Ritual dalam setiap agama memegang peranan penting, terkhusus Islam. Islam dan ritualitas tak bisa terpisahkan. Sistem ritual Islam terangkum dalam aturan fiqh yang terurai secara tekstualis. Begitu eratnya Islam dan fiqh membuat Seorang pemikir Islam garda depan dari Maroko, Dr. Muhammad Abid Al-Jabiri, menyebut peradaban Islam sebagai peradaban fikih. Pernyataan ini tentu ada benarnya. Setidaknya bila ditinjau dari tiga hal berikut; pertama, fikih sangat dekat dengan umat Islam. Dapat dipastikan di setiap rumah umat Islam terdapat kitab fikih. Kitab fikih dianggap menghidangkan suguhan siap saji. Kedua, fikih menjadi pedoman hidup. Dalam setiap permasalahan yang ada, umat Islam selalu menggunakan perspektif fikih. Ketiga, fikih merupakan salah satu warisan ilmu keislaman terkaya. Terdapat sekian ratus, atau bahkan ribuan, kitab fikih. Sebagaimana juga terdapat sekian banyak ulama fikih.
Hanya saja dalam perkembangan selanjutnya Ritual atau aturan fiqh dalam Islam lebih menampakkan wajah dogmatis ketimbang rasionalitasnya. Ada benarnya dalam kaidah hukum Islam (ushul fikih) disebutkan bahwa ibadah adalah cara manusia menghadap Tuhannya. Manusia tidak perlu bertanya kenapa Tuhan mewajibkan, termasuk melalukan kreativitas dan modifikasi tata cara ibadah dengan cara yang mereka inginkan sendiri. Ushul fikih menetapkan bahwa setiap hal yang berhubungan dengan ibadah, umat Islam tinggal mengikuti praktik yang telah dilakukan oleh Nabi Muhamad SAW. Sedangkan dalam bidang sosial (muamalah), kita bebas melakukan rasionalisasi, termasuk ijtihad.Namun Islam pun harus mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dan kitikan zaman. Mengapa kita harus berpuasa misalnya, sampai saat ini jawaban yang diberikan cenderung dogmatis, terlalu melangit dan tidak memberi kepuasaan apalagi bagi seorang rasionalis tulen. Apa benar, puasa tidak memiliki sisi rasionalitas, sehingga pengkajian tentangnya melulu dengan pendekatan ketundukan kepada yang gaib ? Bagaimana ajaran Islam menjawab tantangan rasionalitas modern ini?
Islam Agama Rasionalitas
Dari pengkajian tentang ritualitas ibadah, kaum agamawan kita cenderung menekankan pentingnya kepasrahan dan penyamanan, melestarikan ketaatan dan ketundukan total yang bersifat turun temurun. Dengan cara ini, orang-orang beriman diposisikan sebagai hamba-hamba, sebagai budak-budak dan Allah adalah majikan (bukan yang Maha Kasih dan Maha Bijaksana). Dan Rasul diposisikan sebagai pemimpin otoriter yang mengeluarkan perintah-perintah ihwal apa yang dilakukan dan mana yang tidak (bukan seorang manusia yang penuh wawasan pengetahuan dan pengalaman yang matang ataupun pemikir yang arif dan cerdas). Ketaatan adalah urusan yang dikerjakan untuk meraup pahala atau ganjaran sebanyak-banyaknya dan bukan sesuatu yang menyebabkan kelapangan hati, keterbukaan pikiran dan pengkhidmatan kepada sebanyak-banyaknya manusia.Akibatnya, kitapun beribadah secara emosional dan terikat oleh identitas, manut pada kesemarakan ritual-ritual massa. Lihat saja, frekwensi pelaksanaan ibadah yang semakin menurun menjelang akhir-akhir Ramadhan. Sesuatu yang seharusnya dilakukan sebaliknya. Ini menurut hemat saya, disebabkan kurang atau tidak adanya sentuhan rasionalitas dalam ceramah-ceramah dan setiap nasehat keagamaan. Tidak benar manusia hanya perlu pada kenyataan akan adanya rasa manis, asam atau pahit. Manusia adalah makhluk yang punya kerinduan dan hasrat-hasrat terhadap kebenaran dan keyakinan tentang sesuatu. Karena itu kehadiran rasa manis atau apapun akan dibarengi dengan suasana penuh Tanya dan ragu. Semisal, mengapa ini manis ? apa yang menyebabkan ia manis ? apakah lidah orang lain juga merasakan manis ? mengapa ada manis ada pahit ? siapakah yang memberinya rasa manis ? dan begitu seterusnya sampai datang keyakinan. “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Manusia rasional akan selalu mencari cahaya, menuntut bukti, merindukan keyakinan, mencintai pengetahuan dan kebenaran, senantiasa menggugat dan kritis terhadap keyakinan dia sebelumnya. Manusia rasional bukanlah manusia taklid, hatta kepada Nabi sekalipun. Dan tuntutan Islam kepada kaum muslimin adalah menjadi manusia-manusia rasional. Bukankah Ibrahim As meminta Allah memberikan bukti kemahakuasaannya dengan menghidupkan burung yang telah mati di hadapannya, dan bukankah pengikut Isa As meminta hidangan dari langit untuk menambah keyakinan mereka bahwa menjadi pengikut agama adalah rasional (baca kisahnya dalam Qs. Al-Maidah : 112-115). Bagi kita ummat Muhammad tidaklah harus sebagaimana ummat-ummat sebelumnya mendapatkan keyakinan. Kita cukup memberikan sentuhan rasional, refleksi pemikiran dari setiap perbuatan-perbuatan yang kita lakukan yang hadir dari keyakinan dan kesadaran diri, bukan sekedar ikut-ikutan dan merasa bangga dengan ketidak tahuan.Arti puasa bagi manusia rasional bukan sekedar menaati kewajiban ritual keislaman, melainkan lebih sebagai upaya umat Islam agar masuk ke dalam proses besar perbaikan kehidupan individu dan sosial secara revolusioner dan radikal.
