3. Pandangan Irfan; Wahdah al-wujûd
‘Urafa meyakini bahwa wujud hanya memiliki satu objek dialam eksternal. Wujud hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq secara zati. Realitas hakikat objektif dialam eksternal hanya wujud semata. Oleh karena itu jika wujud hanya satu maka meniscayakan tidak akan ada pluralitas dalam wujud. Walaupun demikian, urafa sama sekali tidak mengingkari adanya pluralitas. Urafa mengatakan bahwa selain wujud Al-Haqq, yang lain hanya merupakan manifestasi atau tajalli dari Al-Haqq. Dalam gradasi wujud dijelaskan bahwa wujud yang paling puncak adalah wujud Al-Haqq dan selain Al-Haqq dipredikatkan padanya wujud secara hakiki.
Dalam pandangan ‘urafa, saat kita menerima wujud bersifat mutlak maka akan meniscayakan wujud tersebut hanya memiliki satu objek saja. Mutlak di sini meniscayakan ketidakterbatasan dan ketidakterbatasan akan meniscayakan penafian terhadap yang lainnya dikarenakan jika ada satu ruang dimana mutlak tidak berada pada ruang tersebut maka akan membatasi kemutlakan itu sendiri.
Dalam filsafat hikmah muta’aliyah dijelaskan bahwa wujud mengalami gradasi secara hakiki. Gradasi dalam hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan pada nama-nama Al-Haqq.[23] Untuk menegaskan hal di atas, penulis akan menukil beberapa perkataan beberapa arif , di antaranya sebagai berikut;
Shadaruddin Qŭnawî mengatakan bahwa wujud Al-Haqq adalah zatnya itu sendiri, sedangkan selainnya adalah tambahan atas zatnya;
الوجود في الحق عين ذاته و فيما عداه امر زائد على حقيقته[24]
Kemudian Shainuddin Al-turkah dalam kitabnya tamhidul qawâ’id meyakini bahwa dalam wujud sama sekali tidak ada gradasi:
ثُمَّ انّ الوجود الحاصل للماهيات المختلفة و الطبايع المتخالفة لا يقبل الوجود و العدم لذاته لما أشير إليه في موضعه، فيجب ان يكون واجباً لذاته، و حينئذ لو وجد هناك موجود آخر مغاير له، لتعدَّد الواجب لذاته[25]
Qaisharî dalam muqaddimahnya terhadap fhusus al-hikam menjelaskan bahwa hakikat wujud bukan wujud eksternal dan bukan wujud internal, hakikat wujud lebih luas dari wujud eksternal dan wujud internal. Hakikat wujud sama sekali tidak terlimitasi dengan bentuk limitasi apapun bahkan tidak terlimitasi dengan limitasi mutlak sekalipun. Oleh karena itu hakikat wujud tidak disifatkan padanya dengan sifat mutlak dan limitasi. Oleh karenanya hakikat wujud bukan universal, bukan partikular, bukan umum, bukan khusus. Unitas wujud bukan sesuatu yang ditambahkan pada zatnya. Maka hakikat wujud tidak menerima pluralitas;
اعلم، ان الوجود من حيث هوهو غير الوجود الخارجي و الذهني، إذ كل منهما نوع من أنواعه فهو من حيث هو هو، أي لا بشرط شيء، غير مقيد بالإطلاق و التقييد و لا هو كلّى و لا جزئي و لا عام و لا خاص و لا واحد بالوحدة الزائدة على ذاته و لا كثير[26]
Sayyid Haidar Amulî dalam kitabnya naqd annuqŭd fî al-ma’rifat al-wujûd menjelaskan bahwa hakikat wujud tidak ada yang lain kecuali Al-Haqq beserta kesempurnaan-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan kekhususan-Nya. Sedangkan mazahirnya (theophanic forms), alam, dan ciptaan adalah perkara-perkara yang bersifat i’tibârî (derivative) dan secara wujud adalah majazi;
فحينئذ لا يكون في الوجود حقيقة الا هو تعالى و أسماؤه و صفاته و كمالاته و خصوصيّاته. و لا يكون المظاهر و الخلق و العالم الا أمرا اعتباريّا و وجودا مجازيّا[27]
Abdurrahman Jami juga menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan dalam hakikat wujud akan tetapi perbedaan itu pada manifestai-manifestasinya;
ما في الوجود الّا عين واحدة هي عين الوجود الحقّ المطلق و حقيقته، و هو الموجود المشهود، لا غير. و لكنّ هذه الحقيقة الواحدة و العين الأحدية لها مراتب ظهور لا تتناهى أبدا في التعيّن و التشخّص[28]
Pandangan irfan mengenai Wahdah al-Wujûd ini berbeda dengan konsep wahdat assyuhûd (unity of vision). Ada yang mengatakan bahwa antara Wahdah al-Wujûd dan wahdat assyuhûd hanya berbeda dalam etimologi saja, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama. Wahdat assyuhûd menjelaskan bahwa ‘urafa akan sampai pada satu maqam di mana dia tidak akan menyaksikan sesuatu apa pun kecuali Al-Haqq. Jika hati ini hanya diisi oleh Al-Haqq maka apapun yang disaksikan, didengar, semuanya adalah Al-Haqq. Tak ada rupa dan warna terkecuali rupa dan warna Al-Haqq. Dalam konteks ini sebaiknya kita membedakan antara tidak menyaksikan sesuatu apapun kecuali diri-Nya dengan tidak ada sesuatu apapun yang wujud kecuali diri-Nya.
