Dengan sejenak menilik kembali keadaan umum masa itu, kita dapat menjelaskan dasar keputusan dan perlawanan al-Husain, penghulu para syahid, terhadap kekuasaan Muawiyah. Masa-masa paling hitam dan getir yang dijalani keluarga Nabi SAW dan para pengikutnya sepanjang sejarah umat Islam ialah selama dua puluh tahun pemerintahan anak-anak Umayyah.
Segera setelah merebut kekhilafahan Islam dengan segala cara dan menjadi penguasa negeri-negeri Islam yang luas, Muawiyah menghimpun kekuatan besar untuk memperkukuh kekuasaannya dan menumpas habis Ahlulbait Nabi SAW. Penumpasan yang tidak sekedar genocide tetapi hingga diusahakan agar nama-nama dan citra mereka tidak lagi membekas dalam ruang ingatan dan ruas lidah umat Islam.
Dalam rangka itu, Muawiyah merekrut sekelompok sahabat Nabi SAW yang disegani dan dipercaya kalangan luas kaum Muslimin dari berbagai penjuru serta diajak bekerja sama untuk merancang hadis-hadis palsu yang menguntungkan kaum sahabat dan merugikan Ahlulbait Nabi SAW. Tak pelak lagi, ia pun memerintahkan supaya mimbar-mimbar di seluruh pelosok negeri Islam mencaci-maki dan melaknat Ali bin Abi Thalib layaknya sebuah kewajiban agama.
Melalui pembantu-pembantunya seperti Ziyad bin Ubay, Samurah bin Jundub, dan Bisr bin Arthaah, Muawiyah tak segan-segan mengakhiri hidup para pengikut Ahlulbait Nabi di mana pun mereka ditemukan. Hal itu ia usahakan dengan berbagai cara: mengumbar janji, menyuap, menipu, memaksa, dan mengancam sejauh yang mungkin ia lakukan.
Sudah barang tentu, masyarakat Muslim, dalam suasana dan lingkungan seburuk itu, sangat benci menyebut nama Ali dan keluarganya. Dipihak lain, orang-orang yang menyimpan kecintaan kepada Ahlulbait dalam nadi dan hati sudi memutuskan segenap hubungan dengan mereka ketimbang mendapatkan ancaman serius yang mengintai jiwa, harta dan kehormatan diri mereka.
Kenyataan dibalik itu semua bisa dibongkar dari hal berikut, yakni bahwa imamah (kepemimpinan Ilahi) al-Husain berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun, kurun waktu yang -kecuali beberapa bulan terakhir -semasa dengan kekuasan Muawiyah. Selama kurun waktu tersebut, ironisnya tidak ada satu hadis pun yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum fikih Islam yang pernah dinukil dan direferensikan kepada al-Husain selaku juru bicara hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam. Maksudnya, kita tidak menemukan satu hadis pun yang pernah diriwayatkan masyarakat dari al-Husain sebagai bukti kepercayaan mereka kepada beliau, bukan hadis yang diriwayatkan oleh keluarga beliau sendiri, seperti oleh para imam yang datang setelah beliau.
Hal di atas ini cukup untuk menyingkap bahwa pintu-pintu rumah Ahlulbait Nabi SAW, pada masa itu, sudah disegel dan kepercayaan masyarakat kepada mereka turun sampai titik nol.
Keadaan mencekik dan tekanan yang terus dipaksakan dalam lingkungan Muslim tidak mengizinkan al-Husain untuk melanjutkan kebangkitannya melawan Muawiyah. Ketika itu, perlawanan apa pun akan menjadi sia-sia karena hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Muawiyah telah mengambil baiat (pengakuan) dari al-Husain. Adanya baiat ini membuat orang tidak siap bergerak bersama beliau.
Kedua, Muawiyah sendiri meyakinkan dirinya di hadapan umat Islam sebagai salah satu sahabat besar Nabi SAW, penulis wahyu, dan pembantu kepercayaan tiga Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman). Lebih dari sekadar itu, ia mengatasnamakan khaal al-mu’minin (paman umat Islam) sebagai sebuah gelar suci untuk dirinya.
Ketiga, dengan trik-triknya yang khas, Muawiyah amat bisa membunuh al-Husain lewat tangan orang-orangnya untuk kemudian tampil bersih sebagai penuntut darah al-Husain dan mengadakan majelis-majelis duka cita untuk al-Husain.
