.
“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhirat dan yang banyak mengingat Allah” (Qs: Al-Ahzab: 21).
Dalam ayat suci ini, Tuhan memperkenalkan Rasul-Nya Muhammad Saw yang merupakan misdak paling jelas Insan Kamil sebagai uswah dan teladan bagi umat Islami; yakni umat dan masyarakat Islami jika menginginkan rahmat dari Tuhan dan kedatangan hari akhirat serta kebahagiaan insani mesti menjadikan Rasulullah Saw sebagai suri teladan dalam berbagai dimensi kehidupannya, baik itu pemikiran, keyakinan, perkataan, maupun prilaku dan perbuatan.
Meneladani Rasulullah Saw
Untuk meneladani Rasulullah Saw terlebih dahulu harus mengenal diri beliau, dan untuk mengenal diri beliau haruslah mengenal Al-Qur’an. Akan tetapi sebagaimana hakikat Al-Qur’an tidak diketahui kecuali di antara beberapa orang saja, maka mengetahui hakikat Rasulullah Saw juga seperti demikian. Diriwayatkan dalam hadits: Tak seorang pun yang mengenal (hakikat) Rasulullah Saw kecuali Allah Swt dan Ali bin Abi Thalib (Allamah Majlisi, Biharul Anwar, Jld. 39, Hal. 84).
Mengenai hal ini dapat dijelaskan seperti berikut, selama seseorang tidak sampai pada maqam mengenal ummul kitab maka dia tidak akan mampu mengenal hakikat diri Nabi Saw. Sebab Rasulullah Saw, sebagaimana dia dalam dimensi katsrah (kejamakan) mempelajari Al-Qur’an dari Tuhan dalam tingkatan arab mubin, dalam dimensi wahdah (ketunggalan) mendapatkannya dari Tuhan dalam tingkatan ummul kitab. Oleh karena itu, Rasulullah Saw memiliki seluruh ilmu dan makrifat Al-Qur’an. Seseorang tidak mungkin mengetahui hakikat beliau tanpa mengetahui seluruh tingkatan-tingkatan Al-Qur’an, khususnya tingkatan ummul kitab (Jawadi Amuly, Sirah Rasul Akram Saw dar Qur’an, Hal. 50). Akan tetapi, ini tidak mengindikasikan bahwa beliau sama sekali tidak dapat dikenali oleh orang yang berupaya mengenalinya. Setiap orang seukuran jalan yang dilewatinya dalam mengenal Al-Qur’an, seukuran itu pula makrifatnya terhadap Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, mengenal Nabi Saw merupakan suatu kemestian bagi seluruh umat manusia yang mencintai kesempurnaan dan menginginkan kebahagiaan, sementara meneladani serta bersuluk sesuai dengan sirah dan sunnahnya akan menyampaikan manusia kepada kedekatan Tuhan, kesempurnaan, dan kebahagiaan hakiki. Kendatipun tidak semua pesuluk sirah dan sunnah beliau Saw akan sampai kepada makrifat tingkatan ummul kitab, tapi dalam qaus shu’ud (busur naik) semuanya akan bergerak ke sisi Tuhan, sebagaimana dalam qaus nuzul (busur turun), semuanya juga datang dari sisi Tuhan: “Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kepada-Nya kita kembali semua.” (Qs. al-Baqarah [2]: 156)
Kehambaan Rasulullah Saw
Dalam logika wahyu Al-Qur’an kata ‘abd (hamba) adalah kata yang memiliki keutamaan dan kebanggaan jika disandarkan dengan kata Allah, nama-nama Allah lainnya, dan kata ganti Allah, seperti ayat: “Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi)” (Qs: Shâd [38]: 45). Berbeda misalnya dalam penggunaan istilah sosial dan lainnya, seperti hamba thagut, hamba fulan, hamba harta, hamba syahwat, dan sebagainya. Semuanya mempunyai konotasi rendah atau jelek.
Dalam alam mikrokosmos, sebagian manusia berada di bawah kepengelolaan dan mazhar partikular Tuhan. Misalnya, sebagian hakikatnya merupakan ‘abdurrazzâq, ‘abdul qâbidh, atau ‘abdul karîm. Akan tetapi hakikat Rasulullah Saw adalah ‘abduhu (hamba-Nya) dan Tuhan menjadi mudabbir individualnya, sehingga dalam hal ini beliau memiliki paling akhir dan puncaknya maqam dan tingkatan ‘indallah.