Pada penjelasan pertama sama sekali tidak menafikan pluralitas wujud karena masih memberikan kemungkinan keberadaan yang lain, akan tetapi dikarenakan kefanaan dirinya kepada Ilahi sehingga ia tidak menyaksikan segala sesuatunya kecuali Al-Haqq. Namun pada penjelasan kedua menegaskan penafian wujud selain wujud Al-Haqq.
Selanjutnya, yang mesti juga dibedakan dari Wahdah al-Wujûd adalah istilah pantheisme. Sebagian menganggap bahwa istilah Wahdah al-Wujûd sama dengan istilah pantheisme yang ada dibarat. Istilah pantheisme itu sendiri adalah terbilang istilah ambigu disebabkan tidak adanya penafsiran yang sama terhadapnya dan hampir aliran pemikiran di Barat memiliki penafsiran sendiri terhadap panteisme. Qâsim Kâkâî dalam bukunya Wahdah al-Wujûd menjelaskan pantheisme sebagai berikut:
Dari paparan di atas, penulis hendak membatasi makna istilah Wahdah al-Wujûd. Wahdah al-Wujûd sebagaimana yang dipahami oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Dengan kata lain Wahdah al-Wujûd bermakna ‘wujud’ hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq dan selain dimaknai sebagai manifestasi atau zuhur dan atau penampakan dari nama-nama-Nya.
Makna Pluralitas dalam Wahdah al-Wujûd
Selain wujud Al-Haqq ada wujud majazi yang dimaksud dalam konteks ini adalah majazi irfani, yakni sebuah makna majazi yang tidak bertentangan dengan realitas eksternal sebab makna majazi irfani bukan berarti ketiadaan mutlak atau sesuatu yang tidak memiliki nafs al-amr (a thing it self). Pada umumnya kita dapat membagi aspek (haitsiyyah) kedalam tiga bagian; yaitu haitsiyyah ta’lîliyah (causative mode), haitsiyyah taqyîdiyah (conditional mode), dan haitsiyyah ithlâqiyah (absoluteness mode).[29]
1) Haitsiyyah Ta’lîliyah (causative mode)
Terkadang wujud dipredikatkan pada sebuah subjek melalui sebuah perantara, perantara tersebut merupakan penyebab bagi subjek, yakni perantara di sini merupakan wujud dan sekaligus memberikan wujud bagi subjek. Perantara di sini adalah sesuatu yang lain yaitudiluar dari predikat dan subjek pada proposisi tersebut dan biasanya disebut dengan haitsiyah ta’lîliyah. Biasanya dicontohkan seperti; air yang sedang dipanasi dengan api. Dalam proses memanasnya air kita akan menyaksikan bahwa air benar-benar panas dan air menerima hukum panas tersebut secara hakiki. Akan tetapi sebab panasnya air di sini adalah sesuatu selain air yaitu api. Dalam konteks ini api disebut dengan haitsiyah ta’lîliyah bagi panasnya air.[30]
Beberapa Penggunaan Absolut dalam Wujud
Wujud secara esensi (bi al-zat) adalah Al-Haqq dikarenakan Al-Haqq tidak terbatas dan bersifat mutlak. Sifat ketidakterbatasan dan kemutlakan ini meniscayakan penafian akan adanya wujud yang lain secara esensi. Dalam irfan yang dimaksud dengan wujud yaitu wujud dengan konsiderasi lâ bisyart maqsamî (non-conditional as the source of division), wujud lâ bisyart maqsamî yaitu bahwa pada dirinya tak ada determinasi (ta‘ayyun) sama sekali, tak ada nama, tak ada sifat, tak ada sebutan, dan tak ada tanda.
