Tak diragukan lagi bahwa para cendikiawan dan intelektual yang adil tak dapat mengingkari kepribadian luhur dan pengaruh Rasulullah Saw, karena semakin mereka meneliti jejak-jejak nabi Islam maka mereka akan menemukan ketinggian akhlak beliau, kemajuan budaya dan peradaban manusia berkat perjuangan beliau. Terkait misi Nabi Muhammad, al-Quran surat al-Ahzab ayat 45-46 menyatakan, "Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi."
Dari sebuah wilayah yang menyatukan benua Asia, Afrika dan Eropa diutuslah para nabi yang menyeru manusia kepada kebahagiaan. Lima nabi besar yang dikenal dengan sebutan Ulul Azmi di sebuah wilayah strategis dunia yang saat ini disebut Timur Tengah dengan beragam metode menyampaikan satu pesan dan memiliki satu tujuan. Mereka menyebarkan dakwah dan menyeru manusia untuk menyembah Tuhan Yang Esa dan berupaya menerapkan keadilan di dunia serta memerangi kezaliman.
Ketika bahtera Nabi Nuh as kandas di gunung Judi selepas badai topan hebat, Nuh beserta pengikutnya yang sedikit itu bertekad membangun dunia baru serta memulai sejarah manusia. Selanjutnya seruan tauhid dan penyembahan terhadap Tuhan Yang Esa Nabi Ibrahim as memenuhi wilayah Babil. Nabi Musa as dengan tongkatmukjizatnya dengan tabah menghadapi Fira'un guna menyelamatkan umatnya dari cengkeraman diktator Mesir tersebut. Fira'un sendiri menyebut dirinya Tuhan dan rakyat dianggap budak-budaknya.
Setelah Nabi Musa as, Nabi Isa diutus di tengah-tengah jeritan kaum tertindas. Beliau menyeru umatnya untuk menyembahTuhan Yang Esa dan memberi kabar gembira akan kedatangan nabi akhir zaman. Akhirnya setelah kegelapan dan kemusyrikan berkuasa di tengah masyarakat dan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah Arab, diutuslah nabi akhir zaman, Muhammad Saw di kota Mekah. Nabi Muhammad Saw membawa pesan-pesan tertinggi terkait kemuliaan manusia, hak asasi manusia dan kebebasan sepanjang sejarah.
Nabi Muhammad Saw merupakan manifestasi kesempurnaan sepanjang sejarah para nabi dan auliya Allah. Menurut Ayatullah Khamenei, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, "Ketika kita menyebut nama Rasulullah, maka seluruh kepribadian besar Ibrahim, Nuh, Musa, Isa, Luqman dan seluruh hamba-hamba saleh terkumpul dalam kepribadian nabi akhir zaman ini."
Di peradaban modern saat ini, bersamaan dengan meluasnya Islam, gerakan anti agama samawi yang paling sempurna ini oleh kubu ekstrim dan jumud mulai marak. Gerakan Islamphobia ini sangat terorganisir. Tahun 2006, sentimen anti Islam menemukan dimensi barunya dengan aksi pelecehan terhadap kesucian Rasulullah Saw oleh Koran Jyllands-Posten cetakan Denmark. Pada tahun 2011, Terry Jones, pendeta fanatik Amerika menyatakan berencana membakar al-Quran dan ulahnya tersebut menambah deretan gerakan Islamphobia di Barat. Selanjutnya disusul dengan pembuatan dan pemutaran film Film Innocence of Muslims yang sangat melecehkan Nabi Muhammad Saw kian membongkar gelombang Islamphobia.
Sementara itu, pribadi agung Rasulullah yang dihiasi dengan akhlak dan sifat-sifat mulianya tetap bersinar cemerlang serta tidak ada debu yang mampu menutupinya. Sejarah telah membuktikan bahwa pelecehan terhadap kesucian Nabi Muhammad hanya dilakukan oleh mereka yang tidak berpendidikan serta didorong oleh fanatisme tinggi yang mereka miliki. Abbas Lajevardi, sutradara film dokumentar Iran beberapa waktu lalu melawat Barat untuk membuat film "Which freedom".
