Hampir semua media-media nasional demikian juga media-media berita berbasis blog, memberitakan Iran mengeluarkan vonis hukuman gantung terhadap Reyhaneh Jabbari yang katanya membunuh pemerkosanya, Morteza Abdolali Sarbandi. judul-judulnya diantaranya berbunyi:
Iran Gantung Perempuan Korban Pelecehan Seks – Indo Pos
Bunuh Pemerkosa, Perempuan Iran Berakhir di Tiang Gantung – Metro Tv
Wanita Korban Pemerkosaan Dihukum Gantung di Iran – Liputan 6
Korban Pemerkosaan, Wanita Iran Malah Dihukum Gantung - Tempo
Dan banyak lagi judul yang diotak-atik dengan kata-kata yang berbeda tapi isinya semua sama, Iran menghukum gantung perempuan yang membunuh laki-laki yang hendak memperkosanya. Seolah-olah media-media tersebut telah membuktikan bahwa yang dibunuh adalah benar-benar pelaku pemerkosaan, dan sipelaku hanya sedang membela diri.
Jika melihat judul dan isi berita yang demikian, tentu kita akan menilai bahwa pengadilan Iran dan hukum Iran tidak ramah terhadap perempuan, bahkan cenderung tidak adil, dan tidak manusiawi. Bagaimanapun tidak semestinya seseorang yang hanya sedang membela kehormatan dirinya dihukum mati, meskipun dalam usahanya membela diri telah menghilangkan nyawa orang lain.
Tapi benarkah yang dibunuh itu laki-laki yang hendak memperkosanya?
Hasil penyidikan petugas dan keputusan pengadilan:
Pertama, Reyhaneh tidak mampu menyajikan bukti kuat, termasuk tidak bisa menghadirkan saksi bahwa Sarbandi benar-benar hendak memperkosanya.
Kedua, Sarbandi ditikam dari arah belakang, dengan pisau milik Reyhaneh sendiri, yang dibuktikan bahwa itu dibelinya dua hari sebelum kejadian. Ini berdasarkan hasil visum dan investigasi kepolisian. Kalau benar hendak memperkosa, Sarbandi harusnya tertikam dari arah depan.
Ketiga, terbukti bahwa pembunuhan tersebut telah direncanakan.
Keempat, kalau memang menikam karena hendak diperkosa, harusnya cukup dilumpuhkan saja, tidak perlu ditikam sampai tewas. Meskipun, Reyhaneh pada sisi ini mengelak, bahwa ada laki-laki lain yang melakukan penikaman sampai akhirnya Sarbandi pun tewas. Pengakuan ini justru melemahkan pembelaan Reyhaneh bahwa yang terbunuh itu pemerkosanya, karena laki-laki itu tidak semestinya menghilangkan diri pasca kejadian, tapi seharusnya menjadi saksi atas kejadian itu.
Walhasil, pengadilan telah menjalani proses peradilan secara adil, bahkan bertahun-tahun sebab kasus ini terjadi pada tahun 2007 silam. Menunjukkan bahwa pengadilan Iran tidak sedemikian mudah menjatuhkan hukuman mati. Bahkan rencana hukuman gantung tersebut berkali-kali mengalami penundaaan untuk memberikan kesempatan kepada Tim Pengacara membujuk keluarga korban pembunuhan untuk menarik tuntutannya. Namun keluarga korban tetap pada pendiriannya, Rayhaneh harus dihukum mati atas perbuatannya.
Tapi, lihat bagaimana media bekerja membentuk opini, bahwa Iran telah zalim pada warganya dan memberlakukan hukum yang tidak adil, terlebih lagi pada perempuan. Sehingga kembali muncul stigma, Islam memang tidak berlaku ramah terhadap perempuan. Sampai kasus inipun dibicarakan di PPB, Badan HAM dan Amnesti Internasional, Kemenlu AS dan seterusnya, yang kesemuanya kompak untuk mengecam Iran. Diberitakan pula, bahwa aktivis HAM internal Iran mengecam keputusan tersebut dan ribuan orang mengajukan petisi agar vonis tersebut dicabut.