Satu kategori lain dari konsiderasi mutlak yaitu wujud lâ bisyart qismî. Dalam irfan wujud dengan konsiderasi lâ bisyart qismî ini adalah nafas al-raħmân atau biasa juga disebut dengan faîdh al-munbasîth (emanation of expanded). Konsiderasi (i‘tibâr) yang dimaksud dalam konteks ini bahwa mental kita dapat memperhatikan pada satu hal tertentu dengan berbagai aspek atau pertimbangan, setelah itu menganalisanya dan kemudian akan dihasilkan beberapa prinsip darinya.
Dalam hal ini quiditas memiliki tiga bentuk konsiderasi; pertama, quiditas dengan konsiderasi ikatan tertentu atau quiditas yang dibarengi dengan sifat-sifat yang dilekatkan padanya. Konsiderasi ini disebut dengan quiditas dengan syarat sesuatu atau al-mâhîyahbisyart al-syaî (mixed quiddity). Kedua, quiditas tanpa dibarengi dengan sesuatu apapun dan yang menjadi titik perhatian adalah quiditas sebagaimana quiditas itu sendiri. Konsiderasi ini disebut dengan quiditas dengan syarat penafian atau al-mâhîyah bisyart lâ (divested quiddity). Ketiga, quiditas tanpa adanya syarat sesuatu apapun padanya. Quiditas dalam pemaknaan ini bebas dari segala ikatan apapun sehingga disebut dengan quiditas secara mutlak. Konsiderasi ini disebut dengan quiditas tanpa syarat atau al-mâhîyah lâ bisyart (nonconditioned quiddity). Kemudian, quiditas sebagai pembagi dari ketiga konsiderasi tersebut disebut dengan quiditas pembagi absolut atau al-mâhîyah lâ bisyart maqsamî atau biasa juga disebut dengan universal zat (kullî thabî‘î).[31]
Sebagaimana quiditas dapat dibagi menjadi tiga bagian konsiderasi, maka wujud dalam irfan dapat dibagi menjadi tiga konsiderasi yang sama; pertama, wujud dengan syarat sesuatu atau al-wujûd bisyart al-syaî atau biasa juga disebut dengan wujud determinasi (wujud muqayyad), yaitu wujud beserta quiditas. misalnya wujud manusia. Kedua, al-wujûd bisyart lâ yaitu bahwa yang menjadi titik perhatian adalah wujud itu sendiri tanpa dikaitkan dengan yang lainnya. Dalam gradasi wujud, wujud yang paling puncak adalah wujud wajib atau disebut juga dengan al-wujûd bi al-syart lâ dikarenakan pada maqam tersebut yang ada hanya wujud. Namun dalam irfan al-wujûd bisyart lâ adalah maqam Ahadîyah.[32] Ketiga, al-wujûd lâ bisyart; pembahasan al-wujûd lâ bisyart dalam irfan dibagi menjadi dua bagian yaitu al-wujûd lâ bisyart qismî dan al-wujûd lâ bisyart maqsamî sebagaimana pembahasan konsiderasi quiditas di atas. Al-wujûd lâ bisyart qismî dalam irfan adalah nafas al-raħmân atau biasa juga disebut dengan faîdh al-munbasîth (emanation of expanded) atau wujud mutlak dimana mutlak dalam konteks ini merupakan limitasi (qaîd) bagi wujud. sedangkan al-wujûd lâ bisyart maqsamî adalah zat dan juga hakikat segala sesuatu dimana yang lainnya bergantung kepadanya, wujud-wujud lainnya menolak ketiadaan dengan perantara wujud mutlak maqsamî, bahkan wujud mutlak qismî mendapatkan kemutlakannya dengan wujud mutlak maqsamî.
Mutlak qismî dalam pandangan irfan adalah mutlak dengan limitasi sarayân (flow). Misalnya dalam gradasi wujud dijelaskan bahwa wujud mutlak mengalir dalam seluruh tingkatan wujud, mulai dari tingkatan yang paling atas hingga tingkatan yang paling bawah. Wujud dalam konteks ini memiliki limitasi mutlak yaitu dengan mutlak sarayân. Oleh karena itu dalam irfan mutlak sarayân masih terbilang sebagai salah satu jenis determinasi (ta‘ayyun). Sedangkan mutlak maqsamî diluar (beyond) dari mutlak sarayân, maksudnya bahwa mutlak maqsamî adalah sarayân dan juga diluar dari sarayân.
Di sinilah dikatakan bahwa mutlak maqsamî adalah dirinya mutlak dan juga terlimitasi, dan juga tidak mutlak dan juga tidak terlimitasi. Oleh karena itu wujud Tuhan dalam pandangan irfan adalah al-wujûd lâ bisyart maqsamî dan dengan kemutlakan maqsamî-nya akan menyebabkan dirinya satu-satunya objek atau mishdaq dari wujud dan sekaligus wujudnya mengisi seluruh entitas-entitas yang ada.
