Indonesian
Wednesday 16th of October 2024
0
نفر 0

Sekilas tentang Insan Kamil dalam Irfan

Sekilas tentang Insan Kamil dalam Irfan



Pengenalan terhadap hakikat manusia sejak dahulu sudah menjadi pusat perhatian ulama dan para cendekiawan dari berbagai aliran dan mazhab pemikiran serta sudah melahirkan karya-karya yang bernilai tentang bab ini. Dalam pengenalan ini manusia ditinjau dari dua sudut pandang: deskriptif dan preskripsi. Dari sudut pandang awal yang menjadi aspek tinjauan adalah esensi dan hakikat, kekhususan dan sifat-sifat aktual manusia, dan dari sudut tinjauan kedua, manusia dilihat dari segi potensi dan insaniyahnya (manusia mesti menjadi apa), dengan kata lain manusia sempurna (Insan Kamil) itu siapa ia?


Setiap agama dan maktab berupaya menyuguhkan konsep Insan Kamil dari berbagai sudut pandang mereka, karena itu dengan menyebutkan kekhususan-kekhususan yang berbeda berusaha menunjukkan model dan prototipe ideal tentangnya sehingga yang lainnya dengan meneladaninya bisa melewati jalan menuju kesempurnaan serta memekarkan dan mengaktualkan potensi-potensi yang dimilikinya. Agama dan Maktab Islam juga memiliki pandangan yang dalam tentang kekhususan kedudukan dan maqam bagi Insan Kamil, sampai Tuhan dalam al-Qur’an menyebutnya sebagai khalifah-Nya (QS:Al-Baqarah:30) dan memperkenalkannya sebagai suri teladan bagi lainnya (QS:Al-Ahzab:21), dan dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menciptakan Adam as atas bentuk-Nya. Mungkin para urafa muslimin dengan terispirasi kandungan ayat dan riwayat ini sehingga berpandangan bahwa Insan Kamil merupakan manifestasi sempurna Hak Swt dan mazhar seluruh asma dan sifat-Nya serta memandang pengenalan terhadapnya merupakan mukadimah bagi pengenalan Hak Swt.


Dalam tradisi ilmu dan intelektual Islam, permasalahan Insan Kamil terhitung sebagai salah satu makrifat yang sangat tinggi dan dalam, khususnya dalam tradisi pengajaran Irfan Islami dibahas dan dikaji secara mendalam dan filosofis. Sebab, seluruh tema pembahasan ilmu ini berpusat pada dua aspek pembahasan inti, yaitu tauhid dan muwahhid, yakni Wahdatul Wujud dan Insan Kamil. Oleh karena itu, dalam tasawuf dan Irfan Islami, pengetahuan terhadap hakikat manusia, dalam hal ini Insan Kamil, sudah menjadi pembahasan dan pengkajian secara luas dan mendalam, dan para urafa Islam seperti Ibnu Arabi, Qunawi, Janadi, Qaishari, Nasafi, Jili, Haidar Amuli dan Imam Khomeni mempunyai tafsiran dan teori yang sangat bernilai tinggi tentang masalah ini.


Urgensi dan pentingnya pembahasan Insan Kamil bagi kita kaum muslimin sudah menjadi sesuatu yang niscaya; sebab pendidikan dan tarbiyah akhlak dalam Islam dapat dimungkinkan hanya berasaskan pengenalan terhadap Insan Kamil. Oleh karena itu, bagi kita, pengenalan manusia sempurna menjadi keharusan dan sangat urgen ditinjau dari aspek bahwa pengenalan terhadapnya pada hakikatnya pengenalan terhadap sosok teladan kesempurnaan manusia. Sebagaimana dalam al-Qur’an, keharusan menjadikan suri teladan manusia sempurna disebutkan seperti ini:
«لقد کان لکم في رسول الله اسوة حسنة لمن کان يرجوا الله و اليوم الاخر وذکر الله کثيرًا» (احزاب/21).
“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhirat dan yang banyak mengingat Allah” (QS:Al-Ahzab:21).


Dalam ayat mulia ini, Tuhan memperkenalkan Nabi Islam Saw yang merupakan misdak paling jelas Insan Kamil sebagai uswah dan teladan bagi umat Islam; yakni umat dan masyarakat Islam jika menginginkan rahmat dari Tuhan, keselamatan hari akhirat, serta kebahagiaan insani mesti menjadikan Rasulullah Saw sebagai suri teladan dalam berbagai dimensi kehidupannya, baik itu pemikiran, keyakinan, perkataan, maupun tindakan dan perbuatan. Syahid Muthahari tentang keniscayaan dan urgensi Insan Kamil berkata: Jika kita tidak mengenal Insan Kamil Islam niscaya kita tidak dapat menjadi seorang muslim sempurna dan totalitas (Murtadha Muthahari, Insan Kamil, hal. 20).


