Mukadimah
Agama Islam – sebagaimana maklum – meliputi masalah-masalah aqidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah aqidah ( ushuluddin ), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as, seorang muslim tidak dibenarkan bertaklid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaklid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika kita ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah lebih? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen-argumen yang sangat sederhana sekali. Hal ini merupakan satu kelebihan bagi mazhab Ahlulbait dan dapat menjadikan mazhab ini lebih maju dibandingkan dengan mazhab-mazhab akidah lain dalam Islam. Karena itu, orang-orang yang memahami akidah Islam dengan baik berdasarkan bimbingan mazhab ini tidak akan bergeming darinya walau selangkahpun. Dan orang-orang yang berada di luar mazhab ini pasti akan ikut bergabung dengannya setelah mereka memahaminya dengan baik dan benar, baik dari kalangan non muslim maupun dari golongan mazhab lain. Karena agama dan mazhab laksana bahtera yang akan mengantarkan umat manusia ke pulau abadi. Para penumpang yang pandai pasti akan berhat-hati dalam memilih kapal dan nakhodanya dan mereka akan memilih kapal dan nakhoda yang mereka yakini dapat menyampaikan mereka ke pulau kebahagiaan abadi dengan selamat. Apakah selama ini Anda sudah mengecek dan melakukan pengujian atas kapal yang Anda tumpangi dan ikuti? Apakah selama ini Anda sudah menguji argumen-argumen akidah yang Anda yakini dengan cara berdialog, diskusi dan lainnya?
Berbeda halnya dengan masalah fikih atau furu’uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, kaum muslimin secara umum dan apa pun mazhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Mujtahid, kelompok Muqallid dan kelompok Muhtath.
Sebelum kami menjelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtâth, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu pengertian “darûriyyatuddin” yang merupakan bagian dari “Ahkam Syari’ah“.
Hukum-hukum syari’at (Ahkam Syari’ah) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ahkam Dharuriyyah, yaitu hukum-hukum darûriyyah yang biasa juga disebut darûriyatuddîn artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma’ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum musliminin. Dan untuk mengetahuinya tidak perlu menguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum darûriah itu tidak memerlukan Contohnya seperti wajibnya salat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain dimana seluruh kaum musliminin telah meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad.
Hukum-hukum syari’at yang bukan dharuri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut “Ahkam Ghairu Dharuriyyah” yaitu selain hukum-hukum dharuriyyah. Ahkam ghairu dharûriyyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti, tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) agar dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya. Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para Mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul. Tingkat Bahtsul Kharij ini dapat dimasuki oleh seorang santri/talabeh setelah melewati peringkat sutuh. Setidaknya Menurut hemat kami, mereka yang duduk dalam tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih selama lima belas tahun (bahkan lebih) untuk dapat melakukan ijtihad. Sedang peringkat sutuh itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah ia dapat memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij.
Seorang Mujtahid Mutlak untuk dapat mencapai tingkat marja’iah (menjadi marja’ dan nara sumber hukum bagi masyarakat umum) biasanya ada syarat-syarat khusus yang ia harus tempuh, seperti adanya kesaksian dari beberapa orang ulama yang dikenal dengan Ahli Khibrah dan –idealnya- telah menulis Risâlah ‘Amaliah agar dapat dirujuk oleh masyarakat umum dengan mudah. Seorang ulama Syi’ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja’ berkata : ” Mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang kompleks, keseriusan dan kerja keras yang istiqomah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang disebut dengan “taqlid “. Dan hal inipun merupakan kelebihan lainnya bagi mazhab Ahlulbait. Sebetulnya pada masa hayat para Imam mazhab, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi dan lain-lain, masyarakat muslim Ahlisunnah pun –dalam masalah furu’uddin- merujuk kepada para ulama atau imam yang telah mencapai peringkat ijtihad. Tetapi kemudian setelah ulama mereka membatasi mujtahid yang boleh ditaklidi itu hanya empat orang saja dan mereka pun segera menutup pintu ijtihad, maka sejak itu mereka tidak lagi mempunyai ulama sebagai marja’ yang mencapai peringkat ijtihad. Dan ini merupakan satu kemunduran yang fatal dalam dunia fikih bagi umat Islam Sunni. Terlebih lagi pada masa sekarang ini, hukum-hukum Islam yang mereka gali dari sumber-sumbernya yang asli tidak bisa diterapkan di dalam pemerintahan Islam, terutama hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah politik.
Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtath
Mujtahid ialah orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur’an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja’) bagi orang-orang awam dan kelompok muqallid.
Muqallid ialah orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini harus ber-taqlid kepada seorang Mujtahid atau Marja’ yang telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang Mujtahid. Sedang arti taqlid itu sendiri adalah beramal ibadah, ber-mu’amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan fatwa-fatwa seorang Mujtahid atau marja’.
Muhtath ialah orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, tetapi lebih tinggi derajatnya dari mukallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fatwa seorang Marja’ dengan fawa-fatwa Marja’ lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muhtath adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muhtath jumlahnya sangat sedikit sekali, karena ber-ihtiyath adalah termasuk pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan ber-taqlid kepada seorang marja’.
Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim
Apabila Anda ditanya orang; Mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam madzhab Syi’ah Imamiah (Ahlulbait as) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah ushuluddin- kepada orang lain sekali pun kepada ulama dan para mujtahid, tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan “daruriyyatuddin” -setiap muslim yang awam- diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja’ ?
Jawabnya adalah: Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/aqidah dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga dalam masalah-masalah aqidah tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, tetapi dalam masalah-masalah fiqih /furu’uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hanya para mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja’.
Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan kehidupan dan kemajuan zaman sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja’ agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.
Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialis, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk kepada para mujtahid dan marja’ yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya akidah, iman dan akhlak Islami seorang muslim. Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adat istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.