Abbas Lajevardi pun dilawatannya tersebut berhasil mewawancarai pendeta Terry Jones dan Kurt Westergaard, karikaturis Denmark meski penjagaan ketat terhadap keduanya diterapkan oleh pasukan keamanan. Lajervardi kepada mereka menanyakan, Apakah Anda membaca al-Quran? Keduanya menjawab, Tidak! Keduanya tidak pernah membaca al-Quran dan tanpa pengetahuan serta informasi keduanya menyerang habis-habisan kitab suci tersebut dan Nabi Muhammad Saw.
Dalam kesempatan kali ini kami akan membawakan pandangan Goethe, penyair kondang Jerman terkait, Nabi Muhammad Saw. Adakah kata-kata yang lebih mengabadi selain syair atau puisi? Banyak kata yang dimuntahkan filsuf, pemikir atau nabi, namun – setelah kitab suci- syair selalu menjadi media komunikasi antargenerasi yang paling efektif. Ini dibuktikan oleh pencipta syair, yang meskipun mereka sudah tiada namun karyanya tetap berbicara, senandungnya senantiasa mendengung, kepak sayap syairnya selalu mendarat di telinga pendengarnya.
Van Goethe, penyair Jerman terkemuka abad-18 yang karyanya mengabadi hingga kini, berhasil merekam kemunculan Muhammad yang dianggapnya sebagai ‘seorang promotor revolusi sosial yang membawa nilai keadilan dan persaudaraan'. Kata-kata Muhammad begitu bertuah siapa mendengarnya berbicara, kawan dan lawan akan tunduk membenarkan. Muhammad melebihi semua penyair dan raja yang mendahuluinya. Ketika Muhammad mengibarkan panji Quran, Goethe dengan lantang mengakui: "Kitab ini akan tetap mendapat tempat melampaui seluruh masa dan mempunyai pengaruh yang kuat."
Goethe sendiri terpengaruh. Bukan hanya pada seorang Muhammad, tapi juga pada sastra timur yang dikaguminya itu. Akhirnya pada 1771 dan 1772, ia berinteraksi langsung pada Alquran dan mulai fasih berbicara dengan Islam dan Muhammad. Sampai-sampai sebagian pemikir Jerman menganggapnya benar-benar masuk Islam, karena tulisannya yang banyak memuja nabi umat Islam itu. Tak aneh jika lantas mereka menuduh Goethe ‘punya hubungan khusus', lebih dari sekadar hubungan pribadi dengan Muhammad.
Terbukti pada tahun yang sama, Alquran berhasil diterjemahkan oleh Frederich Megerlin ke dalam bahasa Jerman dan untuk pertama kalinya terbit. Reaksinya begitu cepat, salah satu halaman edisi ‘kritikus sastra Frankfurt' memuat kritik tematis terhadap pusat penerjemahan Alquran itu. Dilihat dari gaya bahasa dan cara pengungkapannya, penulis yang protes itu ternyata Goethe.
Protes gencar tersebut membuktikan, Goethe secara eksplisit mengikrarkan diri pada kekecewaannya terhadap penerjemahan yang serampangan itu. Barangkali karena Goethe punya persepsi lain tentang Alquran, jauh lebih banyak dari gambaran yang diungkapkan penerjemah itu. Terlebih lagi Megerlin menulis tentang Alquran dan Nabi tidak dengan sebenarnya. Goethe begitu intens mempelajari bahasa dan sastra Arab, baik yang tertulis dalam antologi karya sastranya atau buku ilmiah yang ia tulis. Salah satu bukunya West-Ostlicher Divan yang berarti Sastra Timur Oleh Pengarang Barat, sebagai contoh. Selain ditulis dalam bahasa Jerman, juga ditulis teks Arabnya Al-Diwan Al-Sharq Li Al-Mu'allif Al-Gharbi.
Demikian juga dengan judul puisi yang ia tulis, hampir semuanya berbahasa Arab. Maka tak heran hampir di tiap karya Goethe akan ditemukan judul seperti: Moganni Nameh yang berarti Al-Mughanni (Sang Penyanyi), Uschk Name yang berarti kitab al-'Usyq (bab cinta), Tefkir Nameh yang asalnya kitab al-Tafkir (bab perenungan), dan ratusan judul yang berbau Arab lainnya.(IRIB Indonesia).
source : Irib Indonesia