Salah satu hadits yang memberi petunjuk pada urafa dalam masalah manusia sempurna adalah hadits Nabi Saw; “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya”
«إنّ  الله خلق آدم علی صورته» (Kulaini, Ushul Kafi, hal. 182). Ibnu Arabi dalam mengomentari masalah ini berkata: “Sesungguhnya Dia menciptakannya atas rupa-Nya; bahkan dia identik hakikat-Nya dan huwiyyah-Nya” (Ibnu Arabi, Fushushul Hikam, Syarh Abul’ala ‘Afifi, Intisyarat Az-Zahra, hal. 125). Yakni manusia diciptakan dalam rupa Tuhannya, bahkan ia identik hakikat dan huwiyyah (identitas) Tuhan. Pensyarah Fushushul Hikam Allamah Qaishari, dalam mengomentari ungkapan dari Ibnu Arabi ini berkata: yang dimaksud dengan shurah (rupa, bentuk, wajah) adalah nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Yakni Tuhan menciptakan manusia dalam maqam tersifati dengan seluruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan bahkan identitas dan hakikat Ilahi tersembunyi dalam hakikat manusia, karena itu identitas manusia identik dengan identitas Tuhan, dan hakikatnya identik dengan hakikat Tuhan. Oleh karena itu, manusia adalah mazhar dari Al-Ismul A‘zham  (nama paling agung, greatest name) Tuhan yang mengumpulkan seluruh hakikat nama-namaNya (Muhammad Dawud Qaishari, Syarah Fushushul Hikam, hal. 790).


Dengan demikian, dari sudut pandang Irfan Islami, manusia sempurna dalam piramida eksistensi mempunyai maqam dan kedudukan khusus. Dia menjadi tempat tajalli nama-nama dan sifat-sifat Ilahi serta lokus manifestasi Al-Ismul A’zham Tuhan. Dia Khalifah Tuhan, Wali Tuhan, dan Masyiyyah Tuhan, dan dengan perantaraannya alam dan manusia diciptakan, dan juga dengan perantaraannya alam dan manusia terjaga.


Orang yang pertama kali mengungkapkan gagasan tentang manusia dengan penyematan Insan Kamil adalah arif masyhur Muhyiddin Ibnu Arabi (Murtadha Muthahari, Insan Kamil, hal. 20). Dia menggunakan istilah ini dalam dua karya irfan besarnya kitab Fushush Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Dan selanjutnya peristilahan Ibnu Arabi ini tentang manusia menjadi sebab masuknya istilah Insan Kamil dalam budaya ilmu dan intelektual Islam, hingga sesudahnya setiap ahli irfan dan ahli syuhud ketika berbicara tentang hakikat dan makrifat yang sangat dalam tentang manusia mengungkapkannya di bawah tema Insan Kamil dalam teks-teks irfan mereka.


Menurut urafa, Insan Kamil adalah gambaran sempurna Ilahi dan cerminan sempurna nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Ia adalah perantara antara Hak Swt dan ciptaan, karena itu dengan perantara wujudnya emanasi Tuhan sampai ke alam dan  karena eksistensinya keberadaan alam tetap langgeng. Azizuddin Nasafi dalam kitabnya Al-Insan Al-Kamil menyebutkan berbagai ungkapan-ungkapan ahli makrifat bagi nama-nama Insan Kamil dimana sebagian dari itu adalah: Khalifah, Imam, Qutub, Shahib Zaman, Ayineh Gity Namâ, Mahdi, Hâdi, Jâme Jahân Namâ, Pisywâ, dan lainnya. Dia berkata tentang Insan Kamil: Insan Kamil senantiasa ada dalam alam dan tidak lebih dari satu dari sisi bahwa keseluruhan maujud-maujud sebagaimana mereka adalah satu individu, dan maujud-maujud tidak bisa tanpa qalbu; karena itu Insan Kamil senantiasa ada dalam alam; dan qalbu tidak lebih dari satu maka Insan Kamil dalam alam tidak lebih dari satu. Dalam alam terdapat banyak orang pintar, namum yang menjadi qalbu alam tidak lebih dari satu. Yang lain berada pada tingkatan-tingkatan, dan masing-masing berada pada suatu tingkatan. Sebab yang satu-satunya di alam tersebut meninggalkan alam ini maka satu dari yang lainnya mencapai tingkatannya dan menempati kedudukannya sehingga alam tidak  pernah tanpa qalbu ( Azizuddin Nasafi, Kitab Al-Insan Al-Kamil, Pengantar: Henry Corbin, Tehran: Kitâb Khâneh Thahuri, Cetakan 4, 1375, hal. 75).