Pada masa hidup al-Husain, Muawiyah sedemikian rupa memperlakukan kehidupan saudara al-Husain ini sehingga tidak lagi menyisakan sedikit pun keamanan di dalam kehidupan pribadinya. Pada akhirnya, tatkala meminta umat Islam untuk membaiat anaknya, Yazid, Muawiyah pun meracuni Imam Hasan lewat tangan istri beliau dan al-Hasan pun wafat sebagai syahid.
Al-Husain sendiri, yang bangkit melawan Yazid segera setelah kematian Muawiyah dan mengorbankan diri beserta mereka yang menyertainya -termasuk bayinya yang masih merah, tidak mampu melakukan pengorbanan tersebut pada usia imamahnya terhadap Muawiyah. Hal itu disebabkan perlawanan dan kesyahidan tidaklah berarti apa-apa di hadapan kelicikan dan muslihat yang memperlihatkan “kebenaran” berada di pihak Muawiyah, belum lagi baiat yang telah didapatkan Muawiyah.
Inilah kilasan kondisi pahit yang dipaksakan Muawiyah atas masyarakat Muslim. Ia mengunci mati pintu kediaman Rasulullah SAW serta melucuti Ahlulbait dari segala busana pengaruh, kesan, dan citra.
Kematian Muawiyah dan Kekuasaan Yazid
Tusukan terakhir yang dilesakkan Muawiyah ke tubuh Islam dan Muslimin ialah menjungkirbalikkan kekhilafahan Islam menjadi kekuasaan dinasti yang diktator dan mengangkat sang putra mahkota, Yazid, sebagai penggantinya. Padahal, Yazid bukanlah anak yang memiliki kepribadian dan karakter agamis dan bahkan tidak berusaha menunjukkannya dengan berlaga dan berpura-pura suci. Umurnya dihabiskan untuk menikmati hiburan tembang, musik, minuman arak, permainan atraktif kera, dan lain-lain tanpa menghormati hukum-hukum agama.
Terlebih lagi, Yazid tidak mempercayai agama dan ajarannya. Hal ini tampak tatkala sejumlah tawaran dari keluarga Nabi SAW dan sederetan kepala para syahid yang penggal di padang Karbala diarak memasuki kota Damaskus. Pada saat itu, ia muncul untuk menonton arak-arakan prajuritnya. Ketika terdengar olehnya gaok parau burung gagak, segera ia berkata sebagai berikut (Dinukil oleh al-Alusi dalam tafsirnya, Ruuhul Ma’aani, jilid 26/66, dari Tarikh Ibn al-Wardi dan Kitab al-Wafi bi al-Wafiyya):
Gagak itu telah menggaok
Kujawab, biar kau katakan sesuatu atau tidak
Kini aku telah mengambil penuh
Tuntutanku atas sang Rasul
Ketika semua tawanan dari keluarga Nabi dan kepala para syahid dihadapkan kepada Yazid, ia melantunkan bait-bait syair yang diantaranya sebagai berikut:
Telah bermain (Bani) Hasyim dengan kekuasaan
Meski tidak ada berita yang datang
Pun wahyu yang turun
Pemerintahan Yazid sebagai kepanjangan tangan politik Muawiyah telah berhasil memperlakukan Islam dan Muslimin, diantaranya, dengan menghilangkan hubungan Ahlulbait Nabi SAW dengan umat Islam dan para pengikutnya dari ingatan mereka.
Dalam kondisi demikian ini, sebuah cara dan langkah yang paling dapat memastikan terkuburnya Ahlulbait dan runtuhnya asas kebenaran ialah bahwa Sayidus Syuhada, al-Husain, menyatakan baiatnyakepada Yazid dan mengakuinya sebagai khalifah Rasulullah SAW yang berdaulat dan harus ditaati.
Imam Husain Terhadap Baiat Yazid
Bersandar pada khalifah sejati sebelumnya, al-Husain tidak siap membaiat Yazid: baiat yang berakibat fatal dan akan menginjak-injak agama dan ajaran sucinya. Baginya, tidak ada lagi taklif (kewajiban agama) selain menolak baiat. Sikap inilah yang hanya direstui oleh Tuhan.
Dari sisi lain, sikap penolakan al-Husain tersebut malah meninggalkan resiko yang menyakitkan sebab kekuatan besar yang begitu tangguh untuk dilawan saat itu mengarahkan segenap wujudnya dalam meminta baiat (yakni, merebut baiat atau memenggal kepala), dan tidak akan puas selain mendapatkan baiat. Oleh karena itu, kematian al-Husain dibalik penolakan baiatnya kepada penguasa adalah kepastian yang tidak bisa ditawar.
