jamak; seperti kata “dzû” yang merupakan kata tunggal yang bermakna pemilik. Ulû juga bermakna para pemilik.
Albâb bermakna akal-akal, bentuk jamaknya adalah lubb.[1] Dan lubb artinya adalah akal murni dan tidak ternoda... karena itu, setiap lubb adalah akal namun tidak setiap akal itu adalah lubb.[2]
Kata ini digunakan sebanyak 16 kali dalam al-Quran.[3] Allah Swt menjadikan manusia-manusia berpikir sebagai obyek firman-Nya dalam al-Quran sebanyak empat kali. Salah satu dari ayat tersebut adalah pada ayat:
«أفَمَنْ یَعْلَمُ أَنَّما أُنْزِلَ إِلَیْکَ مِنْ رَبِّکَ الْحَقُّ کَمَنْ هُوَ أَعْمى إِنَّما یَتَذَکَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ»
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Qs. al-Ra’ad [13]:19)
Untuk mengenal lebih baik ulû albâb dari sudut pandang al-Quran, baiknya mari kita bersama mengkaji ayat yang disebutkan di atas.
Kalimat retoris yang digunakan pada ayat ini adalah kalimat retoris pengingkaran (negasi) dimana Allah Swt ingin menjelaskan dengan firman-Nya bahwa antara orang yang mengetahui kebenaran dan orang yang dungu tentangnya.[4] Karena itu Ulû albâb artinya empu akal, pemikiran, pemahaman dan pemilik pandangan batin. Sebagai lawannya adalah orang bodoh, dungu, buta hati dalam menerima kebenaran.
Ciri-ciri Ulû albâb dalam Pandangan al-Quran
Untuk mengenal Ulû albâb, Allah Swt menjelaskan sifat-sifat dan ciri-ciri pada ayat-ayat selanjutnya beserta kedudukan mulia mereka sebagaimana berikut:
“(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs. al-Ra’ad [13]:20) Mereka adalah orang-orang yang tetap setia dan loyal terhadap ikrar dan janji kepada Allah Swt pada hari alastu (alam dzar) untuk menerima wilâyah Imam Ali dan para Imam Maksum As.
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.” (Qs. al-Ra’ad [13]:21) Artinya mereka secara mutlak adalah orang-orang yang gemar bersilaturahmi, dan juga dengan pandangan khusus sekali-kali tidak pernah memutus hubungan dengan Rasulullah Saw dan Ahlulbait Rasulullah dalam ucapan dan perbuatan, bahkan mereka senantiasa bersilaturahmi dengan tuturan dan ucapan, menyampaikan kecintaan mereka, mengikat tali persahabatan dan kecintaan kepada mereka dalam keyakinan dan perbuatan.
“Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Qs. al-Ra’ad [13]:21) Artinya mereka takut kepada segala janji-janji azab Tuhannya dan bersikap khusyu kepada Tuhannya.
“Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Qs. al-Ra’ad [13]:21) Yaitu di samping takut kepada janji-janji azab Ilahi yang bersifat mutlak, mereka juga takut terhadap azab hari kiamat tatkala semua amalan diperhitungkan.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhan mereka.” (Qs. al-Ra’ad [13]:22) Kesabaran dan ketabahan yang dilakukan untuk Allah Swt ini boleh jadi digunakan dalam menghadapi pelbagai kesulitan dan persoalan duniawi demikian juga di hadapan musuh-musuh eksternal atau di hadapan makar dan tipuan hawa nafsu.
“Mendirikan salat.” (Qs. al-Ra’ad [13]:22)
“Dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau terang-terangan.” (Qs. al-Ra’ad [13]:22)
“Serta menolak keburukan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (Qs. al-Ra’ad [13]:22) Yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik mereka menguburkan perbuatan-perbuatan buruk atau menolak keburukan dengan kebaikan.