Insan Kamil adalah manusia yang sampai pada keaktualan, yang menemukan unitas eksistensial dengan Nafas Rahmani. Dan dalam tataran keaktualan tersebut terdapat tingkatan dan kesempurnaan yang berbeda, dimana batas akhir kesempurnaannya hanya Hadhrat Khatam Rasulullah Saw yang mendapatkan determinasinya dan tidak ada selainnya yang mampu sampai pada kesempurnaan tersebut  dan tidak akan ada yang dapat  sampai. Arif Jili tentang hal ini berkata: Setiap individu manusia masing-masing merupakan resep sempurna bagi lainnya, akan tetapi sebagian mempunyai kapasitas dan potensi kesempurnaan-kesempurnaan berbagai sesuatu… dan sebagian lainnya menemukan keaktualan kesmpurnaan-kesempurnaan pada mereka dan secara aktual mempunyai kesempurnaan-kesempurnaan tersebut. Kelompok kedua ini adalah para nabi dan para wali sempurna, dimana mereka dalam kesempurnaan-kesempurnaan itu sendiri adalah berbeda; sebagian sempurna dan sebagian lainnya adalah lebih sempurna. Akan tetapi batas akhir dari kesempurnaan itu yang determinasinya diperoleh Hadhrat Muhammad Saw, tidak akan seorangpun dari manusia lainnya dapat menemukannya. Jadi Hadhrat tersebut adalah Insan Kamil dan para nabi dan para wali serta manusia-manusia sempurna lainnya dikarenakan keikutsertaan sempurna kepada lebih sempurna, mereka mengikut kepadanya, dan disebabkan penisbahan utama kepada lebih utama, mereka dinisbahkan kepada Hadhrat tersebut. Akan tetapi dalam tulisan-tulisan saya setiap kali digunakan lafazh Insan Kamil secara mutlak maka yang dimaksud adalah Hadhrat Muhammad Saw. Sebab bagi Insan Kamil akan disebutkan sifat-sifat dan kesempurnaan-kesempurnaan yang penisbahan mereka tidak boleh kapada selain Nabi Islam Saw (Abdul Karim Jili, Al-Insanul Kamil Fi Makrifatil Awakhir Wal Awail, Bairut: Darul Kutubil Ilmiyyah, Cetakan pertama, 1418 H, hal. 207).


Imam Khomeni seperti urafa lainnya mempunyai pandangan luas dan dalam tentang Insan Kamil, dimana salah satu dari karya penting baliau dalam pembahasan Nubuwwah dan Wilayah, yakni misdak paling jelas Insan kamil, beliau dalam risalahnya berjudul Misbahul Hidayah Ilal Khilafah Wal Wilayah membahas dan menjelaskan masalah ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembahasan Insan Kamil merupakan buah dan hasil pembahasan dari ahli mukasyafah dan irfan yang memiliki kedudukan dan nilai tinggi serta keurgenan khusus. Imam Khomeni dalam menjelaskan hakikat Insan Kamil berkata: Insan Kamil sebagaimana cermin ia memantulkan gambaran Hak Swt, dan Tuhan menyaksikan diri-Nya dengannya; disamping itu ia juga cermin penyaksian seluruh alam eksistensi (Imam Khomeni, Ta’liqat ‘ala Syarhi Fushushul Hikam wa Misbahul Uns, hal. 59). Dari ungkapan Imam Khomeni ini dapat dipahami bahwa menurut beliau Insan Kamil seperti sebuah cermin yang mempunya dua wajah: Dalam satu wajah, nama-nama dan sifat-sifat Ilahi bertajalli, dan Tuhan menyaksikan diri-Nya dalam pantulan cermin sebagai gambaran diri-Nya, sementara dalam wajah lainnya memperlihatkan alam eksistensi dengan seluruh sifat dan kesempurnaan eksistensialnya.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Peristiwa-peristiwa alam saat dan sesudah Imam Husein (as) terbunuh
Cara Mengetahui Marja’ A’lam
Mahar dan Hak Finansial Perempuan
Agama dan Kekerasan
Imam Husein as, Ruh Kemanusiaan
Sejenak Bersama Al-Quran: Taubat Penyelamat Manusia
Menelisik Fungsi Hidayah Imam Hasan Askari as
Hazrat Zainab (sa) cucunda Nabi Muhammad (saaw)
Benarkah Kita Mencintai Rasulullah ?
Iran dan Revolusi yang Belum Selesai

 
user comment