Sayidah Fathimah termenung dan sedih...seandainya saja mimpinya tidak diceritakan kepada ayahnya...supaya...namun apa faedahnya? Memangnya bisa menahan qadha dan qadar ilahi? Memangnya manusia bahkan Rasulullah pun bisa mengubah Sunnah Ilahi?
Mimpi yang dialami Sayidah Fathimah dan ditafsirkan oleh Rasulullah Saw berakhir dengan sebuah kenyataan pahit yang harus diterima dan tidak ada jalan lain.
Sayidah Fathimah bermimpi memegang sebuah Quran dan membacanya, namun tiba-tiba Quran itu jatuh dari tangannya dan menghilang. Setelah bangun dari tidur, beliau sangat khawatir dan tidak tahu apa makna mimpinya. Beliau merasa bahwa makna mimpinya buruk. Keesokan harinya beliau menemui ayahnya dan menceritakan mimpinya. Rasulullah Saw berkata, “Cahaya mataku! Quran yang ada di tanganmu itu adalah aku. Ketahuilah bahwa sebentar lagi aku akan menghilang dari pandangan.”
Ucapan ayah ini benar-benar pahit dan Sayidah fathimah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Beliau tidak tahu apa yang akan terjadi sepeninggal ayahnya dan yang terpenting adalah bagaimana beliau harus bersabar menghadapi musibah besar ini. Beliau tidak tahu harus bagaimana, karena sebelumnya tidak terpikirkan bahwa suatu hari akan kehilangan ayahnya.
Detik-Detik Perpisahan
Hari itu kondisi rumah Sayidah Fathimah lain daripada yang lain. Duka dan kesedihan telah meliputinya. Seakan-akan kejadian pahit akan mendatanginya.
Sayidah Fathimah memanggil Asma’ binti ‘Umais [istri Ja’far Thayyar, saudara Imam Ali]. Setelah menyampaikan pesannya, Sayidah Fathimah berkata, “Hai Asma’! Ini adalah detik-detik perpisahan.”
Sayidah Fathimah dalam kondisi berbaring di bawah. Kemudian menutupkan selimutnya ke wajahnya dan berkata, “Setelah beberapa detik panggillah aku! Bila aku tidak menjawab, ketahuilah bahwa aku telah pergi kepada ayahku...”
‘Asma bersedih dan duduk di samping putri Rasulullah Saw. Hatinya penuh kesedihan dan menangis sambil mengingat musibah yang menimpa putri Rasulullah Saw. Dia tidak percaya bahwa putri Rasulullah Saw dalam jarak waktu yang sangat pendek dari kematian ayahnya, sesegera ini menuju kepada ayahnya dan bertambahlah kesedihan umat Islam. Namun setelah beberapa detik sebagaimana yang dipesankan Sayidah Fathimah, Asma’ memanggil beliau. Tapi beliau tidak menjawabnya. Asma’ memanggil yang kedua kalinya. Tapi kali ini juga tidak mendapatkan jawaban. Begitu selimut itu disingkap dari wajahnya, Asma’ tahu bahwa Sayidah Fathimah telah meninggal dunia. Asma’ memeluk tubuh Sayidah Fathimah dan menciumnya, seraya berkata, “Fathimah sayang! Sampaikan salamku pada ayahmu!”
Asma’ dalam kondisi menangis dan penuh kesedihan keluar dari rumah mencari Hasan dan Husein. Kedua manusia mulia ini begitu menyaksikan Asma menangis dan sedih, bertanya, “Asma’ bagaimana keadaan ibu kami?!”
Asma’ tidak bisa menjawab. Keduanya paham bahwa telah terjadi kejadian tidak menyenangkan. Mereka menuju pada ibunya. Husein melihat ibunya sedang membujur menghadap kiblat. Begitu dia menggoyangnya, dia paham bahwa ibunya telah meninggal dunia.
kesedihan telah menyelimuti hatinya, dia menghadap kepada saudaranya yang lebih besar Hasan dan berkata, “Saudaraku! Semoga Allah memberi kesabaran padamu! Ibu kita telah meninggal dunia.”
Hasan memeluk ibunya dan berkata, “Ibuku! Sebelum ruh dikeluarkan dari tubuhku, berbicaralah denganku...!”
Husein mencium kaki ibunya dan berkata, “Ibuku! Aku adalah anakmu. Sebelum hatiku robek, berbicaralah denganku...!”
Asma’ berkata, “Sayangku! Anak-anak Rasulullah! Pergilah dan beritahu ayahmu akan kematian istrinya!”
Keduanya keluar dari rumah. Di jalan keduanya menangis keras-keras dan berkata, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Sekarang musibah kematianmu menjadi baru bagi kami. Hari ini kami kehilangan ibu kami...”
Imam Ali as berada di masjid dan mendengar suara tangisa anak-anaknya. Hasan dan Husein menemui ayahnya dan mengucapkan belasungkawa padanya. Imam Ali pingsan mendengar kabar ini. Kemudian wajanya diperciki air dan siuman. Dengan hati yang hancur beliau berkata, “Fathimah sayang! Ketika engkau masih hidup, aku selalu menenangkan hatimu atas musibah kematian Rasulullah.
Sekarang, setelah kematianmu, dari siapa aku harus mendapatkan ketenangan?”