Al-Husain dengan mempertimbangkan kemaslahatan Islam dan Muslimin mengambil keputusan tegas untuk tidak memberikan baiatnya dan siap dibunuh. Begitu mantapnya beliau memilih mati ketimbang hidup.
Keputusan dan pilihan ini beliau ambil sesuai dengan kewajiban Tuhan atasnya untuk menolak baiat dan memilih mati. Pada titik inilah, kita memahami isyarat yang tekandung dalam sejumlah riwayat, yakni tatkala Rasulullah berkata kepada sang cucu, al-Husain, dalam mimpinya, “Sesungguhnya Allah ingin melihatmu terbunuh.” Pernyataan yang sama terdapat dalam jawaban beliau kepada mereka yang menahan keputusan kebangkitannya, “Bahwasanya Allah ingin melihatku terbunuh.”
Bagaimanapun, maksud keinginan Allah ini adalah kehendak tinta (tasyri’i), bukan kehendak cipta (takwini) karena kehendak cipta Allah -sebagaimana yang sudah dijelaskan pada tempatnya -tidak berpengaruh dalam kehendak dan tindakan.
Memilih Kematian di atas Kehidupan
Memang, pemuka para syuhada (Sayyidus Syuhada), al-Husain, telah mengambil keputusannya untuk menolak berbaiat kepada Yazid dan menerima resiko kematiannya. Ia mengutamakan kematian daripada kehidupan dunia. Rangkaian kejadian yang menyusul setelahnya membuktikan ketetapan keputusan beliau tersebut karena kesyahidannya, yang berlangsung dalam keadaan yang menggetirkan rasa dan dengan cara yang begitu keji, menandaskan ketertindasan Ahlulbait SAW dan keberpihakan mereka kepada kebenaran. Lebih lagi, sepanjang dua belas tahun pasca-kesyahidannya, berbagai kebangkitan dan perlawanan yang dihadapi dengan penumpasan berdarah datang silih berganti.
Sampai akhirnya, rumah itu -yang tak seorangpun mengetuk pintunya semasa hidup al-Husain -menjadi relatif tenang pada masa Imam Muhammad Baqir dan mulai kembali dibanjiri para pengikut dan pecinta dari berbagai pelosok. Sejak saat itu, jumlah pengikut Ahlulbait, dari hari ke hari, terus membesar dan menebarkan kebenaran serta kegemilangan mereka di banyak negeri. Semua itu berawal dari kebenaran dan ketertindasan Ahlulbait yang dipelopori oleh Imam al-Husain.
Kini, memperbandingkan kondisi Ahlulbait Nabi SAW dan kadar kepercayaan kepada mereka pada masa hidup al-Husain dengan kondisi pasca-kesyahidannya sepanjang empat belas abad yang terus segar dan mengakar dari tahun ke tahun, menyingkapkan kebenaran dan ketetapan keputusan beliau.
Atas dasar ini pula, Muawiyah mewasiatkan kepada Yazid bahwa jika Husain bin Ali menolak baiat, maka biarkan dia dan jangan sampai membuatnya terusik. Ia tahu bahwa Husain bukanlah orang yang bisa bernegosiasi untuk berbaiat dan bahwa sekiranya Yazid membunuhnya, itu sama artinya ia sendiri telah mengangkat Ahlulbait sebagai pihak yang mazluum ‘tertindas’. Hal inilah yang membahayakan dan mengancam Dinasti Umayyah. Pada saat yang sama, hal itu membuka jalan sosialisasi dan kemajuan yang paling efektif bagi Ahlulbait Nabi SAW
Berbagai Isyarat Imam Husain pada Kewajibannya
Al-Husain mengetahui dan meyakini adanya kewajiban Tuhan agar menolak baiat. Beliau menyadari -lebih daripada masyarakat yang ada -Kekuatan besar dan ketangguhan Bani Umayyah serta awak Yazid. Beliau juga benar-benar mengetahui bahwa konsekuensi penolakannya ialah kematian dan pelaksanaan tugas Ilahi akan berakhir pada kesyahidannya. Kesadaran yang dalam ini beliau nyatakan dalam berbagai kesempatan dan ungkapan.
