Usaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan sudah menjadi keprihatinan utama manusia sejak permulaan sejarah. Penelitian tentang kondisi kehidupan masyarakat modern menunjukkan bahwa manusia masih terus berkelimpungan di antara tumpukan pengetahuan dan pengalamannya. Waktu terus berjalan dan sains dan teknologi semakin maju dan mampu menembus dunia mikroba hingga planet-planet yang tersebar jauh dari bumi. Sikap antusias dan daya tarik manusia untuk menyelami alam penciptaan telah mengukir sejumlah prestasi luar biasa. Tujuan dari semua upaya itu adalah untuk mengantarkan manusia pada ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan. Akan tetapi, hampir semua capaian itu tampaknya memberikan hasil berbalik.
Saat ini manusia menikmati banyak sarana kesejahteraan, tapi ketenangan mereka justru semakin terkikis. Para pakar semakin banyak, tapi problema yang dihadapi manusia juga kian kompleks. Gaya hidup mereka mengarah pada konsumerisme, tapi kepuasan semakin berkurang. Manusia terbang ke luar angkasa dan kembali lagi ke bumi, tapi mereka gagal menciptakan hubungan yang bersahabat dengan orang-orang terdekatnya. Manusia telah menaklukkan alam, tapi mereka masih asing dengan dirinya sendiri. Kemanusiaan adalah kata yang tersebar luas di buku-buku ilmiah, sementara hak asasi manusia adalah sebuah frasa untuk menghiasi resolusi dan konvensi internasional. Dengan semua kemajuan itu, manusia dan kemanusiaan masih menjadi korban terbesar era modern.
Para pakar ilmu humanistik di Barat – yang menganggap manusia modern tidak butuh agama dan Tuhan – telah memposisikan manusia sebagai Tuhan dan dengan menelurkan teori-teori humanisme di bidang etika, ekonomi, sosiologi, psikologi, dan lain-lain, mereka berusaha menciptakan sebuah zona aman bagi manusia-manusia modern yang tanpa pelindung. Akan tetapi di bawah teori humanisme, manusia bukan hanya tidak mencapai ketenangan dan kedamaian, tapi perang terburuk, konflik berdarah, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya justru terjadi di era modern. Semua bentuk krisis spiritual dan moral sudah mengisolasi manusia modern. Bahkan "krisis kemanusiaan" tampak lebih dominan di antara krisis-krisis lain di tengah kemajuan dunia.
Mengapa manusia bisa terjebak ke dalam krisis tersebut dan dimana letak akar problema itu? Pada dasarnya, selama masih ada pertentangan antara kebutuhan hakiki manusia dan kebutuhan-kebutuhan semu mereka, maka selama itu pula akan ada krisis. Manusia adalah makhluk dua dimensi, ia memiliki sebuah sisi kemanusiaan dan sisi spiritual, sementara dimensi lainnya adalah sisi material dan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan materi. Perhatian berlebihan terhadap dimensi materi manusia dan kelalaian terhadap dimensi spiritual telah merusak keseimbangan dalam diri manusia dan masyarakat. Tokoh intelektual Iran, Syahid Murtadha Mutahhari menyamakan kondisi itu seperti pertumbuhan abnormal salah satu dari organ tubuh manusia, di mana salah satu organ tumbuh berkembang, sementara organ lainnya berhenti tumbuh.
Selama beberapa abad lalu, Liberalisme Barat mengambil jalan pintas untuk menyingkirkan agama dan mematerialisasi seluruh dimensi ketuhanan keberadaan manusia serta meminggirkan nilai-nilai sakralitas. Mereka telah benar-benar menyingkirkan agama dan Tuhan dari kehidupan. Paham tersebut secara memalukan mengumumkan berakhirnya usia agama dan spiritualitas keagamaan. Dan dalam kondisi ideal, moralitas sudah cukup untuk menata kehidupan manusia, sebuah moralitas di mana ajaran-ajaran agama tidak berperan di dalamnya.
Berkenaan dengan pengaruh pemikiran materialistik terhadap perilaku-perilaku akhlak manusia dan ketidakmampuan sains membahagiakan mereka, Syahid Mutahhari mengatakan, "… manusia dalam pandangan dunia (world view) sudah menafikan Tuhan, sementara mengenai manusia, mereka sudah menafikan ruh. Mereka memperkenalkan manusia sebagai sebuah mesin ekonomi, kemudian mereka ingin menciptakan sebuah ide sosial yang sakral, namun gagal. Hal seperti itu tidak akan terwujud. 'Mereka berkata kepada manusia bahwa di alam tidak ada Tuhan, dalam diri Anda juga tidak ada sesuatu yang bersifat suci. Tapi, Anda harus berkomitmen untuk bekerja untuk ide-ide sosial yang sakral, Anda harus berkomitmen untuk tidak serakah dan tamak, tidak menindas, dan pemerintah harus peduli dengan kondisi orang lain.' Jelas bahwa ini adalah dua hal yang saling bertentangan. Pandangan dunia itu dan pengenalan manusia bertentangan dengan ide sosial tersebut."