Padahal di Iran tidak seheboh itu. Pemberitaan kasus ini disikapi sama sebagaimana kasus-kasus pembunuhan lainnya. Tidak ada gugatan, tidak ada protes ataupun kecaman. Tidak ada pula opini yang terbentuk bahwa pengadilan dan hukum Iran telah berlaku tidak adil terhadap perempuan. Bahkan yang ada, sejumlah artis, sutradara dan aktivis mengajukan surat permohonan kepada keluarga korban agar memaafkan Jabbari dan diganti saja dengan kompensasi. Sebab hukum gantung bisa saja tidak terjadi, jika keluarga korban memaafkan si pembunuh. Namun keluarga korban tetap pada pendiriannya.
Malah pada dasarnya pengadilan tidak menghendaki terjadinya hukuman mati itu, dengan usahanya berkali-kali menunda eksekusi agar hati keluarga korban tergugah untuk memaafkan. Dibawah UU Iran jika keluarga korban pembunuhan, memaafkan pelaku maka hukuman mati bisa diubah menjadi hukuman penjara atau malah dibebaskan.
Namun lihatlah, sekali lagi media sedemikian massif bekerja menyudutkan Iran. Sementara disaat yang sama Mahkamah Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati atas Syaikh Nemr Baqir al Nemr, ulama Syiah Arab Saudi atas tuduhan yang tidak terbukti dan tanpa melalui proses peradilan yang semestinya. Media-media AS bahkan termasuk Lembaga Amnesti Internasional mendiamkannya. Namun berbeda, ketika Iran yang kemudian mengeluarkan hukuman mati terhadap tertuduh yang terbukti bersalah.
Media-media Indonesia tidak mengambil sumber berita dari media Iran, mereka mengambilnya dari sumber kedua, dari al Jazeera, Washington Post, BBC, The Independent, JewishPress ataupun yang lainnya (lihat, media Zionis Israel juga ikut serta sok-sok membela HAM). Lihat penggalan berita yang ditulis news.detik.com mengenai kasus ini:
“Reyhaneh Jabbari ditangkap pada tahun 2007 atas pembunuhan Morteza Abdolali Sarbandi, mantan pegawai Kementerian Intelijen Iran. Jabbari dihukum gantung pada Sabtu ini. Demikian diberitakan kantor berita resmi Iran, IRNA yang mengutip pihak kantor kejaksaan Teheran, seperti dilansir Al-Jazeera,Sabtu (25/10/2014).”
Ujung-ujungnya berawal dari Al-Jazeera bukan?. Dan sampai sekarang saya masih mencarinya, sebab berita yang dimaksud belum saya dapatkan telah diturunkan oleh IRNA. Dimedia Iran berbahasa Inggris, saya justru hanya menemukannya di presstv.ir, namun tidak dengan nada tendesius ataupun sentimen terhadap peradilan dan hukum Iran sebagaimana yang dihembuskan media Barat. Judulnya, Iranian woman Reyhaneh Jabbari hanged over murder, Wanita Iran Reyhaneh Jabbari digantung atas pembunuhan.
Tapi oleh media Indonesia judulnya diotak-atik menjadi, Wanita Iran digantung karena membunuh pemerkosanya. Seolah-olah bahwa korban pembunuhan telah terbukti benar-benar hendak memperkosa sebelum ditikam, dan hukum Iran tetap ngotot memvonis mati pelakunya meski itu menginjak-injak rasa keadilan.
Presstv (25/10) menulis: “Jabbari’s execution was halted earlier this month in order to give her lawyer more time to convince the victim's family to pardon her.”
Lihat, peradilan Iran sendiri tidak senang dengan adanya hukuman mati ini. Tapi sayang, sisi ini yang tidak dilihat oleh media-media Barat.
Beranilah memilah berita, sebelum berani ikut-ikutan memberi vonis.
Wallahu ‘alam Bishshawwab
[Ismail Amin, sementara menetap di Iran]
source : abna