Rasionalitas Puasa
Melalui perspektif psikologi perkembangan (development psychology) kita bisa sedikit memberi jawaban rasional mengapa Tuhan menganjurkan kita berpuasa. Dalam psikologi perkembangan dijelaskan bahwa dalam perkembangan kepribadiannya, manusia mengubah-ubah kebutuhannya. Dengan kata lain, kenikmatan manusia berganti-ganti sesuai dengan perkembangan kepribadiannya. Pada tingkat yang masih awal sekali, kebutuhan manusia masih sebatas hal-hal yang konkret atau hal-hal yang berwujud dan kelihatan. Pada tingkat ini, kebutuhan itu memerlukan pemuasan yang segera (immediate grafitification). Mengutip pandangan Sigmund Freud, ada tiga tahap perkembangan kenikmatan dalam diri anak-anak. Semua tahap ini memiliki persamaan. Semuanya bersifat konkret, bisa dilihat, dan sifat pemenuhannya yang sesegera mungkin. Kalau orang itu lapar, ia makan. Ia sesegera memuaskan kebutuhannya pada makanan dan minuman. Di sini Freud melihat letak kenikmatan pada periode paling awal terletak pada mulut. Masa ini disebutnya periode oral. Perkembangan selanjutnya manusia mendapatkan kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari tubuh. Seperti ketika seorang anak buang air besar atau buang air kecil. Masa ini disebut periode anal. Pada periode ini seorang anak bisa berlama-lama di toilet. Dia senang melihat tumpukan kotorannya dan kadang-kadang mempermainkannya.
Periode selanjutnya adalah periode genital. Tanda-tandanya adalah kegemaran seorang anak mempermainkan alat kelaminnya dan memperlihatkan kepada orangtuanya. Di sini pandangan Freud ingin menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak hanya bersifat fisik, tidak ada kebutuhan spiritual. Namun manusia tidak cukup dengan itu. Hal-hal yang bersifat abstrak setelah kebutuhan fisik terpenuhi pasti menjadi kebutuhan selanjutnya. Semakin dewasa, semakin abstrak kebutuhan manusia. Pada orang-orang tertentu, kepribadiannya itu terhambat dan tidak bisa berkembang. Hambatan kepribadian itu disebut fiksasi. Walaupun sudah masuk kategori dewasa, tetapi dia hanya mencukupkan diri pada kebutuhan makan dan minum. Perbedaannya, dia mengubah makan dan minum itu ke dalam bentuk simbol, misalnya dalam bentuk kepemilikan kekayaan dan jabatan. Dengan melihat gaya hidup manusia modern, kita diperhadapkan oleh banyaknya manusia yang terhambat kepribadiannya. Mereka seperti anak-anak, masih mencari kenikmatan dalam makan minum dan “bermain-main dengan kelaminnya". Fenomena yang paling mencolok adalah melonjaknya keberadaan bisnis makanan, minuman dan seks, yang menyedot triliunan rupiah, untuk memenuhi kebutuhan anak-anak berusia lanjut.
Manusia yang tidak terhambat perkembangan kepribadiannya adalah mereka yang membutuhkan akan sisi abstrak dari kehidupannya: misalnya, kebutuhan intelektual, kebutuhan akan ilmu pengetahuan, dan informasi, termasuk kebutuhan spiritual. Merujuk pada pemikiran Abraham Moslow dengan konsep piramidanya. Kata Moslow, semakin tinggi bagian piramida, semakin abstrak pula kebutuhan-kebutuhannya.
Sejalan dengan ajaran Islam, kebutuhan abstrak tersebut oleh Dr. Jalaluddin Rahmat disebut al-takamul al-ruhani, proses penyempurnaan spiritual. Itulah tingkat yang paling tinggi dalam kebutuhan manusia. Jadi, puasa bukanlah sisi tradisional yang tidak relevan dengan kehidupan modernitas. Justru dengan memahami sisi fundamental dari kehidupan manusia, puasa memperkenalkan strategi yang baik guna menjawab problematika kehidupan modern yang telah terlalu jauh terjebak dalam kesemarakan bendawi. Inti dari perintah puasa adalah pengendalian diri (self control). Dan pengendalian diri adalah satu ciri dari jiwa yang sehat, jiwa yang dewasa. Telah lewat separuh lebih sedikit kita berpuasa di bulan ini, adakah tanda-tanda kedewasaan dalam diri kita ? atau justru sebaliknya ? Ramadhan bukan kita jadikan ruang penyucian jiwa melainkan ruang pemanjaan jiwa. Yang menjadikan masa kanak-kanak kita semakin panjang. Sehingga oleh Gus Dur, majelis di negeri ini yang seharusnya di isi orang yang memiliki kedewasaan matang disebutnya taman kanak-kanak.Wallahu ‘alam.