[5]
Ulû albâb dalam Pandangan Imam Shadiq As
Personifikasi terpenting Ulû albâb sebagaimana tuturan Imam Shadiq As adalah orang-orang Syiah. Uqbah bin Khalid berkata, “Saya dan Mualla (bin Khunais) datang menghadap kepada Imam Shadiq As dimana ketika itu beliau tidak ada di tempat. Kemudian beliau datang dari kediamannya, duduk dan bersabda, “Kalian adalah personifikasi Ulû albâb yang disebutkan dalam Kitabullah. Berilah kabar gembira bahwa karena kalian adalah salah satu dari dua kebaikan dari sisi Allah Swt.”[6]
Rahasia tuturan Imam Shadiq As yang menafsirkan Ulul albâb itu sebagai Syiah adalah “akal yang tidak bersambung dengan pemilik akal tidak akan tersterilkan dari ilusi dan fantasi. Kalau pun bersambung dengan baiat umum kenabian, akal (tetap) tidak akan tersterilkan; karena Rasulullah Saw dengan baiatnya membangun akal dengan bantuan ilusi dan fantasi.”[7]
Dengan demikian, kedudukan Rasulullah Saw, tidak mensterilkan akal, melainkan mencampurnya dengan lapisan dan kulit fantasi, berbeda kalau bersambung dengan baiat khusus wilâyah, karena pemilik baiat khusus dari sisi pokok, iman adalah pensteril akal dari noda fantasi. Dan atas dasar itu, seseorang yang bersambung dengan baiat khusus wilâyah maka hal itu menegaskan ahwa ia adalah pemilik akal, meski ia belum lagi memperoleh akal. Demikian juga, pemilik wilâyah, sesuai dengan nilai wilâyahnya, akal dan otak, dan pemilik risalah, sesuai dengan nilai risalahnya adalah laksana kulit dan bersambung dengan wilâyah menjadi manifestasi pemilik wilâyah dan sebagai kesimpulannya dengan penilaian ini adalah sebagai pemilik akal. Di samping hal yang telah disebutkan perlu ditegaskan bahwa manusia tanpa wilâyah adalah manusia tanpa otak dan otaknya tidak akan pernah tertutup kecuali dengan wilâyah; karena dalam baiat kepada wali, kualitas dan kondisi wali urusan (wali amr) masuk dalam hati orang yang membaiat yang menyebabkan terwujudnya hubungan ayah dan anak di antara keduanya dan kondisi tersebut adalah iman yang masuk dalam diri seseorang.”[8] [iQuest]
[1]. Hasan Mustafawi, Tafsir Rausyan, jil. 12, hal. 167, Markaz Nasyr Kitab, Tehran, Cetakan Pertama, 1380 S.
Fakhruddin Thuraihi, Majma’ al-Bahrain, Riset oleh Sayid Ahmad Husaini, jil. 2, hal. 165, Kitabpurusyi Murtadhawi, Tehran, Cetakan Ketiga, 1375 S.
[2]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, Riset oleh Shafwan Adnan Dawudi, hal. 733, Dar al-Qalam, al-Dar al-Syamiyah, Damaskus, Beirut, Cetakan Pertama, 1412 H.
[3]. (Qs. al-Baqarah [2]:179, 197 dan 269); (Qs. Ali Imran [3]:7 dan 190); (Qs. al-Maidah [5]:100); (Qs. Yusuf [12]:111); (Qs. al-Ra’ad 13]:19); (Qs. Ibrahim [14]:52; (Qs. Shad [38]:29 & 43); (Qs. al-Zumar [39]:9, 18 dan 21); (Qs. Ghafir [40]:54); (Qs. Thalaq [66]:10).
[4]. Sayid Ali Akbar Qarasyi, Qâmus Qur’ân, jil. 6, hal. 176-177, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keenam, 1371 S.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 11, hal. 342, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
[6]. Muhammad bin Ali Syarif Lahiji, Tafsir Syarif Lahiji, Riset oleh Husaini Armawi (Muhaddits), Mir Jalaluddin, jil. 2, hal. 595-598, Daftar Nasyr Dad, Tehran, Cetakan Pertama, 1373 S.
[7]. Ibnu Hayyun, Nu’man bin Muhammad, Syarh al-Akhbâr fi Fadhâil al-Aimmah al-Athhar As, Riset dan edit oleh Muhammad Husain Husaini Jalali, jil. 3, hal. 473, Jamiah Mudarrisin, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
عقبة بن خالد قال: دخلت أنا و المعلّى [بن خنیس ] على أبی عبد اللّه علیه السلام فی مجلسه و لیس هو فیه، ثم خرج علینا من جانب البیت من عند ساریة، فجلس، ثم قال: أنتم اولو الالباب فی کتاب اللّه، قال تعالى: «إِنَّما یَتَذَکَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ» فأبشروا، فأنتم على إحدى الحسنیین من اللّه ؛
[8]. Sultan Muhammad Gunabadi, Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmah al-‘Ibâdah, jil. 2, hal. 382, Muassasah al-‘Alami lil Mathbu’at, Beirut, Cetakan Kedua, 1408 H.
source : Site Islam Quest