Dalam pertemuannya dengan gubernur Madinah yang memintanya untuk berbaiat, Imam al-Husain mengatakan, “Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”
Ketika pada malam hari keluar dari Madinah, ia menyampaikan hadis yang diterimanya dari datuknya, Rasulullah SAW, dalam mimpinya, “Sesungguhnya Allah menghendaki (yakni, dalam rangka takiif) bahwa aku akan dibunuh.” Pernyataan yang sama beliau sampaikan dalam khutbahnya saat bergerak dari Makkah untuk menjawab keinginan orang-orang agar beliau mengurungkan niat menuju Irak.
Salah satu pemuka Arab dengan keras meminta Imam al-Husain agar membatalkan perjalanannya menuju Kufah (Irak) dan berusaha memperingatkan resiko kematian kepadanya. Namun, beliau menjawab, “Resiko ini bukan tidak jelas bagiku, hanya saja mereka tidak akan membiarkanku. Kemanapun aku pergi dan dimana pun aku berada, mereka akan membunuhku.”
Selain itu, ada sebagian riwayat, yang kendati bertentangan dengan yang lainnya atau lemah (dha’if) sanadnya, dengan merujuk kepada kondsi saat itu dan menganalisis kasus-kasus tersebut, malah menguatkan isyarat-isyarat al-Husain di atas.
Strategi Al-Husain Sepanjang Perlawanan
Tentunya, apa yang kami katakan bahwa tujuan kebangkitan al-Husain ialah kesyahidan dan Tuhan menuntut kesyahidannya, tidak berarti bahwa Tuhan menghendaki agar beliau menolak baiat kepada Yazid lalu bergegas memberitahu orang-orang Yazid supaya datang membunuhnya sehingga, dengan cara yang ‘lucu’ ini, beliau menyelesaikan tugas Ilahinya sembari meyebut cara itu sebgai suatu perjuangan.
Sesungguhnya tugas al-Husain ialah kebangkitan melawan kekuasaan busuk Yazid dan menolak baiat kepadanya. Penolakan tegas ini, yang berakhir dengan kesyahidannya, harus dituntaskannya sesempurna mungkin melalui cara yang mungkin ia tempuh.
Dari sinilah, kita bisa melihat bagaimana strategi dan taktik al-Husain sepanjang perlawanannya begitu luwes menurut perkembangan kondisi. Sejak awal pergerakannya yang ditekan oleh Gubernur Madinah, al-Husain bergerak dari kota itu pada malam hari menuju Makkah, Kota kehormatan Allah dan keamanan agama. Disanalah, beliau berlindung selama beberapa bulan. Selama itu pula, beliau diawasi agen rahasia penguasa, sampai saatnya usaha pembunuhan terhadapnya diputuskan oleh sekelompok utusan di musim haji atau penangkapan atasnya untuk segera diserahkan ke pusat kekuasaan di Syam (Syiria).
Pada saat yang bersamaan, banjir surat terus mengalir deras dari masyarakat Irak kepada beliau. Lewat ratusan dan ribuan surat itu, mereka mengundang beliau untuk datang ke sana sambil menyatakan jaminan dan ikrar setia untuk membelanya. Al-Husain pun mengambil keputusan tegas untuk memulai perlawanan bersenjata tatkala surat terakhir dari penduduk Kufah (Irak) yang melengkapi kebulatan tekad mereka tiba ditangan beliau. Sebagai upaya menyempurnakan Hujjah atas mereka, pertama-tama al-Husain mengutus Muslim bin Aqil selaku delegasinya ke kota itu. Selang beberapa waktu, beliau menerima surat dari Muslim yang menerangkan bahwa kondisi kota dan masyarakat di sana mendukung rencana beliau.
Dengan menimbang dua faktor tersebut, yakni masuknya orang-orang penguasa Syam secara rahasia dalam rangka membunuh atau menangkap beliau dan kehormatan Baitullah (Rumah Allah) serta kesiapan penduduk Kufah untuk menyertai perlawanannya, al-Husain bergerak menuju kota itu (Kufah). Ditengah perjalanan, beliau menerima berita terbunuhnya Muslim dan Hani secara kejam. Lalu, beliaupun mengubah taktik perlawanan dan perang agresifnya menjadi perlawanan defensif dan segera melakukan penyeleksian atas jamaah yang melingkunginya. Hanya orang-orang yang setialah yang dapat bertahan bersama sang penghulu para syahid, hingga darah penghabisan untuk kemudian menjumpai kesyahidan mereka.
(Sumber : Majalah Syi’ar, terbitan Islamic Cultural Center Jakarta)
source : alhassanain