Kemiskinan hingga kini menjadi salah satu masalah paling pelik di dunia. Berbagai kalangan mengajukan beragam teori, sambil menyebut usulannya sebagai obat paling mujabat. Di level internasional, pada tahun 2000, UNDP mencanangkan program Pembangunan Milenium (MDGs). Salah satu tujuan utamanya adalah pengentasan kemiskinan dengan target mengurangi angka kemiskinan hingga 50 persen pada tahun 2015. MDGs merupakan konsensus internasional untuk menanggulangi kemiskinan, kelaparan, kematian ibu dan anak, penyakit, buta aksara, diskriminasi perempuan, penurunan kualitas lingkungan hidup serta kurangnya kerjasama dunia di sektor pembangunan.
Tampaknya, capaian target tersebut jauh panggang dari api. Kini, tinggal tiga tahun dari tenggat waktu target MDGs itu, namun seperempat dari populasi dunia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Saat ini, pendapatan seperempat penduduk dunia kurang dari 1,26 dolar perhari. Lebih dari satu milyar penduduk dunia juga menderita kelaparan. Berbagai fakta menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, orang-orang miskin di dunia, semakin terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kelaparan. Ironisnya, sebagian negara yang berada dalam kubangan kemiskinan itu justru merupakan pemilik sumber daya alam yang melimpah.
Zimbabwe misalnya, negara itu berada di urutan termiskin di dunia bersama sejumlah negara Afrika lainnya. Selain mengandalkan pertanian seperti kapas, dan tembakau, serta industri tekstil, negara itu memiliki cadangan emas dan platinum. Zimbabwe merupakan satu negara dengan catatan rekor inflasi tertinggi di dunia, bahkan pernah mencapai 11,2 juta persen pada Agustus 2008. Zimbabwe juga dikenal sebagai negara yang pernah mengeluarkan pecahan mata uang terbesar di dunia, yakni 100 miliar dolar Zimbabwe.
Galibnya, para ekonom menilai masalah utama yang terjadi di negara-negara miskin adalah buruknya tata kelola ekonomi di sana. Maka yang kemudian muncul adalah berbagai resep seperti pinjaman asing dengan syarat, privatisasi, pencabutan subsidi, pengawasan ketat yang dilakukan oleh LSM terhadap kinerja pemerintah, serta deretan kebijakan lain yang berpusat pada reformasi sistem pemerintahan, bersama skema paket pemulihan ekonomi bersyarat. Memang salah satu masalah terbesar yang menimpa dunia ketiga adalah buruknya sistem manajemen pemerintahan yang memberikan ruang yang luas bagi penguasa untuk mengembangbiakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Namun, ada sejumlah poin yang dilupakan para ekonom itu. Pertama, acapkali konflik internal sebuah negara seperti perebutan kekuasaan antarpartai, suku, etnis sengaja dipelihara oleh korporasi raksasa tertentu dan negara tertentu untuk mengamankan kepentingan ekonomi jangka panjangnya. Kasus paling nyata adalah fenomena Papua. Konflik di sana sengaja dipelihara untuk mengamankan penguasaan Freeport terhadap kekayaan emas yang melimpah di bumi Papua.
Kedua, di ranah ekonomi pembangunan ada teori yang pernah begitu terkenal terutama di era orde baru yang disebut Trickle Down Effect. Teori ini mengibaratkan kesejahteraan ekonomi seperti tetesan air dari atas ke bawah. Para pengusungnya meyakini bahwa kemakmuran akan dapat tercapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam pandangan teori ini, suatu suntikan ekspansi ekonomi akan berdampak pada multiplier effect terhadap pelaku ekonomi di bawahnya, sehingga akan berimbas pada kemakmuran.
Teori ini meyakini bahwa kemajuan di negara-negara maju akan berimbas positif ke negara miskin. Ketika negara maju menjalankan pabrik-pabrik dan industri raksasa, tentu mereka membutuhkan bahan baku yang harus didatangkan dari negara dunia ketiga yang memiliki limpahan bahan baku. Dengan cara ini tidak hanya negara maju yang sejahtera, tapi juga negara dunia ketiga turut merasakannya.