Dasar Pemikiran Filsafat Mullâ Shadrâ
Hikmah Muta‘aliyah merupakan seri baru dari proses perjalanan menyempurna filsafat Islam bahkan bisa dianggap sebagai titik puncak dari perjalanannya. Hal ini dikarenakan hikmah muta‘aliyah; baik kalam, filsafat, irfan, beserta teks-teks suci bersatu padu hingga membuahkan sebuah prinsip baru dan pemikiran alternatif baru yang disebut dengan hikmah muta‘aliyah. Oleh karena itu pembaharuan pemikiran filsafat Islam yang disuguhkan oleh Mullâ Shadrâ sangat ditunjang oleh pendekatan dan metodologi yang digunakannya. Dalam menggapai hakikat realitas dibutuhkan usaha suluk, baik suluk melalui riyadhah atau penyucian diri maupun suluk melalui akal pikiran dari akal potensi menuju akal mustafadhingga menyatu dengan akal aktif.
Menurut Mullâ Shadrâ, ketidakmampuan sebagian Filsuf menyelesaikan sebagian persoalan filsafat selain disebabkan mereka tidak melakukan penyucian jiwa, namun juga dikarenakan mereka lebih banyak menyisakan waktunya dalam ilmu-ilmu partikular. Kesempatan lain, Mullâ Shadrâ juga meyakini tidak cukup jika hanya menyandarkan pada syuhûd semata dalam menyingkap hakikat realitas karena untuk meraih penyingkapan yang sempurna niscaya dibutuhkan argumentasi atau akal rasio murni. Selain itu, posisi burhan atau argumentasi bagi Mullâ Shadrâ merupakan bahasa yang paling baik dalam menjelaskan syuhûd dan mukâsyafah. Keambiguan bahasa urafa dalam menjelaskan pengalamannya merupakan bukti ketidakmampuan mereka dalam membahasakan syuhûd dan mukâsyafah, dan hal tersebut disebabkan karena urafa tidak menjalani suluk intelektual.
Mullâ Shadrâ juga mengikuti para Filsuf sebelumnya bahwa metode syuhûd lebih tinggi dibandingkan dengan metode burhan atau argumentasi, akan tetapi menurutnya harus diakui bahwa metode riyadhah dan jihadun nafs adalah metode yang sangat sulit dan hanya sedikit yang mampu sampai pada tujuan yang dimaksud, karena metode ini tantangannya sangat banyak sehingga mungkin saja manusia jatuh dalam kesalahan.
Oleh karena itu Mullâ Shadrâ memberikan nasehat kepada kita bahwa dari pada meninggalkan akal dan argumentasi dan memilih jalan riyadhah, lebih baik menjalankan apa yang dilakukan oleh sebagian filsuf sebelumnya yaitu mencoba untuk menyingkap hakikat realitas dengan argumentasi namun di samping itu tetap melakukan riyadhah agar dirinya mampu syuhûd dan mukâsyafah. Mullâ Shadrâ sama sekali tidak melihat adanya pertentangan antara argumentasi dan syuhûd, bahkan Mullâ Shadrâ meyakini bahwa keduanya yaitu intelek dan syuhûd memiliki substansi yang sama yaitu sama-sama memberikan pengetahuan kepada jiwa manusia.
Dalam mendapatkan pengetahuan melalui syuhûd proses penyingkapannya dengan riyadhah sedangkan dalam mendapatkan pengetahuan melalui argumentasi proses penyingkapannya dengan membangun premis-premis sehingga sampai kepada kesimpulan. Oleh karena itu sebagaimana ‘urafa dalam suluk spiritualnya harus menjalani empat perjalanannya yang diawali dengan membersihkan aspek lahiriyahnya, kemudian membersihkan aspek batiniyahnya, lalu menghiasi jiwa dan akhirnya sampai kepada fana zat sehingga sampai pada sumber pengetahuan dan menyatu denganNya. Begitu pula dengan seorang Filsuf dalam suluk intelektualnya harus menjalani empat perjalanannya yang dimulai dari akal potensi, akal aktual, akal disposisi, akal mustafâd sehingga bisa menyatu dengan akal aktif.
