Indonesian
Friday 15th of November 2024
0
نفر 0

Bayangan Kematian di Perjalanan Waktu

Waktu itu, malam tahun baru. Usai sholat maghrib, kami mengadakan pengajian singkat menyambut tahun baru. Saya menyarankan agar masing-m
Bayangan Kematian di Perjalanan Waktu



Waktu itu, malam tahun baru. Usai sholat maghrib, kami

mengadakan pengajian singkat menyambut tahun baru. Saya

menyarankan agar masing-masing merenungkan makna tahun

baru bagi dirinya. Jamaah diam. Pengajian tampak

seperti upacara mengheningkan cipta. Kami tesentak

ketika Wak Haji, yang tertua diantara kami, memecahkan

kesunyian, “Saya kira tidak layak menyambut tahun baru

dengan pesta. Bukankah tahun baru adalah berita duka?

Bukankah setiap tahun baru mengantarkan kita lebih

dekat ke kuburan? Pada tahun-tahun yang lalu, maut

telah mengambil kawan kawan atau keluarga kita. Lalu,

siapa yang akan dijemput maut tahun ini?”

Wak Haji sudah berusia 89 tahun, walaupun tampak sehat

dan kuat. Ia taat beribadah, selalu salat berjama’ah.

Ia datang ke Mesjid sejam sebelum azan subuh. Walaupun

hidup dalam usai senja, ia senang bercanda. Karena itu

agak mengherankan bila tahun ini ia kedengaran pesimis.

Mungkinkah itu pertanda bahwa boleh jadi tahun ini ia

meninggalkan kami?

“Apakah orang saleh takut menghadapi kematian?” tanya

seseorang yang mengarahkan pertanyaanya kepada saya.

“Saya selalu dihantu rasa takut mati. Mungkin karena

saya tidak saleh. Wak Haji benar. Tahun baru adalah

berita duka. Seperti napi yang akan dihukum gantung,

saya melihat, setiap dentang jam membawa saya lebih

dekat ke tiang gantungan. Adakah kiat untuk mengobati

takut mati ?”

Saya jawab bahwa orang saleh pun takut mati. Salah

seorang cucu Rasulullah dikenal sebagai Wali Allah. Ia

banyak beribadah, sehingga diberi gelar Zayn

al-’Abidin. Tapi dengarkan doanya, “Kepada-Mu aku

berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia”. Jadi

orang saleh pun takut mati. Yang membedakan kita dengan

orang saleh adalah alasan yang menyebabkan takut mati

Kita takut mati karena keterikatan dengan dunia. Kalau

saya mati, siapa yang akan menjaga kepentingan anak-

anak saya, siapa yang akan mengurus perusahaan saya,

siapa yang mengamankan kekayaan saya. Orang saleh takut

mati karena ia merasa belum cukup bekal. Ia khawatir

akan “habisnya usia sebelum siap sedia”. Dalam doa yang

lain, Zayn al-’Abidin berkata, “Siapa gerangan yang

keadaannya lebih jelek dari diriku, jika dipindahkan

dalam keadaanku sepeti ini, aku dipindahkan ke

kuburanku. Aku belum menyiapkan pembaringanku. Aku

belum menghamparkan amal saleh untuk tikarku. Bagaimana

aku tidak menangis, padahal aku tidak tahu akhir

perjalananku. Kulihat nafsu menipuku dan hari-hari

melengahkanku. Padahal maut telah mengepak-ngepakan

sayapnya di atas kepalaku. Bagaimana aku tidak

menangis, kalau kukenang saat aku menghembuskan nafas

yang terakhir. Aku menangis karena kegelapan kubur, aku

menangis karena kesempitan lahadku; aku menangis karena

aku akan keluar dari kuburku dalam keadaan telanjang,

hina, sambil memikul dosa di atas punggungku.”

Walhasil, kalau takut mati karena belum cukup bekal,

peliharalah rasa takut itu. Tidak perlu kita

menghilangkannya. Ingat kepada kematian mendorong

manusia berbuat baik. Ia akan menjadikan amal saleh

sebagai bekal untuk kehidupan sesudah kematian. Sadar

akan kematian berarti sadar akan ketiaadaan Ego dan

“non-being”. Bila kita harus mengakhiri semuanya dengan

kematian, masih absahkah kebiasaan kita untuk terus-

menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita?

Bukankah hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita

“memberikan diri” kita buat kebahagiaan orang lain?

Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang lain

(the otherness) ke dalam eksistensi kita.

Joel Kovel mengamati dengan cermat dunia modern yang

disebutnya sebagai “dunia tanpa ruh”. Dalam “History

and Spirit: An Inquiry into the Spirit of Liberation”,

Kovel menawarkan pembebasan manusia dari Egonya dengan

memasukkan spiritulitas ke dalam kehidupan. Salah satu

caranya ialah menyadarkan manusia akan kematian.

“Termasuk ke dalam spiritualitas adalah kesediaan untuk

mati. Hidup yang bermakna adalah kehidupan yang telah

menerima orang lain dan mempersiapkan dirinya untuk

mati. Ini tidak berarti bahwa dia adalah wujud yang

ingin mati. Sebaliknya, jiwa sempurna memandang hidup

ini lebih indah dan lebih intens. Sungguh, kesadaran

akan adanya kematian, visi tentang bayangan maut, tidak

lain daripada menjadikan kehidupan sebagai titik

pandang utama”.

Tuhan mendampingkan kematian dan kehidupan pada ayat

yang sama, tetapi Dia menyebut kematian lebih dahulu

daripada kehidupan. Dia menegaskan bahwa kehidupan

hanya bermakna dengan latar belakang kematian. Keduanya

didampingkan sebagai ujian untuk mendorong manusia

beramal saleh. “Dia yang menjadikan kematian dan

kehidupan supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu

yang lebih baik amalnya” (QS 67:2). Rasulullah saw

mendampingkan maut dengan Al-Qur’an. Rasulullah

bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi

peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan

pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan

kebisuannya. Yang pertama, Al-Qur’an dan yang kedua

adalah kematian”.

Ternyata Wak Haji yang tampak sehat dalam usianya yang

hampir seabad adalah orang yang mendengarkan peringatan

Al-Quran tentang kematian. Ketika permulaan tahun baru

mengingatkan banyak orang akan rencana hidupnya, Wak

Haji mengingatkan kita akan rencana kematian kita. Di

dekat Baitullah, saya melihat seorang mantan pejabat

tinggi berdoa dengan khusyuk. Air mata tergenang di

pelupuknya. Ia menyadari, ia berada pada hari-hari

akhir hidupnya. Ia pulang ke tanah air. Di hadapan

anak-anaknya, ia berkata, “Hidup kita akan lebih

bermakna bila kita bermanfa’at bagi orang lain”.

Seperti Wak Haji, Al-Quran dan kematian telah

memberikan kepadanya kehidupan yang lebih manis dan

lebih mendalam. (*)


source : alhassanain
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Berapa banyak surah dalam al-Qur’an yang menggunakan nama-nama para Nabi Ilahi?
karamah para wali
Doa Ashabul Kahfi
Apa saja tingkatan yakin dan apa tolak ukurnya bagi seorang manusia.
Perempuan dan Warisan dalam Islam
Peringatan Allah dalam Al-Quran: Bakhil
Hakikat Bersyukur Atas Nikmat Ilahi
Ketika Imam Shadiq as Memaknai Allahu Akbar dan Wajhullah
Menyoroti Perjanjian Lama
Bayangan Kematian di Perjalanan Waktu

 
user comment