Tapi ada problem krusial dari lingkaran sistem itu. Betul, negara dunia ketiga mendapatkan keuntungan dari penjualan bahan baku tersebut. Tapi hasil yang didapat tidak seberapa dengan keuntungan yang diraup dunia pertama. Mereka akan tetap menjadi konsumen dari komoditas, yang bahan bakunya pernah melimpah di negerinya sendiri, kemudian menjadi langka. Terjadi ketimpangan struktural yang disengaja.
Tampaknya Wallerstein benar, dunia adalah sebuah sistem Kapitalis yang mencakup seluruh negara di dunia tanpa kecuali. Tapi, pengusung The World Systems Theory itu lebih melihat integrasi yang terjadi dalam sistem dunia banyak dikarenakan pasar (ekonomi) daripada kepentingan politik. Padahal pada faktanya cukup sulit untuk memisahkan dominasi kepentingan politik dan ekonomi. Sebab keduanya memiliki ikatan yang saling mengikat.
Ketiga, luputnya para ekonom memotret gambaran besar masalah ekonomi akibat mereka keukeuh mempertahankan paradigma Law of Scarcity and choice, hukum kelangkaan dan pilihan sebagai the basic economic problem. Bagi ekonom, seluruh problem ekonomi selalu berpusat pada dua hal saja, kelangkaan dan pilihan. Tapi mungkin ekonom lupa ada masalah lain yang tidak dilihat yaitu keserakahan manusia. Bagi yang sadarpun, ini dianggap bukan kerjaan para ekonomi yang melihat perilaku keserakahan manusia dalam aktivitas ekonomi.
Adalah Muhammad Baqir Shadr yang menelorkan teori bahwa problem ekonomi bukan kelangkaan dan pilihan, tapi keserakahan manusia. Jika para ekonomi berpikir untuk mengatur dan mengendalikan pilihan-pilihan dalam perilaku ekonominya, Shadr justru menegaskan bahwa ambisi manusia itulah yang harus dibatasi dan dikendalikan.
Sejumlah pemikir ekonomi seperti Chapra dan Zarqa misalnya, mencoba meletakan pandangan Sadr ini di kavling ekonomi normatif yang melihat keharusan dari sebuah aktivitas ekonomi. Jika para ekonomi mainstream berbicara tentang as it as, maka Sadr membuka ruang ought to be.
Kembali ke masalah kemiskinan, dengan dengan pendekatan ekonomi mainstream problem pelik ini tidak pernah tersentuh pada akarnya. Kegelisahan Wallerstein tetap tidak terjawab. Keserakahan korporasi asing yang mengeruk kekayaan alam sebuah negara miskin juga tidak tersentuh dengan pendekatan mainstream. Dan saya kira pendekatan baru Sadr dalam melihat masalah ekonomi akan menjadi sebuah terobosan baru dalam kavling baru bernama ekonomi politik Islam.
Jika Wallerstein tidak menawarkan sebuah solusi keluar dari lingkaran setan sistem dunia yang menjerat negara dunia ketiga, Shadr punya tawaran alternatif tentang sistem dunia yang berkeadilan. Dalam konteks kekinian, langkah yang ditempuh berdasarkan teori Shadr ini adalah mendesak reformasi sistem ekonomi global. Organisasi internasional milik bersama bangsa-bangsa dunia semacam PBB harus menata ulang sistemnya, dan membatasi pengaruh korporasi asing yang menggurita di seluruh dunia. Tapi yang terjadi selama ini justru lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia menjadi perpanjangan korporasi-korporasi yang menjadi invisible government di seluruh dunia itu. Inilah yang digugat Sadr dan dilupakan para ekonom [Islamic-Sources/Irib Indonesia/Purkon Hidayat]