Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jumat (7/7) malam, ini menggelar Halal Bihalal di auditorium Lantai 8 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta. Forum yang digelar secara lesehan ini dihadiri segenap pengurus PBNU, pimpinan pusat badan otonom NU, sejumlah pejabat negara, dan warga secara umum.
Di hadapan hadirin, Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin mengatakan, NU berkewajiban mengutuhkan bangsa Indonesia, yang dimulai dari mengutuhkan Nadliyin dan mengutuhkan umat Islam. Ia berharap momentum halal bihalal kali ini menjadi sarana mengembangkan pengabdian organisasi.
“Kita jadikan suasana Idul Fitri ini untuk meningkatkan kinerja kita ke depannya,” ujar Kiai Ma’ruf.
Menurutnya, saat ini bangsa Indonesia sedang terganggu oleh munculnya kelompok radikal. Ia menyebut dua jenis radikalis, yakni radikalis agama dan radikalis sekuler. Dua-duanya tidak cocok untuk Indonesia karena negara ini bukan negara agama juga bukan negara sekuler.
Mengutip pandangan Imam al-Ghazali, Kiai Ma’ruf berpendapat, negara terbentuk karena adanya hubungan saling membutuhkan atau interdependensi. Kondisi inilah yang menjadi karakter asli manusia yang harus dipertahankan.
Kiai Ma’ruf juga menyinggung soal tradisi halal bihalal yang merupakan khas Indonesia. Dalam tinjauan gramatika Arab, frase halal bihalal tidak dikenal. Karena yang benar, menurutnya, istihlal (meminta halal) dan ihlal (memberi halal). Namun bagi orang Indonesia, istilah halal bihalal lebih mudah diucapkan.
Hadir pula dalam kesempatan ini Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dan sejumlah pejabat lainnya.