Rasul berkata bahwa uang itu diberikan oleh satu orang.
Yahya memiliki utang sebanyak seratus ribu dirham. Ia meminjam uang untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya. Orang-orang fakir miskin, kaum lemah, ulama, dan sufi mendapatkan bantuan berkat tangan lembutnya.
Namun, waktu yang diberikan sang pemberi utang itu hampir saja tiba. Mereka pun kemudian mendesak Yahya agar segera melunasinya, sebelum jatuh tempo. Hati Yahya menjadi terbebani karena perihal utang ini.
Suatu malam, Yahya bermimpi jumpa dengan Rasul Saw. “Yahya, usah risau dan gelisah karena utangmu itu. Bangkit dan pergilah ke daerah Khurasan. Di sana akan ada perempuan yang akan memberimu 300 ribu dirham. Gunakanlah uang itu untuk melunasi utangmu yang seratus ribu dirham itu.”
“Pergilah dari kota ke kota, berkhotbahlah. Kata-katamu membawa kesembuhan di hati manusia. Sebagaimana aku mendatangimu, aku juga akan mendatangi perempuan itu dalam mimpinya.” lanjut Rasul Saw.
Paginya, Yahya mulai melakukan perjalanan seperti apa yang diperintahkan Rasul. Ia sampai di Nisyabur, dan berdakwah di sana.
“Wahai masyarakat Nisyabur, aku diperintah Rasul untuk datang kemari agar utangku sebanyak seratus ribu dirham dapat terlunasi.”
“Aku akan memberimu 50 ribu dirham” ujar salah seorang warga menawarkan.
“Saya juga akan memberimu sisanya,” kata salah satu di antara para pengunjung.
Namun, Yahya menolak tawaran itu. Ia mengatakan, “Rasul berkata bahwa uang itu diberikan oleh satu orang. Maaf, saya tidak bisa menerima uang kalian. Terima kasih.”
Yahya kemudian meninggalkan Nisyabur dan menuju ke Balkh. Sampai di sana, ia pun mengatakan persis seperti apa yang ia katakan di negeri sebelumnya. Namun, lagi-lagi, masyarakat di sana memberikan uang yang tidak sesuai ucapan Rasul. Dengan terpaksa, Yahya pun menolaknya kembali.
Sejatinya, Yahya tidak tahu negeri atau daerah Khurasan, yang dimaskud Rasul itu. Ia pun terus melakukan perjalanan sembari berharap, nyawanya masih utuh sebelum ia melunasi kewajibannya itu.
Usai beberapa hari Yahya bertahan di Balkh, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Herat dengan melalui Merv. Di sana, ada seorang putri raja yang kebetulan mendengar keperluan Yahya tersebut.
Sang Putri kemudian mengirimkan surat kepada Yahya, “Wahai Imam, hilangkan kegelisahanmu karena utang. Pada malam ketika Nabi menjumpaimu dalam mimpi, beliau juga menjumpaiku dalam mimpi. Ia mengatakan bahwa akan ada seorang laki-laki yang membutuhkan bantuanku. Namun, saat aku bertanya ke mana hendak aku berikan bantuan itu, Rasul mengatakan bahwa laki-laki itu yang kelak akan mendatangiku. Karenanya, aku berterimakasih karena engkau akhirnya datang ke tempatku,”
“Ini, ada emas dan perak seharga 300 ribu dirham. Benda-benda ini merupakan hadiah perkawinan dari ayahku. Ambillah benda ini, dan lunasilah utangmu.”
Dengan senang hati, Yahya pun menerima benda-benda itu dan segera melunasi segala utangnya. Saat fajar, urusan duniawi itu telah ia selesaikan. Sesaat kemudian, dikabarkan bahwa Yahya ditemukan meninggal dunia saat dirinya bercengkrama dengan Allah, sujud dengan kepala tertunduk ke tanah.
Para sufi menguburkan jasadnya ke Nisyabur.
-----
Begitulah utang. Sesuatu yang kadang dianggap remeh sesungguhnya begitu memberatkan manusia. Bahkan, bisa menghimpit dada dan menyita hampir seluruh hidupnya hingga sampai ke akhirat. Itu sebabnya, Yahya diceritakan begitu bahagia dan merasa beruntung saat segala hal yang menghimpit batinnya dapat ia selesaikan sebelum ajal menjemput.
Yahya kemudian membenarkan janji Tuhannya yang akan membalas segala kebaikan hambanya dengan kebaikan pula. Yahya yang berutang untuk membantu orang lain, kemudian berserah diri dan mempercayai sepenuhnhya ucapan Rasul yang datang melalui mimpinya itu.
Alhasil, dengan segala kekuatan dahsyat-Nya, Yahya pun terbebas dari utang.
Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Zakariya Yahya ibnu Muadz ar-Radhi. Ia merupakan salah seorang sufi yang berasal dari Rayy dan menjadi murid Ibnu Karram. Konon, semasa hidupnya ia begitu senang membantu orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya itu, ia juga sengaja melakukan perjalanan dari kota ke kota lainnya hanya untuk bisa membantu orang lain yang bisa ia temui.
Dari kota kelahirannya, Rayy, ia kemudian berkelana ke Balkh, Merv, Herat, Nisyabur, dan lainnya. Ia meninggal pada 258 H / 871 M. Setelah kematiannya, berbagai puisi dinisbatkan kepadanya sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang luar biasa, terutama bagi kalangan lemah.