Beberapa Prinsip Pemikiran Mullâ Shadrâ
Prinsip Wahdah al-Wujûd merupakan pondasi ontologis dalam irfan. Di sisi lain juga harus diakui bahwa hal yang paling penting yang membentuk sistem filsafat hikmah muta‘aliyah adalah pondasi ontologisnya yang menjelaskan hakikat eksistensi berikut atribut-atributnya. Di antara prinsip ontologi filsafat hikmah muta‘aliyah adalah sebagai berikut:
1. Fundamental wujud dan Idealitas quiditas (ishâlah al-wujûd wa i‘tibariyah al-mâhîyah).
Prinsip fundamental wujud merupakan prinsip yang paling dasar di antara beberapa prinsip yang ada dalam filsafat hikmah muta‘aliyah. Oleh karena prinsip ini merupakan pondasi dalam menjelaskan prinsip-prinsip lainnya seperti gradasi wujud, kopula kausal, gerak substansi, dan prinsip-prinsip penting lainnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa jika ada yang menolak prinsip fundamental wujud ini berarti sama saja ia menolak prinsip-prinsip lain filsafat hikmah muta‘aliyah. Mullâ Shadrâ mengatakan bahwa sebagian argumentasi Ibn Sina sejalan dengan prinsip fundamental wujud.[33]
Tema ‘fundamental wujud’ merupakan pemikiran orisinil Mullâ Shadrâ dan pembahasan tentang; setiap entitas memiliki dua aspek yaitu eksistensi dan quiditas. Sebelum membahas fundamental wujud dan idealitas quiditas, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna dari fundamental (ishâlah) dan idealitas (i‘tibârî). Istilah fundamental dan idealitas digunakan dalam beragam makna. Istilah tersebut memiliki tiga makna[34] kaitannya dengan pembahasan wujud yaitu:
1. Masing-masing keberadaan dialam eksternal ketika dipersepsi memiliki dua aspek didalam benak kita, aspek pertama berkaitan dengan konsep eksistensi dan aspek kedua berkaitan dengan konsep quiditas. Jika kita meyakini bahwa wujud sebagai representasi realitas eksternal maka wujud yang fundamental sedangkan quiditas hanya idealitas semata dan begitupun sebaliknya, jika quiditas sebagai representasi realitas eksternal maka quiditas yang fundamental dan wujud hanya idealitas semata.
2. Yang dimaksud dengan fundamental yaitu yang menjadi sumber efek atau pengaruh. Maksudnya bahwa setiap entitas dialam eksternal memberikan efek dan pengaruh yang berbeda-berbeda. jika diyakini bahwa yang menjadi sumber efek adalah wujud maka wujud yang fundamental sedangkan quiditas hanya idealitas semata dan begitupun sebaliknya, jika yang menjadi sumber efek adalah quiditas maka quiditas yang fundamental sedangkan wujud hanya idealitas semata.
3. Makna lain dari fundamental yaitu suatu entitas yang ada dengan sendirinya (maujud bizâtih). Maksudnya bahwa predikat wujud terhadap entitas tersebut tidak membutuhkan perantara lain. Predikat wujud secara langsung dinisbahkan pada entitas tersebut. Oleh karena itu jika diyakini bahwa wujud yang fundamental berarti wujud ada dengan sendirinya tanpa melalui perantara apapun dan quiditas ada dengan yang lain (bi al-‘aradh). Begitupun sebaliknya, jika quiditas yang fundamental berarti quiditas ada dengan sendirinya tanpa melalui perantara apapun dan wujud ada dengan yang lain.
Di antara ketiga makna fundamentalitas di atas, makna pertama yang sering digunakan dalam menjelaskan fundamental wujud, berikut kemudian makna kedua dan ketiga yang juga biasa digunakan dalam menjelaskan makna fundamentalitas. Hal lain yang perlu dijelaskan sebelum menjelaskan argumentasi fundamental wujud adalah menjelaskan definisi dari quiditas bahwa quiditas dalam pembahasan ini yaitu berkenaan dengan ke-apa-an (whatness) sesuatu (mâ yuqâlu fi jawâbi mâ huwa). Berikut ini adalah argumentasi tentang fundamentalitas wujud:
Argumentasi pertama; dalam kitab al-masyâ‘ir[35] bagian al-masy‘ar al-tsâlits fi tahqîq al-wujûd ‘aînan; penjelasan al-syâhid al-tsânî. Berikut ini kesimpulan argumentasi Mullâ Shadrâ; apa sebenarnya yang dimaksud eksternal dan internal (alam mental) ketika kita mengatakan ‘ini berada di alam eksternal’ dan ‘itu berada di alam mental (zihn). Makna konteks dari ‘berada’ di sini bukan dalam pemaknaan wadah, tempat, dan ruang. Namun makna dari ‘berada’ di sini bahwa sesuatu yang berada di alam eksternal memiliki efek-efek tertentu sedangkan di alam mental sesuatu tersebut tidak lagi memiliki efek sebagaimana pada realitas eksternal. Oleh karena itu yang memberikan efek adalah wujud dan bukan quiditas. Kesimpulannya bahwa wujudlah yang fundamental sedangkan quiditas hanya idealitas semata.