Kesimpulan dari penjelasan Syahid Mutahhari adalah bahwa menurut kosmologi materialisme, manusia tidak akan sampai pada nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, kemanusiaan berlandaskan pada sekumpulan sifat, moralitas, dan spiritualitas, di mana manusia akan dianggap manusia dengan memilikinya serta menemukan nilai dan kepribadiannya. Hal-hal tersebut tidak bisa dijustifikasi dengan pemikiran materialistik.
Jelas bahwa sebagian dari krisis manusia modern kembali kepada keterasingan mereka tentang esensinya, kebutuhan-kebutuhan hakiki, dan tujuan penciptaan. Manusia yang terisolasi di alam materi memiliki kemampuan pengenalan yang terbatas. Oleh karena itu, mereka – yang telah meminggirkan agama – terjebak dalam perilaku ifrat dan tafrit (ekstrim kanan dan ekstrim kiri) dalam mengenal manusia dan kebutuhan-kebutuhan hakiki mereka. Masyarakat Barat menghadapi krisis setelah mereka memprioritaskan dimensi materi manusia dari dimensi spiritualnya serta menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan ketika mereka sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, mereka akan menempuh jalan yang salah karena mereka telah menolak ajaran-ajaran agama. Mereka terjebak dalam sebuah ritual yang sebenarnya kosong dari nilai-nilai spiritualitas. Allah Swt dalam surat al-Hashr ayat 19 berfirman, "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." Dalam surat Thaha ayat 124 disebutkan, "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Penghidupan yang sempit dalam ayat tersebut tidak berarti kemiskinan dan kefakiran, betapa banyak manusia beriman yang miskin harta benda, tapi mereka hidup bahagia karena pengenalan pada diri sendiri dan juga pengenalan pada Tuhan. Dan betapa banyak orang-orang yang kaya, namun mereka hidup gelisah karena telah berpaling dari Tuhan dan larut dalam hal-hal yang semu.
Perspektif agama tentang esensi manusia serta awal dan akhir kehidupan ini berbeda dengan pandangan materialisme. Dalam pandangan itu, kehidupan materi di dunia ini hanya mukaddimah untuk kehidupan abadi manusia di alam akhirat. Kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia sepenuhnya berhubungan dengan amal perbuatan dan keyakinannya di dunia ini. Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan khalifah Tuhan di muka bumi, di mana ia harus menjadi manifestasi dari sifat-sifat Sang Pencipta, dan realisasi hal itu, sangat bergantung pada upaya setiap individu untuk mensucikan dirinya melalui penghambaan dan menjalankan perintah-perintah agama.
Berdasarkan ajaran agama Islam, manusia memiliki dua dimensi jasmani dan rohani, di mana sikap lalai terhadap salah satu dari dimensi itu akan mencegah manusia mencapai kesempurnaan hakiki. Kesempurnaan manusia terletak pada terciptanya hubungan yang proporsional dan simetris antara semua kapasitas dan kemampuannya, serta tidak boleh berat sebelah. Di dalam al-Quran, ada banyak ayat yang memperkenalkan sikap terbuai dengan materi dan kelalaian terhadap Tuhan sebagai faktor kehancuran dan kesengsaraan. Tentu saja, Islam juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan materi manusia, Islam melarang sikap kesufi-sufian dan mengabaikan kenikmatan-kenikmatan dunia.
Islam senantiasa mengajak manusia pada pengenalan diri. Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya." Dalam riwayat-riwayat lain, pengenalan diri disebut sebagai makrifat tertinggi, sementara keterasingan terhadap diri sendiri sebagai kebodohan terbesar. Ketika manusia sudah mengenal dirinya sendiri, akalnya akan berkata bahwa ada Dzat yang maha bijaksana di mana telah menciptakan manusia untuk sebuah tujuan luhur yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan dan meraih kebahagiaan abadi. Jalan untuk mencapai kebahagiaan itu juga melalui hujjah batin yaitu akal, dan hujjah lahir yaitu para nabi. Oleh sebab itu, manusia tidak dibiarkan tanpa petunjuk di dunia ini. (IRIB Indonesia/RM)
source : Irib Indonesia