Dalam maqam qaus shu’ud (busur naik), tidak ada maqam yang lebih tinggi dari maqam marbubiyyah pribadi Rasulullah Saw, dan beliau berada di bawah kepengaturan paling tingginya ism (nama) dari asmâ’ul husna Tuhan, yakni ‘Huwa’ (Dia) yang tidak lain adalah huwiyyah mutlak. Sebab beliau pemilik paling sempurnanya ‘ubudiyyah (kehambaan) maka Tuhan memberi kepadanya paling sempurnanya kalimah-Nya. Dalam maqam qaus nuzul (busur turun), Rasulullah Saw dari sisi maqam itu juga diutus, dan dalam maqam ini huwiyyah mutlak merupakan pangkal penurunan dan pengutusan beliau Saw (Jawadi Amuly, Sirah Rasul Akram dar Qur’an, hal. 26): “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (Qs: at-Taubah [9]: 33)
Keutamaan Rasulullah Saw
Salah satu hadits yang memberi petunjuk urafa dalam masalah manusia sempurna adalah hadits Nabi Saw: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya” (Kulaini, Ushul Kafi, Intisyarat Bunyad-e Risalat, Hal. 182). Ibnu Arabi dalam mengomentari masalah ini berkata: “Sesungguhnya Dia menciptakannya atas rupa-Nya; bahkan dia identik hakikat-Nya dan huwiyyah-Nya” (Ibnu Arabi, Fushushul Hikam, Komentator Abul’ala ‘Afifi, Intisyarat Az-Zahra, Hal. 125). Yakni manusia diciptakan dalam rupa Tuhannya, bahkan ia identik hakikat dan huwiyyah (identitas) Tuhan. Pensyarah Fushushul Hikam Allamah Qaishari, dalam mengomentari ungkapan dari Ibnu Arabi ini berkata: Yang dimaksud dengan shurah (rupa, bentuk, wajah) adalah nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Yakni Tuhan menciptakan manusia dalam maqam tersifati dengan seluruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan bahkan identitas dan hakikat Ilahi tersembunyi dalam hakikat manusia, karena itu identitas manusia identik dengan identitas Tuhan dan hakikatnya identik dengan hakikat Tuhan. Oleh karena itu, manusia adalah Ismul A‘zham (nama paling agung, greatest name) Tuhan yang mengumpulkan seluruh hakikat nama-nama-Nya (Muhammad Dawud Qaishari, Syarah Fushushul Hikam, Hal. 790).
Dengan demikian, dari sudut pandang Irfan Islami, manusia sempurna dalam piramida eksistensi mempunyai maqam dan kedudukan khusus. Dia menjadi tempat tajalli nama-nama dan sifat-sifat Ilahi serta lokus manifestasi Ismul A’zham Tuhan. Dia Khalifah Tuhan, Wali Tuhan, dan Masyiyyah Tuhan, dan dengan perantaraannya alam dan manusia diciptakan, dan juga dengan perantaraannya alam dan manusia terjaga.
Sebagaimana diyakini para urafa, Rasulullah Saw adalah maujud paling sempurna dari Insan Kamil, sebab cahaya beliau merupakan ciptaan paling awal Tuhan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Rasulullah Saw bersabda: Awal yang diciptakan Allah adalah cahayaku (Allamah Majlisi, Biharul Anwar, Jld. 1, Hal. 97). Diriwayatkan pula bahwa Amirul Mukminin Ali as berkata: Sesungguhnya Allah Tabâraka wa Ta’âlâ menciptakan nur (cahaya) Muhammad Saw sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, ‘arsy dan kursi, lauh dan kalam, surga dan neraka, dan sebelum Dia menciptakan Adam, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, Musa, Isa, Dawud, dan Sulaiman Alaihumussalâm( Ibid, Jld. 15, Hal. 4).