Argumentasi kedua; masih dalam kitab yang sama penjelasan al-syâhid al-râbi‘.[36]Kesimpulan dari argumentasi tersebut sebagai berikut; jika bukan wujud yang fundamental maka tidak akan ada satu entitas manapun yang dapat mewujud di alam eksternal. Karena entitas lain yang mungkin eksis di alam eksternal selain dari wujud adalah quditas. Padahal quiditas sebagaimana quiditas dalam zat dirinya adalah tidak ada dan juga tidak akan ada (al-mâhiyah min haitsu hiya lâ maujudah wa lâ lâ maujudah).
Argumentasi ketiga; masih dalam kitab yang sama penjelasan al-syahid al-khâmis.[37]Quiditas sebagaimana quiditas jika dilihat dari aspek zatnya dapat dipredikatkan pada individu-individu dan personalitas-personalitas yang banyak. Hal ini dikarenakan dalam zat quiditas tidak ada partikular, personalitas, dan individu, bahkan jika quiditas-quiditas digabungkan dalam jumlah yang sangat banyak, tetap tidak akan pernah menghasilkan personalitas dan identitas. Oleh karena itu jika bukan wujud yang menjadi dasar akan realitas eksternal maka realitas eksternal tidak akan memiliki personalitas dan identitas partikular (tasyahkhus) dan jika tidak ada identitas partikular maka realitas eksternal tidak akan mewujud sebab wujud tidak akan ada tanpa adanya identitas partikular. Kesimpulannya adalah wujudlah yang fundamental dan quiditas hanya identitas semata. Ketiga prinsip di atasdapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar akan realitas eksternal adalah wujud dan selain wujud yaitu quiditas hanya idealitas semata. Maksud dari idealitas di sini bahwa keberadaan quiditas disebabkan karena keberadaan hakikat wujud atau berkat pancaran hakikat wujud.
2. Gradasi Wujud
Prinsip gradasi wujud merupakan sebuah prinsip yang menjelaskan hubungan antara ketunggalan (wahdah) dan pluralitas (katsrah) wujud. Konsepsi tentang Wahdah al-Wujûd dalam pandangan Shadrâ sangat berkaitan dengan prinsip ini yang menjelaskan hubungan antara ketunggalan dan pluralitas.
Prinsip fundamental wujud menjelaskan bahwa yang menjadi dasar realitas eksternal secara hakiki adalah wujud. Selanjutnya kita menyaksikan bahwa dalam benak kita terdapat berbagai konsep yang berbeda-beda yang merepresentasikan realitas eksternal. Jika demikian halnya apakah beragam konsep yang ada dalam benak kita merupakan realitas hakiki yaitu bahwa pada realitas eksternal memang terdapat beragam pluralitas wujud atau hanya imajinasi semata yang sama sekali tidak merepresentasikan realitas eksternal. Jika hakikat realitas itu tunggal lalu mengapa terdapat beragam konsep dalam benak kita dan begitupun sebaliknya bahwa jika hakikat realitas itu plural lalu mengapa terdapat sebuah konsep yang bermakna umum yang dipahami melalui seluruh hakikat realitas tersebut.
Oleh karena itu dalam gradasi membutuhkan kedua aspek tersebut baik aspek kesamaan maupun aspek perbedaannya. Pada prinsipnya gradasi tidak berlaku pada quiditas sebab antara satu quiditas dengan quiditas lainnya berbeda secara totalitas atau diversity (tabâyun) dan tidak terdapat aspek kesamaan di antaranya, misalnya antara ke-air-an dengan ke-api-an jika dilihat dari sisi quiditasnya tanpa melibatkan wujudnya maka tidak akan ada sisi kesamaannya sama sekali. Oleh karena itu gradasi hanya berkaitan dengan wujud.
Kemudian jika tidak ada pluralitas maka yang terjadi hanya kesatuan dan tentunya tidak akan ada perbedaan padahal baik kesatuan maupun pluralitas keduanya harus aktual agar gradasi bisa terjadi. Selanjutnya perbedaan dan persamaan dalam satu wujud harus kembali pada satu aspek, berikut argumentasi gradasi wujud:
1. Premis pertama; kita menyaksikan bahwa realitas eksternal terdiri dari beragam realitas eksistensi, dan hal ini tidak membutuhkan dalil karena diketahui secara aksioma (badihi).
2. Premis kedua; antara satu wujud dengan wujud lainnya secara esensi tidak memiliki perbedaan secara totalitas. Jika antara satu wujud dengan wujud lainnya terjadi perbedaan secara esensi maka akan meniscayakan konsep wujud yang tunggal diabstraksi dari beragam wujud tanpa adanya aspek kesamaan di antara beragam wujud tersebut, dan sebagaimana diketahui tidak mungkin mengabstraksikan sebuah konsep yang tunggal dari wujud-wujud yang beragam tanpa adanya aspek kesamaan di antaranya. Kesimpulannya bahwa realitas eksternal memiliki hakikat yang satu.
3. Kita menyaksikan bahwa di antara realitas eksternal tersebut ada yang wujudnya lebih kuat seperti wujud sebab dan ada yang wujudnya lebih lemah seperti wujud akibat. Ada yang wujudnya lebih dahulu seperti wujud akal dan ada yang wujudnya lebih terakhir seperti wujud imajinal (mitsâlî) dan wujud materi. Kesimpulan dari ketiga premis di atas yakni realitas eksternal memiliki hakikat yang tunggal dan hakikat yang tunggal tersebut memiliki tingkatan yang berbeda-beda atau bergradasi; ada wujud yang kuat dan ada wujud yang lemah, ada wujud yang lebih dahulu dan ada wujud yang lebih akhir.
4. Kopula Kausal (rabth ‘illî)
Bangunan sistem alam ini biasanya dijelaskan dengan prinsip kausalitas dan begitu juga dengan fenomena-fenomena materi. Prinsip kopula kausal menjelaskan tentang bentuk relasi sebab dan akibat. Salah satu pertanyaan penting dalam persoalan ini yaitu apa sebenarnya yang meniscayakan akibat bergantung kepada sebab. Sebagian mutakallim (teolog) menjelaskan bahwa yang meniscayakan akibat bergantung kepada sebabnya adalah sisi kebaruannya (huduts) dan sebagian filsuf menjelaskan bahwa akibat bergantung kepada sebabnya karena aspek mumkin (contingent) itu sendiri. Menurut Mullâ Shadrâ jika prinsip fundamental wujud diterima maka kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa yang menjadi dasar kebergantungan akibat pada sebab adalah karena aspek mumkinnya karena konteks mumkin di sini lebih sesuai dengan prinsip fundamental quiditas (ishâlah al-mâhiyah). Oleh karena itu dasar kebergantungan akibat kepada sebab dikarenakan aspek kefaqiran wujudnya atau dalam istilah Mullâ Shadrâ disebut dengan mumkin faqri (imkân al- faqrî). Di sini Mullâ Shadrâ menjelaskan gagasannya yang sangat khas bahwa akibat adalah kopula itu sendiri kepada sebab (‘aîn al-rabth bi al-‘illah). Akibat bukanlah sesuatu dimana didalam dirinya ada zat dan kemudian akibat disifatkan pada zat tersebut, akan tetapi zat dirinya adalah akibat itu sendiri. Oleh karena itu antara zatnya dan sifat akibat tidak bisa mungkin terpisahkan.
Wujud kopula tidak memiliki quiditas karena sesuatu yang memiliki quiditas berarti sesuatu tersebut bersifat independen sebab quiditas adalah jawaban terhadap pertanyaan tentang ke-apa-an sesuatu. Sedangkan wujud kopula adalah wujud yang bergantung pada kedua sisi yaitu subjek dan predikat sehingga dirinya tidak memiliki identitas independen kecuali sebagai wujud penghubung itu sendiri. Wujud kopula yang ada di alam mental mungkin mudah dipahami karena berfungsi dalam menjelaskan relasi antara subjek dan predikat.
Dalam realitas eksternal terdapat wujud yang secara sepintas sama dengan wujud kopula yang dimaksud yaitu wujud aksiden. Wujud kopula dan wujud aksiden sama-sama bergantung pada sesuatu. Sebagaimana wujud kopula bergantung pada subjek dan predikat, wujud aksiden juga bergantung pada substansi. Mullâ Shadrâ tidak hanya meyakini bahwa wujud kopula ada di alam realitas eksternal; bahkan lebih dari itu, Mullâ Shadrâ meyakini bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah wujud kopula dan mereka ada dengan keberadaan Tuhan. Berikut ini argumentasi Mullâ Shadrâ[38] dalam membuktikan hal tersebut:
1. Premis pertama; setelah meyakini bahwa yang menjadi dasar di alam eksternal adalah wujud (ishâlah wujud) maka baik sebab maupun akibat keduanya terjadi dalam hakikat realitas wujud.
2. Premis kedua; ke-akibat-an akibat adalah zat akibat itu sendiri. Sebab jika tidak demikian berarti ke-akibat-an merupakan sesuatu yang ditambahkan pada zat akibat dan hal ini akan meniscayakan akibat secara esensi tidak butuh pada sebab, karena zat akibat terpisah dengan sifat akibat, padahal akibat senantiasa bergantung pada sebab dan hal ini tidak akan terjadi kecuali dalam zat, akibat adalah akibat itu sendiri.
3. Premis ketiga; hakikat sebab adalah suatu entitas yang memberikan wujud. Suatu entitas disebut dengan sebab hakiki jika dirinya memberikan wujud kepada akibat, oleh karena itu kebergantungan akibat kepada sebab adalah kebergantungan eksistensial.