Ungkapan ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw, kendatipun dalam alam syahadah diutus Tuhan sebagai paling akhirnya nabi, tetapi dalam alam batin beliau adalah paling awalnya nabi dan bahkan paling awalnya makhluk. Dalam sebuah riwayat juga Rasulullah Saw bersabda: Saya sudah nabi dalam keadaan dimana Adam masih di antara air dan tanah. Juga terdapat riwayat: Sekiranya bukan karena engkau (Muhammad) tidaklah aku ciptakan aflâk (Ibid, Jld. 25, Hal. 28). Oleh karena itu, sesuai tafsiran ustad Jawadi Amuly, hal ini menyebabkan Tuhan memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mengatakan, saya paling awalnya orang yang berserah diri: “Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri” (Qs: al-An’am [6]: 163). Maksud dari paling pertama berserah diri adalah paling pertamanya dzat (dari dzat makhluk), di mana ke-awal-an ini juga terkadang disebut ke-awal-an tingkatan atau martabat (Jawadi Amuly, Sirah Rasul Akram dar Qur’an, hal. 30). Tuhan sama sekali tidak menunjukkan ungkapan awwalul muslimin (pertama-tama yang berserah diri) bagi nabi-nabi-Nya yang lain. Kendatipun Nabi Ibrahim as yang memiliki kedahuluan zaman dan merupakan pilar dari silsilah agama Ibrahimi, dan beliau bermohon kepada Tuhan: “Ya Tuhan Kami, utuslah di tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, dan mensucikan mereka.” (Qs. al-Baqarah [2]: 129), dan Rasulullah Saw sendiri sesuai sebagian dari narasi mengatakan, saya putra Nabi dzabihin (yang disembelih), yakni putra Nabi Ismail as yang merupakan putra Nabi Ibrahim as. Dengan berbagai keutamaan yang dimiliki Nabi Ibrahim as ini, Tuhan tidak berkata kepadanya, katakanlah saya orang pertama-tama yang berserah diri. Bahkan kepada Nabi Nuh as yang merupakan syaikh para Nabi dan Nabi Adam as yang menjadi abul basyar (bapak manusia), tidak dialamatkan ungkapan awwalul muslimin kepada mereka. Jadi satu-satunya orang yang Al-Qur’an sebutkan sebagai awwalul muslimin hanyalah Rasulullah Saw.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa ke-awal-an yang dimaksud di sini bukanlah ke-awal-an zaman dan historis. Sebab jika yang dimaksud ke-awal-an zaman maka setiap nabi dinisbahkan kepada kaumnya adalah awwalul muslimin dan para nabi terdahulu juga secara lebih cocok dipandang sebagai misdak dari ke-awal-an zaman dan historis ini. Dengan demikian, kalam Tuhan yang hanya ditujukan kepada Nabi Islam dengan mengatakan, “katakanlah bahwa saya awwalul muslimin” (saya adalah orang yang pertama berserah diri), dikarenakan beliau adalah awal emanasi atau awal manifestasi Tuhan. Yakni dalam tingkatan eksistensialnya, tidak seorangpun yang menempatinya dan menyamainya.
Dalam Surah Al-An’am, Tuhan memerintahkan kepada Nabi-Nya Rasulullah Saw: “Katakanlah (Muhammad)! Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim)” (Qs: al-An’am [6]: 162-163). Tuhan memerintahkan kepada Rasulullah Saw untuk mengumumkan bahwa segala aktivitas dan ibadah serta hidup dan matinya hanya diperuntukkan bagi-Nya dan setiap orang yang ingin mencapai atau dekat kepada maqamnya, mesti mengikutinya dan menapaki jalan seperti yang dilaluinya. Untuk itu bertauhidlah sebagaimana tauhidnya yang murni dan sejati, yakni tidak ada secuilpun kebatilan yang mendatanginya baik secara teoritis maupun secara praktis. Dengan itu beliau memiliki maqam awwalul muslimin, dimana maqam ini mencakup serangkaian maqam ke-awal-an lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw layak mengumumkan kepada seluruh makhluk dan manusia bahwa “awwalu maa khalaqallah nuurii” (yang pertama diciptakan Allah Swt adalah cahayaku) maka yang pertama shâdir dan yang pertama zâhir adalah beliau Saw, karena itu hanya beliau yang menduduki maqam awwalul muslimin.
Berasaskan ini, kedudukan dan kemuliaan Rasulullah Saw tidak tertandingi oleh satupun di antara seluruh makhluk dan manusia, baik itu para malaikat, para nabi, apalagi makhluk dan manusia lainnya. Karena itu, dari sudut pangkal penciptaan makhluk dan manusia, tidak satupun maujud yang telah datang seperti beliau dan dia adalah yang paling utama dan sempurna, dan dari sudut sejarah manusia, tidak satupun manusia yang telah datang dan akan datang yang seperti keutamaan dan kesempurnaannya. Dia adalah paling akhir dan puncaknya kesempurnaan manusia, sebab dia adalah khâtam al-anbiyâ. Dengan demikian, setiap orang yang berjalan di atas jalannya, orang itu telah memilih jalan yang terbaik baginya dan setiap orang yang menjadikannya pemimpin dan teladan hidup dan matinya, niscaya dia telah memilih jalan hidup dan mati yang paling baik dan paling sempurna.