Oleh karena itu, akibat adalah kebergantungan dan kopula itu sendiri. Akibat bukan suatu zat yang memiliki wujud (wujud fî nafsih) di mana zat yang memiliki wujud tersebut bergantung pada yang lain. Oleh karena itu ke-akibat-an dengan zat akibat tidak mungkin terpisahkan. Sebenarnya dalam realitas eksternal hanya ada satu hakikat semata yaitu yang memberikan wujud dan juga yang diwujudkan dan sekaligus wujud itu sendiri. Dalam kata lain hubungan kausalitas, sebab sebagai pemberi wujud dan wujud akibat adalah dua pemahaman yang diabstraksi melalui satu hakikat.
4. Hakikat yang sederhana adalah Segala Sesuatu (bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ).
Prinsip bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ salah satu prinsip penting dalam filsafat hikmah muta‘aliyah. Peranan serta posisi penting prinsip ini karena memberikan solusi alternatif dalam menyelesaikan beberapa persoalan penting dalam filsafat, khususnya dalam membuktikan tauhid zat dan juga dalam menyelesaikan persoalan ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu dalam maqam zat secara terperinci. Mullâ Shadrâ mengakui bahwa prinsip ini diperolah melalui hikmah ‘arsyiyah malakuti ilahi dan tema prinsip ini disebut dengan burhân ‘arsyi.[39] Tidak semua orang mampu memahami prinsip ini dengan baik. Prinsip ini hanya akan dipahami oleh orang-orang yang telah diberikan ilmu ladunni oleh Allah swt.[40]
Dalam prinsip ini terdapat beberapa rangkaian terminologi seperti sederhana (bashith) dan segala sesuatu (al-asyyâ) yang akan kami jelaskan sebelum menjelaskan argumentasi prinsip tersebut. Pengertian dari sederhana di sini adalah kesederhanaan mutlak yang sama sekali tidak terdapat rangkapan atau susunan di dalamnya. Terdapat beberapa jenis bentuk rangkapan seperti rangkapan dari materi dan bentuk, genus dan difrensia, wujud dan quiditas, ada (wijdân) dan tidak ada memiliki (fiqdân). Jika wujud tersebut merupakan kesederhaan mutlak maka tidak satupun dari bentuk rangkapan tersebut melekat padanya. Oleh karena itu entitas yang keluar dari lingkaran wujud maka entitas tersebut tidak bisa disebut dengan sesuatu. Jika suatu wujud merupakan objek acuan (mishdaq) dari kesederhanaan mutlak maka wujud tersebut memiliki kesempurnaan segala sesuatu.
Dari sini kami akan menguraikan argumentasi prinsip bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ yang kami simpulkan dari argumentasi Mullâ Shadrâ dalam kitabnya al-syawâhid al-rubûbiyah.[41] Berikut ini argumentasi bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ:
1. Premis pertama; berdasarkan prinsip fundamental wujud dan gradasi wujud bahwa rangkaian sebab dan akibat dimulai dari puncak piramida eksistensi hingga derajat eksistensi yang paling bawah yaitu alam materi.
2. Premis kedua; sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan kausalitas bahwa sebab hakiki adalah sebab yang memberikan wujud atau kesempurnaan, maka setiap wujud yang memberikan kesempurnaan pasti kesempurnaan tersebut dimiliki olehnya dan hal ini jelas karena; ‘yang tak punya tak mungkin memberi’. Oleh karena itu wujud tersebut memiliki seluruh kesempurnaan pada tingkatan eksistensi setelahnya.
3. Premis ketiga; wujud-wujud yang berada pada tingkatan setelahnya pasti memiliki rangkapan baik itu rangkapan dari wujud dan quiditas atau tersusun dari sempurna dan tidak sempurna. Rangkapan-rangkapan tersebut tidak mungkin melekat pada hakikat yang sederhana dan oleh karenanya kesempurnaan eksistensi dan hakikat dirinya mewujud dalam hakikat yang sederhana yang tidak memiliki keterbatasan dan kekurangan. Sebab jika demikian halnya akan membuat rangkapan dan kekurangan dalam zat hakikat yang sederhana.
Kesimpulannya hakikat yang sederhana memiliki seluruh hakikat dan kesempurnaan wujud-wujud setelahnya dalam bentuknya yang paling sempurna dan tanpa rangkapan sama sekali. Oleh karena itu, ‘segala sesuatu’ hakikatnya ada dalam hakikat yang sederhana dan segala sesuatu merupakan pancaran dari hekikat yang sederhana. Hakikat yang sederhana terpancar dalam segala sesuatu.
(telah diterbitkan di jurnal Mulla Sadra)